Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kehilangan
🦋
Pagi hari.
Jeritan memecah keheningan rumah Wardana.
"Aaaaaa!"
Semua orang bergegas keluar kamar. Langkah-langkah panik terdengar di lorong. Mereka mendapati sumber suara berasal dari kamar Cakra.
Latif muncul pertama, masih mengenakan piyama tipis, napas terengah.
"Ayah, ada apa?!"
Cakra berdiri di tengah kamar, wajahnya pucat seperti baru melihat hantu. Tangannya gemetar menunjuk ke arah brankas yang pintunya terbuka lebar.
"Uangku, Nak… semua uang Ayah hilang! Kita… kita tidak punya apa-apa lagi sekarang! Semuanya diambil… Valora!"
Tangisnya pecah. Tubuhnya gemetar hebat. Latif mencoba menenangkan, tapi teriakan ayahnya seperti badai yang tak bisa dihentikan.
Shara melangkah cepat dan langsung memeluk adiknya. Pelukan itu membuat Cakra seperti anak kecil yang merengek karena mainannya diambil.
"Mbak… uangku… Lora ambil semuanya," isaknya, suaranya parau bercampur amarah.
Flashback – Beberapa jam sebelumnya.
"Kenapa lagi? Gavriel sudah diurus oleh mereka?" tanya Edwin sambil menatap Valora/Kiran, yang malam itu sudah mengenakan hoodie hitam
"Kita main sebentar," jawab Valora singkat, lalu meraih pergelangan tangannya. "Ayo ikut aku."
Gerakan mereka lincah, menyusup masuk ke kamar Cakra seperti bayangan. Sepatu mereka nyaris tak menimbulkan suara di lantai marmer.
"Valora, kita mau ke mana?" bisik Edwin.
"Ke kamar Om Cakra."
Mereka berhenti di depan pintu, Valora memutarnya perlahan. Engselnya berderit tipis. Di dalam, Cakra tertidur pulas di ranjang, mendengkur ringan.
Valora langsung menuju brankas di pojok ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya, dingin.
"Ed, buka ini."
Edwin hanya menghela napas, lalu bergerak cekatan. Tanpa kode, pintu brankas terbuka dalam hitungan detik. Isinya melimpah: tumpukan uang tunai, perhiasan, berkas aset, semua rapi tersusun.
Valora mulai menumpuknya di meja. Kemudian, seolah teringat sesuatu, ia mengambil segelas air dari meja nakas. Dengan tenang, ia menyiram wajah Cakra.
"SIAPA...?!" Cakra terbangun dengan teriakan garang.
"Hai, Om… sudah bangun," sapa Valora, senyum tipis di wajahnya seperti racun manis.
Mata Cakra melebar. "Ka… kau? Valora?"
"Aku cuma mau ambil hakku," jawabnya santai. "Selama ini Om selalu minta uang ke Ayahku untuk kebutuhanku. Padahal, uang itu nggak pernah sampai ke tanganku."
Valora berjalan pelan di sekitar ranjang, suaranya rendah namun menusuk.
"Ingat waktu Om minta dua ratus juta ke Mas Lucas, katanya untuk nebus Latif yang di penjara? Padahal… Latif nggak pernah dipenjara. Mas Lucas baik hati, nggak minta uangnya kembali, asal aku dijaga dengan baik. Tapi yang Om lakukan? Menyiksaku… dan memeras keluargaku sendiri."
Ia berhenti, menatap mata Cakra yang mulai berkeringat dingin.
"Jadi anggap saja ini kompensasi."
Tangannya kembali sibuk menghitung uang. Jemarinya cepat, terlatih. Lalu ia menambahkan dengan nada ringan:
"Oh, iya… Om masih punya hutang 300 juta dari tabunganku. Nanti aku ambil sisanya, jangan khawatir."
Cakra hendak melompat bangun, tapi Edwin sudah berdiri di antara mereka, tatapannya tajam.
"Tidak! Jangan ambil uangku!" teriak Cakra, tapi suaranya tenggelam ketika Valora dan Edwin menghilang begitu saja lenyap dalam gelap malam.
Flashback off Kembali ke pagi hari.
***
Cakra duduk di ruang keluarga, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar, suara tercekat, seperti seseorang yang baru saja diseret keluar dari mimpi buruk. Semua anggota keluarga berkumpul, menatapnya dengan tatapan cemas.
"Aku… aku melihatnya tadi malam." Nafasnya memburu. "Valora… dia mengambil semua harta dan asetku. Semuanya! Sekarang aku… aku tidak punya apa-apa lagi!"
Shara langsung menegakkan punggungnya, tatapannya dingin. "Itu tidak mungkin, Cakra. Valora sudah tiada. Aku sendiri yang melihat jasadnya dikubur. Mbah Santoso pun bilang, dia tak punya kekuatan apa-apa lagi."
"Apa Mbak pikir aku ini gila?!" suara Cakra meninggi. "Penglihatanku jelas, pendengaranku juga masih normal! Aku tahu apa yang kulihat!"
Kakek Wardana menatap Shara tajam. "Temui Mbah Santoso. Sekarang juga."
Shara menghela napas berat. Kepalanya sudah penuh: karyawan yang mundur satu per satu, investor yang mencabut modal, pinjaman dari Auliandra yang hampir habis—dan kini Cakra datang membawa masalah baru.
Cakra mendadak meracau lagi, matanya kosong. "Uangku… sisakan untukku… jangan ambil semuanya…"
Latif yang sedari tadi diam, hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan keresahan. (Sepertinya ini ada campur tangan kekuatan lain. Sesuatu yang bisa menembus perlindungan rumah ini.) pikirnya.
Rumah Mbah Santoso berdiri sunyi di tepi jalan, dindingnya tua dan kusam. Shara baru saja turun dari mobil ketika pandangannya tertuju pada sebuah mobil putih yang terparkir di depan. Ia tahu cucu Mbah Santoso hanya punya motor, jadi mobil ini jelas milik orang lain.
Ia memutuskan menunggu di luar. Samar-samar terdengar suara laki-laki dari dalam.
Wira melangkah masuk, langsung disambut ruangan redup dengan aroma dupa menyengat. Dinding penuh simbol-simbol mistis, gambar leluhur, dan patung-patung iblis. Lilin menyala di sudut-sudut, memantulkan cahaya temaram di lantai kayu tua.
Di depan meja ritual, Mbah Santoso duduk menatapnya.
"Apa kamu anaknya Wista?" tanyanya tiba-tiba.
"Benar, Mbah… tapi,"
"Dasar gemblong! Aku ini dukun sakti, tentu saja aku tahu."
Wira menelan ludah. (Kalau sudah tahu, kenapa tadi tanya?) batinnya, tapi ia tak berani mengucapkannya.
"Kamu ingin toko Wistara kembali ramai, kan?"
"Iya, Mbah."
"Setiap permintaan ada konsekuensinya." Mata Mbah Santoso menyipit. "Aku butuh… tumbal."
Wira sempat tercekat, tapi akhirnya mengangguk. "Tumbal apa, Mbah?"
Jawaban itu hanya membuatnya bergegas keluar, wajahnya pucat seperti melihat hantu. Ia tidak menyadari Shara duduk di luar, mengamatinya heran.
Shara masuk. Duduk bersila di hadapan Mbah Santoso.
"Tadi malam, Cakra didatangi… arwah Valora. Semua hartanya diambil."
Mbah Santoso mengernyit, lalu merapal mantra di atas kristal bening. Jemarinya bergerak cepat di udara.
"Tak ada arwah seperti yang kau bilang. Kediaman Wardana sudah kupagari dengan black magic ku."
Shara terdiam. Ia tak bisa membantah, tapi juga tak percaya.
"Kau bawa bayi yang kuminta?" potong Mbah Santoso.
Shara mengangguk, lalu keluar sebentar dan kembali dengan bayi laki-laki berbedong biru. Anehnya, bayi itu tak menangis sedikit pun.
Mbah Santoso menatapnya lama, lalu tersenyum lebar. "Luar biasa, Shara. Bayi ini… istimewa."
Shara mengernyit. "Istimewa bagaimana? Aku mengadopsi nya dari panti asuhan."
Alih-alih menjawab, Mbah Santoso hanya meletakkan bayi itu di atas bantal, lalu beranjak ke kamarnya.
"Tunggu di sini. Aku akan mengambil sesuatu untukmu."
***
Sementara itu, di kamar bernuansa abu-abu, empat wanita muda duduk melingkar.
"Kenapa kau menerima lamaran ini?" tanya Kiran, memecah sunyi.
"Aku yang memintanya," jawab Asteria tenang. "Hanya untuk penghasilan."
Kiran menatapnya khawatir. "Apa kau yakin bisa bertahan di keluarga Wardana?"
Asteria tersenyum samar. "Edwin bilang, aku harus 'menghasilkan' jika ingin menambah kekuatan."
Ucapan itu membuat Auliandra dan Kiran saling berpandangan. 'Menghasilkan' apa?
Ucapan Asteria membuat Auliandra dan Kiran saling bertukar pandang. Menghasilkan apa? Apa yang harus dihasilkan? Kenapa jadi ambigu seperti ini
"Nona apa anda tidak takut masuk ke kandang macan?" Nira saja merasa takut hanya dengan mendengar nama Wardana tapi salah satu temannya/nonanya malah menyodorkan dirinya sendiri
"Nira sudah berapa kali aku bilang, jika hanya ada kita saja jangan memanggil kami Nona. Kau juga sebenarnya Nona muda dari keluarga Atharel"
"Biarkan saja Ki, Nira masih harus belajar banyak hal" Asteria mendukung apa yang di katakan Nira
"Asteria apa kau yakin dengan keputusanmu ini?" Kiran tau betul bagaimana keluarga Wardana memperlakukan menantu mereka
"Aku yakin Ki, aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Percayalah padaku"
"Berjanjilah kau akan menjaga dirimu dengan baik dan satu lagi jangan sampai terluka. Aku tidak mau mengecewakan Tante Alya dan Om Alex"
Asteria beralih duduk di samping Kiran, ia memeluk Kiran dengan penuh kasih sayang
"Karna dirimu lah adekku bisa kembali, karna dirimu lah kehidupan kami kembali bahagia" Asteria melepas pelukannya air matanya sudah jatuh saat mengingat bagaimana hancurnya ke dua orangtuanya saat kejadian itu
"Aku ingin membantumu Ki"
***
Di tempat lain, Gavriel menerima bunga lily hitam dari pengirim misterius berinisial Z. Bunga itu sempurna, hitam pekat, aromanya manis menusuk.
"Ibu, ini hadiah dari temanku… katanya, untuk merayakan kebebasanku." Gavriel sengaja berbohong agar ibunya tak membuang bunga itu.
Namun begitu Shara pergi, tatapan Gavriel berubah gelap.
(Ibu… masih berhubungan dengan Santoso?)
Ia mengepalkan tangan. "Santoso… aku akan menuntut balas."
Gavriel akui bahwa ia dulu adalah salah satu murid dari Mbah Santoso, lebih tepatnya murid kesayangan Mbah Santoso dan Mbah Santoso ini lah yang menawarkan bantuan kepada Gavriel untuk membantu persalinan Valora dari jarak jauh.
Awalnya Gavriel tidak tau jika Valora memiliki kekuatan karna Valora pun sebenarnya tidak tau jika dirinya adalah pilihan dari para leluhurnya untuk mewarisi ilmu-ilmu mereka.
Gavriel yang notabenenya memiliki black magic dan Valora yang memiliki white magic akan menghasilkan anak yang memiliki kedua dari magic yang bertentangan. Mbah Santoso terlambat mengetahuinya dan berakhir membunuh tubuh anak Valora namun Mbah Santoso tidak bisa menghancurkan jiwanya.
Namun Gavriel belum bertemu lagi dengan Mbah Santoso selama 5 tahun ini. Ia marah karna Mbah Santoso berniat membunuh istri dan anaknya.
***
Kondisi Cakra semakin memburuk. Ia meracau tanpa henti, memanggil-manggil Valora. Latif berusaha menenangkan, tapi sia-sia.
Shara lalu mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna hitam mengilap. "Mbah Santoso memintaku menaruh mustika pembalik ini di pintu masuk."
Batu itu dingin di tangan, permukaannya licin, memantulkan cahaya lampu seperti emas hitam.
Fungsinya jelas: membalikkan serangan ilmu putih, mengunci energi negatif, dan… melindungi dari sesuatu yang bahkan mereka belum mengerti.
Dan semua orang di ruangan itu tahu, ini baru permulaan.
🦋To be continued...