Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak
Tim detektif bersama beberapa polisi meluncur menuju pelabuhan tempat kapal Mafia Veloro beroperasi.
Di dalam mobil, Bayu fokus menyetir, Cakra menatap laptopnya, sementara Alaric dan Valencia membahas strategi.
Alaric sempat melirik Valencia—gadis itu kembali datar dan dingin, berbeda dari sebelumnya. Ia sadar ada yang berubah, tapi memilih diam.
•○•
Di sisi lain, Evan dan timnya melaju menuju pelabuhan. Puluhan mobil dan motor mengiringi di belakang mereka, membentuk barisan yang rapi dan menegangkan.
"Rio..." suara Evan terdengar dingin di tengah deru mesin.
"Semua sudah siap, Tuan. Arga dan timnya mulai memproduksi narkoba terbaru," jawab Rio tanpa menoleh, hanya melirik Evan sekilas lewat kaca spion.
Evan mengangguk pelan. "Pastikan semuanya berjalan aman. Aku tak mau para pelanggan kecewa."
"Siap, Tuan."
Pandangan Evan teralih ke luar jendela. Senyum tipis muncul di bibirnya, teringat pada Valencia—ciuman singkat yang tiba-tiba diberikannya. Tangannya sempat menyentuh pipi, lalu ekspresinya kembali datar. Ia menatap kosong, entah apa yang melintas di pikirannya.
Beberapa menit kemudian, rombongan mereka tiba di pelabuhan. Puluhan pengawal sudah berjaga, menunduk hormat ketika Evan keluar dari mobil setelah Rio membukakan pintu. Tanpa banyak bicara, Evan berjalan menuju kapal kargo besar diikuti Rio dan beberapa pengawal lainnya.
Mereka menelusuri lorong kapal yang sempit namun dijaga ketat. Setiap ruangan diperiksa sekilas, hingga akhirnya Evan berhenti di depan pintu logam tebal yang tertutup rapat.
Rio mengetuk sekali—pintu langsung terbuka dari dalam. Arga muncul dan menunduk sopan. "Silakan, Tuan."
Di dalam ruangan, berbagai alat canggih dan bahan kimia tertata rapi. Beberapa anak buah Arga bekerja cepat di meja produksi.
"Sejauh mana?" tanya Evan tanpa basa-basi, pandangannya menyapu botol-botol kecil berisi cairan transparan.
"Sudah 90%, Tuan. Kami butuh tiga sampai empat hari lagi untuk penyelesaian akhir," jawab Arga mantap.
Evan mengangguk singkat. "Pastikan tak ada kesalahan sedikit pun. Semua harus sesuai dengan prosedur yang aku tetapkan."
“Siap, Tuan,” jawab Arga cepat.
Suasana kembali hening, hanya suara mesin dan gelembung cairan kimia yang terdengar, sementara Evan berdiri tegap—dingin dan penuh kendali.
•●•
Di luar pelabuhan, tim kepolisian dan para detektif mulai bergerak dalam senyap. Mobil-mobil berhenti di titik aman, dan tiap anggota sudah menempati posisi masing-masing.
“Tim A, turun ke lapangan. Pastikan Evan tak menyadari keberadaan kita,” perintah Andra tegas melalui alat komunikasi di telinganya.
“Siap, Kapten!” sahut beberapa suara bersamaan.
Tim A segera bergerak cepat. Valencia dan Alaric termasuk di dalamnya. Langkah mereka ringan namun sigap, menyusuri sisi pelabuhan yang gelap tanpa menimbulkan suara. Dalam hatinya, Valencia berjuang menahan gejolak — ia tahu apa yang mereka lakukan benar, tapi bagian dirinya masih ingin melindungi pamannya.
Andra kembali memberi instruksi dari pos pengintai. “Sebagian masuk lewat sisi timur. Di sana ada ruangan tersembunyi, kemungkinan Evan ada di dalamnya. Hati-hati, pengawal mereka bersenjata.”
Para detektif mengangguk singkat sebelum berpencar. Valencia memutuskan mengambil jalur berbeda—jalur yang tidak terpantau CCTV polisi. Ia tidak ingin terekam, agar bisa bergerak lebih leluasa.
Sementara itu, Alaric yang sudah melihat sosok Evan dari kejauhan mulai mendekat. Namun langkahnya tertahan ketika salah satu pengawal menyerangnya. Satu pukulan keras dilayangkan, tapi Alaric cepat membalas. Pertarungan sengit pun pecah di lorong sempit itu.
“Ambil alih di sini! Aku masuk ke dalam!” seru Alaric pada rekannya. Ia menyingkirkan lawan terakhir, lalu melaju ke arah ruangan tempat Evan berada.
Dari jauh, Valencia melihatnya. Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu kalau Alaric berhasil masuk, maka Evan akan tertangkap. Tapi di sisi lain, ia juga tahu pamannya tak akan menyerah begitu saja. Ia harus berpikir cepat.
Tiba-tiba — dor! dor!
Suara tembakan menggema memecah malam.
Evan, Arga, dan Rio sontak menoleh. Rio berlari ke arah jendela pengintai, matanya membelalak. “Sial… polisi datang!”
Evan menatapnya tajam. “Siapkan jalur keluar.”
Namun sebelum mereka sempat bergerak, pintu ruangan terbuka keras. Alaric berdiri di ambang pintu dengan pistol teracung. “Jangan bergerak! Riwayat kalian selesai.”
Evan tersenyum miring. “Kau pikir semudah itu, Detektif?”
Tanpa aba-aba, Rio melompat menyerang Alaric. Benturan keras terjadi, suara logam dan pukulan saling bersahut. Alaric berusaha bertahan, tapi Evan ikut turun tangan, melancarkan serangan cepat dan mematikan.
“Arga! Keluar sekarang!” perintah Evan singkat. Arga langsung kabur lewat pintu belakang.
Bugh!
Pukulan keras mendarat di wajah Alaric, membuatnya terhempas ke lantai. Evan tak membuang waktu — ia menarik Rio dan menuju pintu rahasia di belakang rak besar.
Namun sebelum menghilang, pandangan Evan sempat bertemu dengan Valencia yang bersembunyi di balik peti kargo.
Valencia terpaku, tak mampu bergerak. Evan menatapnya, tanpa kata, namun pandangan itu cukup membuat Valencia tahu: dia kecewa.
Evan dan Rio pun lenyap dalam kegelapan.
“Brengsek!” maki Andra keras melalui alat komunikasi. “Siapa yang memicu kekacauan ini?!”
Sementara itu, Alaric terhuyung mencoba bangkit, dan Valencia masih berdiri diam di tempat — antara rasa bersalah, bingung, dan luka yang dalam.