di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Valerian memutuskan untuk meninggalkan aula utama tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya ringan namun penuh tekanan, gema sepatunya terdengar jelas di lorong istana Phoniks yang sunyi. Alaric mengikuti di belakangnya tanpa suara—ia tahu, pangerannya sedang memikirkan sesuatu yang dalam.
Setibanya di kamar, Valerian langsung menjatuhkan diri ke sofa empuk berwarna gelap. Pandangan mata emasnya kosong, menatap langit-langit sambil memutar ulang kejadian tadi di kepalanya. Suasana sore berubah hening, hanya terdengar suara jam di dinding berdetak perlahan.
“Pangeran,” suara lembut Alaric memecah kesunyian, “saya akan menyiapkan air mandi untuk anda.”
Valerian hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa pun.
Begitu Alaric pergi, ia bersandar ke belakang dan menutup mata sejenak. Suara angin yang masuk dari jendela terdengar menenangkan, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang.
Beberapa bangsawan mulai percaya padaku, pikirnya dingin. Tapi kepercayaan tanpa dasar mudah goyah. Aku butuh bukti. Aku butuh kekuatan.
Tangannya terangkat perlahan, bola api biru kecil muncul di atas telapak tangannya—menyala tenang seperti hatinya yang penuh rencana.
“Apa yang harus kulakukan ya…” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri.
Api di telapak tangannya berubah bentuk menjadi simbol kerajaan—kemudian ia mengepalkannya hingga padam.
“Satu langkah lagi,” bisiknya. “Jika aku ingin mereka semua berlutut, aku harus pastikan mereka melihat siapa sebenarnya Valerian Ravion.”
Beberapa saat kemudian, Alaric kembali dengan suara air yang masih terdengar dari kamar mandi.
“Pangeran, air mandinya sudah siap.”
Valerian membuka mata perlahan, menatap Alaric yang menunduk sopan.
“Baik,” jawabnya datar, lalu berdiri. “Setelah ini, siapkan juga daftar bangsawan yang menghadiri rapat dua hari lalu. Aku ingin tahu siapa saja yang berpihak pada putra mahkota.”
Alaric menatapnya sebentar, lalu mengangguk patuh. “Baik, Pangeran Valerian.”
Valerian berjalan masuk ke ruang mandi tanpa menoleh lagi. Di balik pintu tertutup itu, satu hal sudah pasti—permainan kekuasaan baru saja dimulai.
Cahaya bulan yang lembut menembus tirai tipis, jatuh di wajah Valerian yang tampak tenang namun penuh perhitungan. Angin malam masuk perlahan dari jendela yang terbuka, membuat helaian rambut peraknya sedikit bergetar. Di hadapannya, meja penuh dengan buku-buku tebal dan kertas catatan yang tertulis rapi dengan tinta hitam pekat.
Valerian baru saja menyelesaikan satu halaman, lalu meletakkan pen bulunya dengan pelan. Ia menatap hasil tulisannya sejenak — deretan rencana, perhitungan, dan simbol sihir yang hanya bisa dimengerti olehnya — sebelum menghembuskan napas ringan.
Suara engsel pintu berderit lembut, membuat Valerian menoleh sedikit. Alaric masuk dengan mendorong troli perak yang berisi makanan hangat. Wangi daging panggang dan sup jamur memenuhi udara dingin kamar itu.
“Pangeran, sudah saatnya makan malam,” ujar Alaric sopan, nada suaranya lembut tapi berwibawa.
Valerian mengangguk pelan, menutup bukunya lalu bangkit dari kursi. Langkahnya tenang menuju meja kecil di dekat jendela, tempat cahaya bulan jatuh seperti sorotan alami. Alaric menyiapkan hidangan satu per satu, gerakannya rapi dan penuh kebiasaan.
“Alaric,” panggil Valerian tiba-tiba.
“Ya, Pangeran?”
“Biasanya anak-anak akan mendapatkan pendidikan di mana?” tanyanya datar, namun matanya menatap lurus ke arah pemandangan malam di luar jendela.
Alaric berhenti sejenak, sedikit heran dengan arah pembicaraan itu. “Mereka akan masuk ke Akademi, Pangeran. Sama seperti Putra Mahkota dan Pangeran Kedua. Saya dengar sebentar lagi akan ada penerimaan murid baru di sana.”
Valerian tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai kilatan rencana daripada kebahagiaan. “Kalau begitu, aku ingin masuk ke Akademi.”
Alaric sontak menatap Valerian dengan mata membesar sedikit. “Apa… Anda ingin masuk ke Akademi, Pangeran?”
Valerian menyendok makanannya dengan gerakan anggun, lalu mengangguk tanpa menoleh. “Ya. Aku ingin melihat sendiri bagaimana sistem mereka bekerja. Dan… siapa saja yang bermain di dalamnya.”
Alaric tampak ragu, namun tetap bicara hati-hati. “Tapi, Pangeran… apakah Yang Mulia Raja akan mengizinkan? Lagipula, rakyat tidak tahu kalau Anda adalah seorang pangeran.”
Valerian menghentikan gerakannya. Tatapannya yang tajam kini beralih pada Alaric, menembus seperti pisau. Senyum tipisnya muncul lagi, dingin namun penuh keyakinan.
“Tak masalah,” ujarnya tenang. “Untuk itu… aku sudah punya cara.”
Alaric menunduk sedikit, menahan rasa ingin tahu yang kuat. Ia tahu pangerannya bukan tipe yang bicara tanpa maksud. Tapi cara pikir Valerian… selalu sulit ditebak, bahkan untuknya yang selalu berada di sisi sang pangeran.
Di luar, angin malam berhembus lebih kencang, meniup nyala lilin hingga bergetar. Di bawah sinar bulan, Valerian tampak seperti sosok bayangan yang mulai menyiapkan langkah besarnya — langkah yang akan mengguncang istana pusat dan semua yang berada di dalamnya.
Selesai makan malam, Valerian meneguk seteguk terakhir anggur merah di gelasnya. Gerakannya tetap tenang, seolah tak ada hal yang mendesak—padahal otaknya sudah berputar cepat memetakan langkah demi langkah.
Alaric membereskan piring dan troli dengan cekatan, lalu menunduk sopan sebelum keluar kamar. “Selamat beristirahat, Pangeran.”
Begitu pintu tertutup, suasana hening menyelimuti ruangan. Hanya suara jam berdetak pelan di dinding dan angin malam yang menghempas tirai.
Valerian bangkit dari kursi, berjalan menuju meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen, buku tua, dan peta kerajaan. Ia menyalakan lilin tambahan, membuat cahaya kekuningan menerangi ruangan dengan lembut. Dari sana, ia mengambil pena bulu dan mulai menulis cepat di atas selembar kertas baru.
Tinta hitam menari di atas kertas.
Tulisan pertamanya:
“Langkah pertama — Akademi.”
Ia menatap kata itu sejenak, lalu tersenyum miring.
“Jika ingin menggulingkan mereka, aku harus melihat akar kekuasaan mereka,” gumamnya lirih. “Dan semuanya dimulai dari Akademi…”
Ia mulai mencatat detail demi detail:
— Menyusun identitas palsu dengan nama samaran.
— Mengatur surat rekomendasi agar bisa diterima tanpa diketahui pihak kerajaan.
— Mengirim salah satu budaknya, Lyra, untuk memantau sistem pendaftaran.
— Menggunakan Raven untuk menghapus semua catatan lama tentang keberadaannya di istana.
Tulisan-tulisan itu berubah menjadi peta strategi yang rumit: diagram alur, tanda panah, dan catatan singkat penuh kode.
Valerian menatap hasilnya lama-lama, matanya menyipit sedikit. “Jika semua berjalan sesuai rencana, aku bisa mengawasi gerak Putra Mahkota langsung dari dalam.”
Ia menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas dalam. Bulan di luar jendela tampak menggantung tepat di atasnya, seperti saksi bisu dari rencana yang akan mengguncang seluruh kerajaan.
“Waktu bermain sudah dekat,” bisiknya dengan nada rendah namun berbahaya. “Mari kita lihat… siapa yang akan tersenyum terakhir.”
Di luar, angin berdesir kencang—membuat tirai berkibar. Dan di balik sinar bulan, bayangan Valerian tampak seperti sosok iblis yang baru saja menulis awal dari kehancuran musuh-musuhnya.