Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Malam itu jalanan kota terlihat lengang, hanya lampu-lampu jalan yang memantul di kaca mobil hitam yang melaju pelan.
Ara yang duduk di kursi penumpang menatap ke luar jendela. Tapi lama-kelamaan, ia menyadari sesuatu yang aneh.
Arah jalan yang diambil Edward tidak seperti biasanya. Ia mengernyit, memutar tubuh sedikit ke arah suaminya.
“Edward,” panggilnya pelan. “Kita tidak menuju ke arah mansion. Bobby salah jalan, bukan?”
Edward tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jalan di depan.
“Mansion sedang direnovasi,” katanya tenang. “Aku memutuskan kita menginap di hotel malam ini.”
“Hotel?” Ara menatap bingung. “Kenapa tidak kau bilang dari tadi?”
“Baru terpikir,” sahut Edward datar, tanpa menoleh sedikit pun.
Di kursi depan, Bobby hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia tahu betul kalau alasan majikannya itu hanya omong kosong.
Mansion mereka baik-baik saja, tak ada renovasi apa pun.
Edward hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang istri, apalagi malam ini salju diperkirakan turun cukup lebat.
Tapi tentu, Bobby terlalu cerdas untuk membantah. Ia hanya berdehem pelan, menahan tawa kecil di tenggorokannya.
Perjalanan berlanjut dengan hening, hingga mobil berhenti di depan hotel berbintang lima yang berdiri megah di tengah kota.
Saat mereka masuk, Ara menatap sekeliling kagum.
“Tempat ini… indah sekali,” katanya lirih.
Edward hanya mengangguk singkat. Setelah Bobby menyelesaikan proses check-in, seorang pelayan segera mengantar mereka menuju kamar di lantai tertinggi. Suite pribadi dengan pemandangan kota yang menakjubkan.
Begitu pintu terbuka, Ara langsung terpana. Ruangan itu begitu luas dan mewah.
Sofa beludru, ranjang besar, dan balkon kaca yang menampakkan kota yang diselimuti salju putih. Tapi bukan hanya itu saja yang membuatnya tertegun.
Di meja makan, sudah tersaji beberapa hidangan lengkap, termasuk steak kesukaannya.
Ara menoleh heran. “Edward, ini apa? Kenapa ada steak lagi di sini? Bukankah kita sudah makan di restoran?”
Edward berdehem pelan, lalu melangkah mendekat sambil menatap piring itu seolah mencari alasan.
“Aku belum makan sama sekali tadi,” katanya santai. “Dan aku tak mau makan kalau kau tidak menemaniku. Jadi, bantu aku menghabiskannya.”
Ara tersenyum kecil. “Kau sedang berbohong, ya?” katanya lembut. “Kau bilang begitu supaya aku mau makan.”
Edward hanya menatapnya sekilas dan tidak membantah. Senyum tipis di bibirnya justru memperjelas bahwa Ara benar. Ia masih mengingat wajah kecewa Ara di restoran ketika hidangannya belum habis dan ia mengajaknya pulang.
Maka malam ini, ia ingin menebus itu dengan cara yang sederhana.
Ara menatap steak itu, lalu duduk di kursi.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan menemanimu.” Ia memotong daging itu kecil-kecil, kemudian mengangkat potongan pertama dengan garpu dan mengarahkannya ke mulut Edward. “Makanlah.”
Edward sempat ingin menolak, tapi akhirnya menunduk sedikit dan membuka mulutnya. Ia mengunyah perlahan, menatap wajah Ara yang terlihat tulus dan lembut.
Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan itu malam ini, sesuatu yang hangat dan sulit diungkapkan.
“Bagaimana rasanya?” tanya Ara dengan mata berbinar.
“Sangat enak,” jawab Edward tanpa berpikir panjang. Tapi bukan rasa steak yang ia maksud, melainkan momen di mana istrinya itu tersenyum untuknya.
Mereka terus makan bersama. Sesekali tangan mereka bersentuhan, membuat udara di antara mereka terasa aneh dan juga menegangkan.
Hingga akhirnya, semua steak itu habis.
Ara mengambil botol wine yang sudah disiapkan di meja, menuangkan ke dua gelas.
“Kau pasti lelah,” katanya sambil menyodorkan segelas pada Edward. “Minumlah sedikit. Ini akan membuatmu rileks.”
Edward menerima gelas itu tanpa curiga. Tatapannya masih tertuju pada Ara yang menyesap wine-nya pelan. Ia lalu ikut meneguk miliknya.
Namun baru beberapa menit kemudian, wajahnya mulai terasa panas. Urat di lehernya menegang, napasnya sedikit memburu.
“Sial…” gumamnya pelan sambil memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut.
Bobby yang dari tadi menunggu di luar kamar terlonjak kaget ketika mendengar suara berat majikannya. Ia menepuk dahinya sendiri.
“Astaga, tuan malah minum wine yang seharusnya untuk nona Ara?”
Ya, saking terpesonanya pada Ara, Edward sama sekali tak sadar bahwa Bobby sebelumnya meneteskan sedikit obat perangsang ke dalam wine Ara, sesuai rencana nakal tuannya.
Tapi karena Ara justru memberikan gelas itu padanya, yang kena justru Edward sendiri.
“Edward, kau baik-baik saja?” tanya Ara khawatir, melihat wajah suaminya yang mulai memerah.
Edward mengerang pelan. “Aku hanya pusing sedikit.” Tapi rasa itu bukan sekadar pusing.
Tubuhnya seperti dialiri listrik hangat, detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Tatapan matanya mulai kabur, namun tetap fokus pada sosok Ara di depannya.
Ara mendekat, mencoba memegang kening Edward.
“Kau demam? Wajahmu panas sekali.”
Edward menggenggam pergelangan tangan istrinya.
“Ara… jangan terlalu dekat, atau aku...”
Ara menatapnya bingung. “Atau kau apa?”
Edward tidak sempat menjawab. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ara.
Dalam benaknya, Edward mencoba menahan diri, tapi tubuhnya seolah tak mau diajak kompromi. Sementara Ara masih belum memahami situasi yang sebenarnya.
“Dia kenapa?” batin Ara.
**
Di luar pintu, Bobby menggeleng sambil menghela napas panjang.
“Astaga, semoga Tuan tidak sadar kalau obat itu seharusnya bukan untuk dirinya,” gumamnya pelan.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul