"KENAPA HARUS AKU SATU-SATUNYA YANG TERLUKA?" teriak Soo, menatap wajah ibunya yang berdiri di hadapannya.
*********************
Dua saudara kembar. Dunia dunia yang bertolak belakang.
Satu terlahir untuk menyembuhkan.
Satu dibentuk untuk membunuh.
*********************
Soo dan Joon adalah saudara kembar yang dipisahkan sejak bayi.
Soo diculik oleh boss mafia Korea bernama Kim.
***********************
Kim membesarkan Soo dengan kekerasan. Membentuknya menjadi seorang yang keras. Menjadikannya peluru hidup. Untuk melakukan pekerjaan kotornya dan membalaskan dendamnya pada Detektif Jang dan Li ayah mereka.
Sementara Joon tumbuh dengan baik, kedua orangtuanya begitu mencintainya.
Bagaimanakah ceritanya? Berhasilkah Soo diterima kembali di keluarga yang selama ini dia rindukan?
***********************
"PELURU" adalah kisah tentang nasib yang kejam, cinta dan balas dendam yang tak pernah benar benar membawa kemenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KEZHIA ZHOU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENCARIAN
Soo menarik napas pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Park memperhatikannya dengan cermat, lalu bertanya, suaranya lembut namun tetap tegas.
“Bagaimana keadaanmu?"
Tatapan Soo masih kosong. Dia sadar sepenuhnya sekarang, tapi tubuhnya terasa ringan seperti baru diangkat dari mimpi buruk. Park duduk di sampingnya, mencoba memastikan kondisi pria itu, lalu menyapu pandang ke sekitar kolam yang mulai gelap.
"Tuan Kim sudah pergi. Ayo berdirilah," kata Park sambil meraih lengan Soo dan membantunya bangkit.
Soo berdiri perlahan. Namun ketika pandangannya kembali mengarah ke permukaan air, matanya menyipit, seolah ada bayangan yang menariknya kembali ke masa lalu. Trauma itu masih menempel, seperti luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Sekilas saja melihat warna biru air, tubuhnya kembali tegang.
Tanpa mengatakan apa pun, Soo memalingkan wajah dan masuk ke dalam rumahnya. Setibanya di kamar, dia meraih handuk, melepaskan baju basahnya, dan mengeringkan tubuhnya. Gerakannya cepat, sedikit gelisah. Rambutnya ia gosok kuat-kuat, seolah ingin menghapus dingin yang menempel sampai ke tulang.
Ketika ia mengganti pakaian dan menyelipkan tangan ke saku celana—celana yang tadi masih basah—dia menemukan ponselnya. Layarnya menyala, menampilkan pesan baru dari ayahnya.
“Jangan lupakan peraturan di keluarga kita”
Soo menatap kalimat itu lama. Lalu, tanpa ekspresi, ia menutup layar dan memasukkan ponselnya kembali. Tidak ada komentar. Tidak ada keluhan. Hanya diam—diam yang sudah menjadi cara hidupnya sejak kecil.
Ia kembali mengusap rambutnya yang masih menetes. Udara malam yang masuk dari jendela membuatnya sedikit menggigil.
Tak lama kemudian, Park muncul di ambang pintu kamar sambil membawa secangkir teh panas. Aromanya menghangatkan ruangan.
"Minumlah, supaya badan mu terasa lebih baik," ucapnya, menyodorkan cangkir itu dengan hati-hati.
Soo menerima cangkir itu tanpa berkata apa pun. Diam, namun jelas bahwa kelelahan dan dingin masih membungkus dirinya. Tetapi cengkeramannya stabil—ia tidak lagi gemetar.
...****************...
Di waktu yang sama, Li dan Detektif Jang sudah tiba di Seoul. Sejak turun dari mobil, raut Jang tampak tidak seperti biasanya. Matanya kosong, pikirannya jauh. Li yang memperhatikan perubahan itu akhirnya menoleh.
"Sedang memikirkan sesuatu?" tanya Li, suaranya pelan tapi jelas.
Detektif Jang hanya menggeleng. Dia belum siap bercerita—setidaknya belum sebelum dia memahami siapa pria misterius yang tadi ditemuinya.
"Aku akan menelepon Joon dulu untuk menjemputku," ucap Li sambil menepuk pundak sahabatnya.
Jang mengangguk pendek. Li segera mengangkat ponselnya, menempelkan ke telinga.
“Joon.. tolong jemput ayah di kedai soju yang tidak jauh dari kantor ayah.”
Begitu panggilan selesai, Li menoleh pada Jang yang masih tenggelam dalam diam.
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimana kalau aku akan mentraktirmu minum? Hehe.." Li merangkul sahabatnya itu, mencoba mencairkan suasana.
Jang akhirnya tersenyum kecil. Kepala pun ia anggukkan.
Mereka berjalan menuju kedai makan dekat kantor. Malam pun bergulir ringan—dua sahabat itu tertawa, berbagi keluh, gelas demi gelas soju membuat suasana semakin hangat.
Tak lama kemudian, Joon muncul. Dia turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Sepertinya seru sekali," katanya sambil berdiri di samping meja.
Li langsung menoleh dan tertawa lebar.
"Hei Joon.. Ayah tidak mendengar suara mobilmu. Ayo sini bergabung dan minumlah seperti seorang lelaki dewasa. Hahaha.."
Jang mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Joon ikut duduk. Joon pun menarik kursi dan duduk di samping ayahnya, tepat berhadapan dengan Detektif Jang.
"Ayo minum," ujar Li sambil menuangkan soju ke gelas Joon.
Joon mengambilnya dan meneguknya dengan senyum lebar.
"Wah... Joon benar-benar sudah menjadi pria dewasa sekarang. Hehe," komentar Jang.
Joon terkekeh. Suasana begitu hangat hingga Jang sempat lupa kegelisahannya. Namun ketika Joon tertawa, Jang memperhatikannya lebih dalam—garis wajahnya, bentuk hidung, struktur rahangnya. Semuanya mengingatkan pada pria yang dilihatnya empat jam lalu.
“Wajah mereka benar benar mirip,” gumamnya dalam hati.
Detik berikutnya, pikirannya memantul dengan kecepatan yang membuat dadanya mengetat.
“Ah.. tidak! Wajah mereka memang SAMA.”
Namun sebelum ia tenggelam terlalu jauh, Joon lagi-lagi membuat lelucon—dan tawa pun pecah di meja itu.
Sampai akhirnya Jang memotong suasana.
"Apakah kau benar benar melihat jenazah putramu yang lain?" tanyanya tiba-tiba.
Tawa berhenti. Tak ada angin, tak ada aba-aba—pertanyaan itu jatuh begitu saja.
Li dan Joon langsung menatap satu sama lain, lalu pada Jang.
"Maksudku, jenazah kembaran Joon," tambah Jang lagi.
Li menarik napas dan mengangguk perlahan.
"Iya. Aku benar benar melihat jenazah putraku. Kenapa tiba-tiba kamu bertanya tentangnya?"
Jang tersenyum samar, mencoba menutupi kegelisahan yang menyengat di ujung suaranya.
"Ah tidak. Aku hanya iseng bertanya saja. Ketika melihat Joon di sini, tiba-tiba aku teringat keponakanku yang sudah tiada itu. Mungkin akan terasa lebih bahagia jika ada dua Joon di sini dan tertawa bersama dengan kita malam ini. He."
Li mengangguk, meski tatapannya penuh tanya. Baginya, ucapannya tak lebih dari nostalgia.
Malam kembali mengalir. Mereka menertawakan hal-hal kecil. Jang berusaha mengubur pikiran tentang pria misterius di Busan—setidaknya untuk sementara.
Setelah beberapa waktu, Joon dan Li pamit untuk pulang. Jang memutuskan menginap di kantor karena terlalu banyak hal menumpuk di kepalanya.
Setelah mengantar mereka sampai mobil, Jang kembali masuk ke kantor. Dia menuju meja salah satu anak buah yang ikut dalam operasi Busan.
"Hei, bagaimana dengan mereka yang sudah berhasil tertangkap?" tanyanya.
“Sebagian besar sudah dibawa ke kantor polisi di Busan,” jawab pria itu.
"Lalu, apakah mereka mengatakan mereka dari anggota mana?" tanya Jang.
Pria itu mengangguk, lalu membuka buku besar berisi daftar data.
“Ini, pak Jang.”
Jang mengambil ponselnya, memotret catatan itu, lalu mengembalikan buku tersebut.
"Memangnya pak Jang sedang mencari informasi tentang siapa?" tanya anak buahnya.
Jang terdiam sejenak sebelum menjawab pelan,
"Tadi aku melihat ada orang yang mirip sekali dengan wajah putra Li. Dan aku sangat ingin tahu tentangnya. Bagaimana bisa ada wajah yang sama persis di dunia ini padahal mereka tidak saling berhubungan."
Pria itu terkejut, matanya membesar.
"Benar, pak Jang. Karena beberapa waktu yang lalu pak Li menceritakan tentang putranya yang tiba tiba diserang oleh beberapa pemuda yang dia tidak kenal."
"Diserang?" Jang menyipitkan mata.
“Ya. Mereka menyerang Joon karena mengira Joon adalah pria lain yang sedang mereka cari. Pak Li awalnya juga tidak mengerti mengapa hal itu terjadi, tapi akhirnya dia mengabaikannya.”
Jang semakin fokus.
“Apakah Li menyebutkan nama pria yang dicari pemuda-pemuda itu?”
Pria itu berpikir keras, keningnya mengerut.
“Emm… aku sedikit lupa… tunggu…,” gumamnya, sebelum mendadak mengangkat telunjuk.
"Ahhh.. kalau aku tidak salah ingat namanya SOO. Ya! Seingatku namanya adalah SOO."
Jang mengangguk pelan. Lalu dia merangkul pria itu, mendekatkan mulutnya ke telinga.
"Tolong rahasiakan ini dari detektif Li. Jangan cerita kalau aku mencari tau tentang pria ini. Aku tidak ingin membuatnya berfikir yang tidak-tidak. Biarkan aku menemukan fakta tentang lelaki ini. Oke?"
Pria itu cepat mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya.
"Terima kasih ya," ujar Jang sebelum beranjak.
Ia kembali ke ruangannya, duduk di depan komputer. Tangannya langsung mengetik satu kata:
SOO
Namun yang muncul justru membuat tengkuknya merinding.
not found
Tidak ada data. Tidak ada identitas. Seolah pria itu tidak pernah ada.
Jang menghela napas panjang.
"Bagaimana mungkin namanya tidak terdaftar... tidak mungkin dia tidak memiliki kartu identitas," bisiknya.
Kemudian, dalam diam yang menegang, ia bersandar dan menatap layar.
"Siapa pria itu…"