Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 15
Lara
Napas ini tersekat, seperti terkurung di ruang yang pengap.
Ingin lari, tapi bayangan itu tetap mengejar masa lalu yang enggan redup.
Setiap langkahku seolah diteriaki oleh suara yang tak pernah padam menerobos waktu, menyeretku kembali ke luka yang diam-diam kupendam.
Aku menutup mata, berharap gelap jadi pelarian.
Tapi bayang itu menari di balik kelopak,
membisikkan rindu getir, menggores benak dengan kenangan retak.
Ia bukan lagi hanya sosok,
melainkan gema—membentuk labirin dari harapan yang patah dan janji yang terlupakan.
Aku terperangkap,
bukan oleh ruang, tapi oleh rasa, yang tak pernah sempat menjadi kata.
Dan meski malam menawarkan sunyi, hatiku tetap riuh oleh nama yang enggan pergi.
❄️❄️❄️
Serpihan salju turun tanpa suara,
menyelimuti malam saat Lara turun dari bus, menyusuri trotoar sempit yang mengarah ke apartemennya. Jalanan Annecy lengang. Lampu-lampu jalan melemparkan cahaya kekuningan ke permukaan es yang membungkus genangan air beku. Suasana seperti lukisan sunyi yang menggigil.
Tangannya tetap terbenam dalam saku mantel, napasnya membentuk kabut tipis di udara malam yang menggigit. Setiap langkahnya terdengar samar saat sol sepatunya menyentuh lapisan es tipis di atas trotoar.
Sesekali ia menoleh ke arah belakang, ke jalanan yang baru saja dilaluinya. Bukan karena ada sesuatu, hanya kebiasaan. Mungkin bagian dari dirinya masih berharap melihat seseorang berdiri di sana, membeku seperti sisa kenangan yang belum sempat mencair.
Saat akhirnya sampai di depan gedung apartemen tua yang ia sewa, Lara berhenti sejenak. Jendela-jendela di lantai atas sudah redup. Kota ini tidur lebih awal saat musim dingin.
Ia membuka pintu, menaiki anak tangga kayu yang mengeluarkan bunyi kecil di setiap pijakan. Sesampainya di lantai dua, ia masuk ke unit kecilnya. Hangat. Sepi. Terlalu sunyi untuk ruang yang begitu familiar.
Lara melepaskan mantel, menggantungnya di belakang pintu, lalu duduk di tepi tempat tidurnya tanpa menyalakan lampu. Jendela di samping ranjang menghadap ke gang kecil yang diterangi lampu jalan.
Di sana, serpihan salju masih turun, perlahan, seperti tidak ingin mengganggu dunia.
Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan satu benda, buku usang yang tadi sempat ia pegang di pasar. Tanpa sadar, ternyata ia membelinya, dan membawanya pulang. Atau mungkin memang tidak pernah benar-benar ingin meletakkannya kembali.
Jarinya menyusuri halaman pertama, membaca ulang tulisan tangan yang tadi ia temukan.
Pour ceux qui se perdent en silence.
Ia menutup mata, membiarkan kalimat itu menempel di pikirannya seperti stempel yang tak bisa dihapus.
Di luar, angin menggoyangkan ranting-ranting pohon yang meranggas. Di dalam, Lara duduk diam, mencoba membedakan antara kenangan yang harus dilepaskan, dan yang sebenarnya masih ingin ia simpan.
Lara bersandar pada dinding, buku itu tergeletak di pangkuannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi pikirannya mulai kabur, menyeretnya kembali ke waktu yang pernah terasa hangat.
Flashback
Beberapa tahun lalu, di sebuah perkemahan tepi danau di Lembang.
Udara sore mulai menggigit, tapi langit memerah indah.
Pantulan senja melukis riak tenang danau di Lembang.
Api unggun kecil menyala di antara batu-batu, menghangatkan dua cangkir teh dan dua jiwa yang duduk berdekatan.
Arga memanggang marshmallow, sementara Lara menyandarkan dagu ke lutut, menyimak dalam diam.
“Malam ini sempurna,” bisik Arga sambil menyodorkan marshmallow gosong kepada Lara.
Lara mengerutkan kening. “Kamu selalu membakarnya. Itu sudah bukan marshmallow, tapi arang.”
“Tapi arang ini penuh cinta,” Arga tertawa, lalu menatap api unggun. “Kamu tahu, kadang aku berpikir, kalau hidup kita cuma bisa sesederhana ini selamanya, aku nggak minta apa-apa lagi.”
Lara memandangi wajah Arga dalam cahaya oranye api. Di sana ada damai. Ada rasa pulang.
Arga mengeluarkan kotak kecil dari kantong jaketnya, membuka pelan. Di dalamnya, cincin perak dengan ukiran kecil di sisi dalam, A & L.
“Ini bukan lamaran resmi, belum,” katanya perlahan. “Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku serius. Suatu hari nanti, aku ingin bangun setiap pagi dan melihat kamu duluan sebelum sinar matahari.”
Lara menatap cincin itu, lalu tatapannya beralih pada Arga.
“Kamu nggak akan pergi?” bisiknya.
Arga mengangguk. “Aku nggak akan ke mana-mana. Bahkan kalau dunia runtuh... kamu tetap rumah buat aku.”
Ia menyematkan cincin itu ke jari manis Lara. Api unggun terus menyala. Dan di atas mereka, bintang mulai bermunculan satu per satu, saksi diam dari malam yang kemudian hanya akan tinggal dalam ingatan.
Kembali ke masa kini – Annecy
Lara mengusap jari manisnya secara refleks. Tak ada cincin di sana. Tapi kulitnya seperti masih mengingat dinginnya logam yang dulu menyematkan harapan.
Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu yang mengendap di balik matanya.
Tak ada pesan dari Arga. Tak pernah ada alasan.
Namun kenangan-kenangan tetap tinggal, seperti bekas hangat api yang sudah lama padam.
Lara merebahkan tubuhnya ke ranjang, mencoba mengusir kisah lama yang kembali menyeruak-kenangan yang seharusnya sudah ia haramkan hadir.
Hari ini terasa begitu panjang, pasar vintage Talloires menguras hampir seluruh energinya.
Namun, ada sesuatu yang aneh, semacam kelegaan yang perlahan meresap dalam dirinya. Walau lelah, hatinya merasa sedikit lebih ringan, seperti ada bagian dari dirinya yang kembali ditemukan di antara tumpukan barang-barang tua itu.
Ia menarik selimut dan membiarkan tubuhnya terbungkus kehangatan, meskipun pikiran dan tubuhnya tetap dibebani rasa lelah yang mendalam. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya remang dari luar.
Namun, pikiran Lara tidak bisa sepenuhnya terhenti. Serpihan salju yang masih turun di luar sana mengingatkannya pada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia raih meski sudah lama ia mencarinya.
Dengan napas berat, ia memejamkan mata, mencoba meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menghinggap. Mungkin, untuk hari ini, ia bisa membiarkan semuanya pergi, memberikan ruang bagi dirinya untuk sekadar merasa lelah tanpa perlu berpikir terlalu banyak.
Tapi entah kenapa, rasa terhibur itu tetap ada, seakan pasar itu tidak hanya menyisakan kenangan, tetapi juga membawa semangat yang entah berasal dari mana.
Lara menutup matanya rapat-rapat, berharap bisa tidur dan membiarkan malam menyembuhkan sedikit luka yang tak terlihat.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian