NovelToon NovelToon
Candu Istri Klienku

Candu Istri Klienku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: N_dafa

"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

*

“Ayo ambil, Mbak, keburu jatuh.” Ucap Monik saat memberikan makanan kepada Ajeng, melalui balkon kamar, di samping kamar Ajeng.

Sialnya, antara balkon satu dan yang lainnya di rumah Ajeng, sengaja didesain berjarak demi menjaga privasi masing-masing penghuni kamar. Jadi, mereka terpaksa menggunakan kayu panjang untuk mentransfer makanan itu.

“Makasih ya, Mon, udah mau aku suruh-suruh terus.”

“Hehehe. Nggak apa-apa, Mbak. Aku kan emang asistennya Mbak Ajeng.”

Ajeng tersenyum tulus kepada gadis itu.

“Tapi, Mbak. Kok Mbak Ajeng pesennya enak-enak terus sih? Buat menghibur diri ya? Kemarin, sarapan aja kayak menunya bule. Terus, siangnya makan seafood yang terkenal itu. Makan malamnya ayam goreng doang, tapi dari restoran mahal. Sekarang, pesan lagi nasi bento Jepang yang bikin aku ngiler. Cuma tadi pagi doang tuh, makannya bubur ayam.”

Ajeng tersenyum lagi.

“Kenapa? Kamu mau?” wanita itu seolah paham maksud Monik.

“Hehehe. Ya mau lah, Mbak. Apalagi kalau gratis.” Gadis itu nyengir sambil memeluk tongkat yang ia pakai untuk mengantar makanan Ajeng tadi.

“Ya udah, nanti aku suruh orangnya beliin dua.”

“Hah? Orangnya? Siapa maksudnya? Mas Rendy? Apa kurir?”

Ditanya begitu, Ajeng mendadak gelagapan.

“Ee—em… iya, kurir. Nanti aku pesenin dua.” Ajeng lantas tersenyum aneh.

“Yey!” gadis itu bersorak riang. “Makasih ya, Mbak. Aku nggak pilih-pilih makanan kok. Apa aja mau. Yang penting, dari brand makanan terkenal biar aku bisa nyicip.”

Ajeng menggelengkan kepalanya memaklumi. Beruntung, Monik tidak bertanya lebih jauh lagi tentang macam-macam.

“Kamu ini, Mon. Ya sudah, tapi nanti malam ya. Kalau sekarang cuma satu soalnya.”

“Oke.” Dia mengacungkan jempolnya dengan wajah ceria. “Kalau gitu, aku kerja lagi ya, Mbak. Kalau ada apa-apa, bilang aja sama aku.”

Ajeng mengangguk dengan senyuman.

Setelah Monik pergi, Ajeng masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia tersenyum sinis melihat makanan yang diantarkan oleh orang suruhan Rendy.

Tidak buruk. Bahkan itu makanan bergizi yang dimasak di dapur mereka sendiri. Tapi, dibandingkan dengan apa yang Biantara berikan, Ajeng mendadak membandingkan.

Tidak. Sebenarnya, Ajeng bukan orang yang pilih-pilih atau hanya menilai sesuatu dari harganya saja.

Namun, karena kesakitan yang diberikan oleh Rendy, nyatanya mampu mengubah pandangan Ajeng, terhadap segala hal yang berkaitan dengan lelaki itu.

Intinya, mau sebaik dan semahal apapun yang Rendy berikan, tidak akan dipandang baik oleh Ajeng.

“Hem… kelihatannya enak.” Gumam Ajeng, membuka box makanan di depannya.

Dia sudah duduk nyaman di kursi kerjanya, dengan tablet menyala di depannya.

“Kayaknya, enak juga kalau jadi istrinya Mas Bian. Apa-apa pasti diturutin. Kayak Mas Rendy yang selalu nurutin Brina si tukang merengek itu.”

Ajeng hampir saja menyuap ebi furai dengan sumpitnya, tapi urung saat dia teringat sesuatu.

“Eh, Mas Bian udah punya istri belum ya? Jangan-jangan….” Ajeng membelalakkan matanya karena berpikir yang tidak-tidak.

“Aaa! Jangan-jangan, dia laki-laki beristri lagi. Ya ampun, Ajeng. Kamu ini gimana sih? Udah tahu rasanya disakiti wanita lain, kenapa nggak pastiin dulu dia udah punya istri apa belum.”

Lagi, Ajeng diingatkan fakta yang lain. “Iya, sih. Kami bukan apa-apa. Tapi kan, harus membatasi juga. Takutnya, pasangannya tersinggung.”

Drrrttt drrrttt drrrttt.

Ajeng langsung menatap ponsel yang bergetar di depannya.

Pupil matanya membesar saat membaca sebuah nama yang tertera disana.

“Mas Bian! Panjang umur amat?”

Tak ingin menunda-nunda waktu, wanita itu lantas mengangkat panggilan video itu.

“Hai, Baby. Apa kabar hari ini?”

Ajeng belum menyapa, Biantara sudah menggombal lebih dulu.

“Ck. Apa sih? Kemarin udah kita bahas ya, Mas. Jangan panggil aku baby-baby lagi. Aku bukan bayi.”

“Baiklah… maafkan aku. Abisnya, kayak udah ter-mindset di kepalaku kalau kamu itu kesayanganku.”

“Ish, nggak usah bilang kayak gitu. Nanti ada yang marah loh…” Ajeng sengaja memancing.

“Oh ya? Siapa yang marah? Apa kamu udah baikan sama suamimu?” wajah Biantara nampak berubah.

“Istrimu lah, Mas. Atau mungkin pacarmu.”

“Hahaha, kenapa tanyanya kayak gitu? Kamu cemburu ya?” Biantara malah meledek.

“Ih, jangan terlalu percaya diri ya. Aku kan cuma mengantisipasi biar nggak nyakitin perasaan orang lain. Soalnya, aku tahu gimana sakitnya saat pasanganku lebih mementingkan wanita lain.”

“Tenang saja! Kalau kamu sama aku, nggak akan ada yang marah sama kamu. Jangankan cuma temenan. Mau jadi istriku pun, aku jamin kamu nggak punya saingan.”

“Em,” Ajeng sedikit gugup. “Memangnya, kamu beneran belum nikah, Mas? Ee, maaf ya kalau menyinggung.”

“Hahaha. Baper amat kayak gitu doang tersinggung?” Lelaki itu malah tertawa. “Kenapa memangnya? Karena aku udah tua ya? Jadi, kamu mikir aku udah nikah.”

“Ya, kurang lebih seperti itu. Mas Rendy juga seusiamu kayaknya. Tapi, istrinya udah dua.” Ajeng tertawa, menertawakan dirinya sendiri.

“Biarin aja. Kan jodoh nggak tahu kapan datangnya. Siapa tahu jodohku masih jadi istri orang.” Ucap enteng Biantara. “Lagipula, umur 30 tahun itu belum tua kok kalau cuma belum nikah aja.”

“Iya sih. Tapi, aku kan cuma tanya. Takutnya, kamu baik sama aku, tapi ada yang nggak suka sampai tersakiti.”

“Kalaupun ada, pasti suamimu saat dia menyesal nanti.”

Ajeng tertawa entah karena apa. “Mana mungkin dia menyesal. Dia udah punya yang lebih disayang.”

“Mudah-mudahan aja iya. Asal jangan pas mantan istrinya aku ambil, dia baru menyesal.”

“Mas… Mas… kamu ini kayak beneran aja ngomongnya.”

“Kenapa? Aku memang beneran, Ajeng. Aku nggak bercanda. Memangnya, kamu pikir, aku deketin kamu dan aku berusaha baik sama kamu itu karena apa? Karena kemanusiaan gitu? Cih, males. Aku bukan badan kesejahteraan sosial." Biantara terlihat memutar bola matanya malas. “Tapi, aku nggak maksa kamu karena aku tahu kamu belum siap. Jadi, cuma sebagai temanmu saja, aku udah seneng.”

Ajeng tersipu malu. Jujur saja, dia senang mendapatkan ungkapan seperti itu. Tapi, dia masih berusaha sekuat tenaga, sebelum benar-benar lepas dari Rendy, dia tidak ingin main hati.

“Duh, lucunya kalau lagi malu-malu kayak gitu.”  Biantara berbicara lagi.

Ajeng sontak melunturkan senyumnya, pura-pura malas. Untuk menutupi kegugupannya, wanita itu memilih memakan makanan di depannya.

“Makanannya udah dateng?” Tanya Biantara, sepertinya baru diingatkan karena melihat Ajeng makan.

“Ini.” Ajeng menunjukkan ayam katsu dengan sumpitnya. “Makasih ya… makanannya enak.”

Biantara tersenyum kecil. “Kalau kamu suka, nanti aku beliin lagi. Tapi, tadi pagi kamu sarapan kan? Aku nggak kirim makanan karena kamu bilang mau makan bubur ayam aja.”

“Iya. Tadi pagi, aku udah sarapan bubur Ayam. Em, kamu sendiri udah makan belum, Mas? Ini udah siang tahu.”

“Sebentar lagi. Aku lagi pengen ngobrol sama kamu, sekalian mau tahu keadaan kamu.”

Ajeng tersentuh lagi, tapi dia pura-pura biasa saja. Lagi, makanan dia pakai untuk menutupi salah tingkahnya.

“Apa Rendy belum bebasin kamu?” Biantara membahas hal lain lagi. Sepertinya, kalau tidak bicara dengan Ajeng, dia gabut.

“Belum. Kalau udah, pasti sekarang aku lagi bantuin anak-anak di bawah.”

“Aku nggak nyangka. Ternyata, kejam juga suamimu. Ini bisa kamu jadikan bukti di pengadilan kalau kamu mau cerai nanti.”

“Ya. Aku udah punya banyak bukti kok. Cuma, sekarang belum ada waktu aja karena masih disini.” Ajeng berbicara dengan mulut penuh.

“Kamu mau aku membantumu keluar dari situ, Baby? Em, maksudku, Ajeng.”

“Makasih tawarannya, Mas. Tapi, biar aku urus sendiri yang bagian ini. Aku nggak mau terlalu melibatkan kamu. Kamu udah banyak berjasa sama aku.”

“Baiklah… tapi, kalau ada apa-apa, jangan sungkan bicara sama aku.”

“Oke. Kayaknya, aku memang butuh sesuatu lagi, Mas. Cuma, mungkin akan merepotkan kamu.” Ajeng tidak terlihat sungkan.

“Apa itu?” Biantara penasaran.

“Nanti malam, beliin aku yang kayak gini lagi ya. Beda menu juga nggak apa-apa. Tapi, dua.”

“Dua? Apa kamu sangat menyukainya?”

Ajeng menggeleng ringan. “Buat anakku. Katanya, dia pengen tadi.”

“Anak? Kamu sudah punya anak?” Terlihat, Biantara terkejut dengan ekspresi berlebihan.

“Bukan anak betulan, Mas. Tapi, anak-anakku. Eh, tapi ini cuma satu sih. Namanya Monik. Dia orang kepercayaanku.”

“Oh, maksudmu, dia anak buahmu?”

“Ya begitulah. Tapi, kalau dibilang anak buah, kayaknya kurang pas.”

“Baiklah terserah kamu aja. Tapi, kamu tenang aja, nanti aku belikan dua pas makan malam nanti. Atau mau semua karyawanmu aku belikan?”

“Eh, nggak usah!” Ajeng cepat mencegah. “Mereka bukan tanggung jawabmu tahu.”

“Jadi, kalau kamu, tanggung jawabku, hem?” Biantara memang paling pintar kalau berdebat.

“Ish, bukan gitu juga maksudnya. Kita kan teman.”

“Ya ya ya. Kita memang teman, Ajeng. Teman ngobrol, teman di ranjang, dan teman hidup."

Tiba-tiba, Ajeng tertawa kecil. “Tadi, pas aku bilang suruh beliin makanan dua porsi buat anakku, kok kamu kayak kaget gitu? Kenapa? Kamu nggak suka ya deket-deket sama perempuan beranak?” Ajeng sengaja memancing.

Ya, memang begitulah perempuan. Suka mengungkit, suka memancing dan suka cari gara-gara.

“Kaget aja. Aku pikir betulan. Tapi, nggak apa-apa juga kok kalau kamu punya anak. Mungkin lain kali, aku bisa kenalan sama anakmu. Cuma, mau percaya pun kayaknya sulit. Soalnya, aku nggak lihat jahitan di perut atau itumu. Semua mulus, kayak belum punya anak.”

Mendengar hal itu, Ajeng mendengus karena kesal. Hidungnya kembang kempis, antara malas, tapi juga malu dalam satu waktu.

“Ish, kamu jorok banget sih, Mas. Masa kayak gitu aja diinget-inget?”

“Aku memang ingat semuanya, Baby. Bahkan, aku tahu kalau dadamu ukurannya tidak simetris.”

“Aku nggak mau denger.” Ajeng menutup telinganya dengan senyum tertahan. Kesal, tapi juga malu.

“Jangan salah tapi, Baby. Itu juga membuatku gemas. Punyamu masih ranum. Apa Rendy tidak sering memainkannya?”

“Bodo amat!” Ajeng melengos kesal.

“Atau memang dasarnya udah pink begitu? Ah, sial! Baru mengingatnya saja aku udah on.”

“Jangan macam-macam ya! Aku nggak mau lihat.”

Biantara tergelak hebat. “Kok nggak mau lihat? Nggak mau lihat apa emangnya? Atau jangan-jangan kamu memang mau lihat dia?”

Lelaki itu malah semakin menggoda Ajeng.

“Bahas itu lagi, aku matiin teleponnya.” Lucunya, Ajeng hanya mengancam, tanpa realisasi.

Bahkan, Biantara saja tidak takut, dan malah tertawa terbahak-bahak. Hingga hampir satu jam lamanya mereka mengobrol apa saja tanpa jeda, seolah lupa waktu.

Barulah, panggilan mereka terputus kala Biantara dipanggil seseorang entah siapa. Tapi, kalau Ajeng tak salah, suaranya laki-laki. Mungkin, rekan kerjanya karena Biantara sedang bekerja di ruangannya.

Sampai benda pipih canggih itu sudah tidak menampilkan wajah Biantara lagi, Ajeng belum melunturkan senyumnya. Wanita itu benar-benar seperti anak muda yang sedang jatuh cinta.

“Ada-ada aja sih tuh orang. Nggak nyangka, dari hal gila itu, kami bisa sedekat ini.” Ajeng menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Tapi ingat, Ajeng. Jangan terlalu baper sama orang. Ingat! Kamu masih istri orang dan kamu belum benar-benar mengenal Biantara.”

Tak mau terlalu memikirkan Biantara, Ajeng memilih menghabiskan makanannya yang tinggal sisa sedikit saja. Ya, satu porsi Bento itu belum habis setelah sekian lama, karena mereka terlalu asyik mengobrol.

Setelah membuang sampah bekas makanannya, Ajeng iseng membuka ponselnya.

Sebenarnya, dia ingin menelpon Monik menanyakan tentang pekerjaan yang mendadak terpikir di kepalanya. Tapi, entah kenapa guliran tangannya membawanya pada fitur story di aplikasi chatnya yang menampilkan banyak cerita dari kontaknya.

Salah satunya, adalah story yang diunggah oleh madunya, yang membuat Ajeng penasaran.

Seolah dikomando oleh otaknya, tangan itu ringan membuka cerita yang dibagikan oleh Sabrina.

‘Suami baik yang apa kata istrinya selalu dituruti.’

Caption itu yang Ajeng baca dari unggahan foto di story Sabrina. Sebuah foto yang menampilkan Rendy sedang makan di sebuah pusat perbelanjaan, tapi wanita itu tutup dengan tangan indahnya yang sedang memamerkan cincin cantik.

Ajeng tersenyum sinis melihat itu. Benar rupanya, Rendy benar-benar membelikan Sabrina berlian seperti keinginan istri keduanya itu.

Hampir saja, Ajeng melempar ponselnya karena kesal, tapi niatnya batal saat ada pesan dari Monik yang memberinya laporan mencengangkan.

[Mbak, aku lihat laporan, Mas Rendy ambil uang usaha 100 juta kemarin. Kata Siska, Mas Rendy bilang mau balikin kalau bayaran konten udah ditarik.]

1
Yunita aristya
ren2 nanti Ajeng sudah pergi baru tau rasa kamu. mau liat kamu nyesal dan jatuh miskin gara2 istri muda mu yg suka foya2😁😂
Nana Colen
luar biasa aku suka sekali karyamu 😍😍😍😍😍
Yunita aristya
lanjut kak
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍
Nana Colen
benar benar ya rumput tetangga lebih hijau 🤣🤣🤣🤣
Nana Colen
dasar laki tak tau diri 😡😡😡😡
Yunita aristya
lanjut
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤
Fitri Handriayani: lanjut
total 1 replies
Nana Colen
iiiih kesel bacanya dongkol sama si ajeng.... cerai jeng cerai banyak laki yang kaya gitu mh 😡😡😡😡
Keisya Oxcel
penasaran
Yunita aristya
lnjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!