Candu Istri Klienku
“Ah, Mas, udah... Jangan lagi. Aku pengen lagi kalau kamu kayak gitu terus."
"Biarin. Aku memang mau lagi. Buka kakimu, sayang...."
"Mas, aku udah make up loh."
"Sedikit saja, sayang. Udah nggak tahan."
"Akh, pelan-pelan. Iya iya... Aku duduk disini aja ya..."
"Errggh, Sabrina. Ini s€ mpit, sayang...."
"Ah, kamu juga en ak, Mas. Terus, Mas lebih da lam!"
"Oke honey! Rasakan ini!"
"Ah..!"
Ajeng mengeraskan rahangnya di depan pintu kamar suaminya.
Biasanya, dia tak pernah sampai bertandang ke rumah istri kedua suaminya. Namun, karena semua kru konten sudah menunggu, dia terpaksa masuk ke sana.
Sialnya, sekali-kalinya dia masuk ke rumah yang berada di sebelah rumahnya itu, malah mendengar hal-hal gila yang menusuk hatinya hingga berkeping-keping.
Karena tak tahan, Ajeng memilih keluar. Dia memberi tahu yang lain, kalau shooting konten dibatalkan saja.
Kebetulan, saat semua peralatan sudah dibereskan, pasangan suami istri yang baru selesai bercinta tadi, datang dengan tingkah sok tergesa.
"Loh, yang lain mana, Dek?" Tanya Rendy—suami Ajeng.
Ya, suami Ajeng dan Sabrina.
"Nggak jadi. Besok aja shooting nya. Anak-anak sibuk sama orderan yang membludak." Jawab Ajeng dingin.
"Oh..." Hanya itu yang keluar dari mulut Rendy. Lelaki itu langsung beralih ke istri keduanya yang masih menempel di lengannya.
"Ya udah yuk, sayang. Kita jalan sekarang aja."
Mendengar hal itu, Ajeng tak tahan untuk tidak bertanya.
“Kalian mau kemana?”
“Brina pengen sushi, Dek. Tahu sendiri kan kalau hamil muda gimana? Meskipun kamu belum hamil, tapi setidaknya kamu sudah paham itu.”
Ajeng tak menjawab, hanya menunjukkan wajah datarnya saja. Ini bukan yang pertama kalinya kok.
“Ya udah yuk, sayang. Kita jalan!” Rendy merangkul Sabrina—istri keduanya dengan mesra.
Sabrina pun, menyambut dengan senyum lebar. Semakin genit bergelayut di lengan suaminya.
“Kita jalan dulu ya, Mbak. Maaf, setelah anter aku beli sushi, Mas Rendy boleh pulang kok. Hari ini, waktunya Mas Rendy di rumah utama kan?”
Jangan harap Ajeng menjawabnya. Tapi, jangan harap juga Sabrina akan peduli.
“Oke, Dek. Aku duluan ya. Sampai ketemu nanti."
Rendy hanya mencolek dagu Ajeng. Tapi, Ajeng melengos cepat hingga sedikit saja tersentuh oleh Rendy.
Rendy pun tak peduli. Dia tetap terus meninggalkan tempat, tanpa mau peduli perasaan Ajeng.
“Udah biarin aja, Mbak. Nanti juga kena karmanya mereka.”
Perhatian Ajeng dari dua sejoli itu, terpaksa dialihkan akibat suara Monik—asisten Ajeng.
“Kamu berharap mereka dapat karma apa, Mon? Mereka loh nikah sah.” Ajeng menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, untuk menutupi perasaannya.
“Ya karma yang menyakitkan lah. Kan mereka berdua udah nyakitin Mbak Ajeng. Mas Rendy juga udah nggak nepatin janji yang katanya mau adil. Mana? Orang dia lebih mentingin Si Sobri terus selama ini.” Monik terlihat jengkel.
“Sabrina, Mon.” Ajeng sok mengingatkan, padahal dirinya sendiri sedang kesal.
“Nggak pantes dia punya nama cantik gitu, Mbak. Dia itu kan pelakor.”
“Sudahlah, mungkin Mas Rendy cuma mau manjain dia aja karena lagi hamil.”
“Eh, jangan mentang-mentang dia hamil ya, Mbak. Mbak Ajeng juga bisa hamil kalau dulu nggak suruh nunda kehamilan dulu. Dulu bilangnya biar sukses dulu. Giliran udah sukses malah ditinggal kawin lagi.”
“Udah… udah… kok malah jadi kamu yang kesel. Aku aja biasa aja.”
“Dih, aku nggak percaya. Paling, di dalem hati Mbak Ajeng, juga dongkol kan? Aku aja pengen jambak rambutnya si Sobri kalau lagi sok manja gitu. Mbak Ajeng sih terlalu baik.”
Dikatai seperti itu, Ajeng hanya bisa tertawa miris dalam hatinya.
Ya, ini salahnya.
Dia yang sudah mengizinkan Rendy menikah lagi tiga bulan lalu, setelah perseteruan sengit mereka yang seolah tak pernah padam selama berbulan-bulan.
Kalau sudah terlanjur seperti ini, Ajeng hanya bisa menyesal mengingat kejadian kala itu.
Empat bulan yang lalu.
Prang!
“Itu lagi, itu lagi yang kamu minta, Mas. Sekarang, gini aja. Kalau kamu mau menikah lagi, ceraikan aku saja!”
Bunyi barang-barang terjatuh yang diikuti oleh suara nyaring seorang wanita, terdengar di sebuah rumah dua lantai, di pinggir kota.
Gaduh, hingga menimbulkan perhatian para penghuninya yang berlalu lalang.
Tapi, mereka semua tak ada yang ikut campur, atau sekedar melerai pertengkaran suami istri itu.
Sudah biasa, pikir mereka.
Hal ini sudah terjadi sejak setengah tahun belakangan, dimulai saat sang kepala rumah tangga meminta izin berpoligami.
“Nggak mau, Dek. Mas kan udah bilang, Mas nggak mau cerai sama kamu.” Rendy, si pelaku utama memohon.
“Kalau nggak mau, kenapa malah mau nikah lagi?” Tantang Ajeng, sang istri.
“Sudah Mas bilang, Mas mau menghindari zina, Dek. Makanya, Mas inisiatif menikahi Sabrina. Maaf, Dek. Tapi, kamu tahu sendiri apa yang sudah kami lakukan, dan aku mau bertanggung jawab sama dia.”
“Halah! Bilang aja kamu masih cinta sama mantanmu itu kan?" Ajeng menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Mas nggak munafik. Mas memang tertarik sama Sabrina di luar kecelakaan yang sudah kami lakukan. Tapi, bukan itu penyebab utamanya. Itu hanya kecelakaan karena kami dikerjai anak-anak. Mas itu sayang sama kamu, Dek. Mas nggak mau kehilangan kamu.”
Ajeng diam saja dengan rahang mengeras. Entah, sudah berapa kali dia mendengar pembelaan itu.
“Mas sudah minta maaf sama kamu. Mas mengaku salah. Tapi, mau gimana lagi? Semua sudah terjadi. Mas juga udah dapet konsekuensinya. Kamu lempar Mas pakai panci, udah. Kamu main pisau sampai melukai Mas juga udah. Nih masih ada bekas jahitannya.”
Ajeng melengos saat Rendy menunjukkan bekas luka di lengan karena ulahnya.
“Kamu mecahin barang-barang dari yang murah sampai yang berharga pun juga udah biasa. Pulang ke rumah Ibu, juga udah kamu lakuin. Terus, apalagi sekarang? Mas cuma minta izin tanggung jawab sama Sabrina, Dek. Mas janji akan adil sama kalian.” Lelaki itu terus membujuk.
“Cih! Adil katamu?” Ajeng melotot.
Ya, saking terbiasanya mendengar permintaan itu, Ajeng seolah sudah kebal.
Lihatlah, bahkan wanita itu sudah tidak menangis lagi, dan hanya mengedepankan emosinya.
“Mas janji, Dek. Dari segi apapun, Mas akan berusaha adil.”
“Nggak mungkin!” Teriak Ajeng. “Kalau kamu masih pakai uangku untuk menafkahi gundikmu itu, bukan adil namanya. Di usaha kita ini ada keringatku yang mengalir, bahkan aku yang lebih dulu memulai ini semua.”
“Tapi kan Mas yang jalanin.”
Benar, itu semua memang benar.
Mereka ini, bisa dikatakan sebagai orang kaya baru, setelah menjadi konten kreator dan pengusaha private label sebuah produk parfum yang mereka buat sendiri.
Makanya, meskipun belum punya anak sampai sekarang, di rumah mereka ada banyak penghuni selain keluarga.
Tapi, lebih banyak lagi, yang berada di gudang sebelah rumah mereka—tempat yang menjadi pusat aktivitas perdagangan secara online private label milik mereka.
Mereka sudah memiliki beberapa reseller dan dropshipper di marketplace-marketplace sosial media dan dipasarkan di hampir semua online shop besar negeri ini.
Semua bermula saat Ajeng yang sering gabut ditinggal kerja oleh Rendy, membuat konten sederhana aktivitasnya di rumah. Tak jarang, dia melibatkan Rendy saat lelaki itu sedang tidak bekerja, layaknya manusia jaman sekarang yang senang menjual kehidupan untuk konten.
Lama-lama, karena kontennya berhasil menarik minat penonton, Ajeng sering ditawari iklan beberapa produk, hingga yang paling meledek adalah iklan parfum milik orang lain.
Dari sana, tercetuslah ide untuk membuat merek parfum mereka sendiri setelah berunding berdua saja.
Akhirnya, mereka sepakat, namun tidak membuat racikan parfum mereka sendiri. Mereka memutuskan mengambil produk dari perusahaan maklon parfum agar tidak terlalu membebani mereka.
Pada akhirnya, Ajeng menggunakan semua tabungan hasil kontennya untuk menambahi modal dari tabungan keluarga mereka selama satu tahun menikah. Bahkan, Rendy sampai nekat keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, karena ingin fokus berbisnis dengan istrinya.
Maklum, Rendy lah yang menjadi pentolan usaha mereka karena Ajeng belum terbiasa berkiprah di dunia bisnis. Tapi, tentu saja andil Ajeng tak kalah banyak menggunakan sosial medianya.
Nyatanya, usaha mereka berhasil. Semua berkembang dengan pesat. Di tahun ketiga pernikahan mereka, mereka bisa dikatakan punya segalanya. Popularitas, harta, bahkan usaha yang semakin berjaya.
Tapi, ujiannya pun tidak kaleng-kaleng. Tiba-tiba, Rendy yang kala itu baru saja pulang kampung karena ada acara, mendadak izin menikah lagi hingga mengejutkan Ajeng yang memang sengaja tidak ikut pulang kampung karena kesibukan mereka.
Katanya, Rendy sudah khilaf berhubungan badan dengan mantan kekasihnya saat reuni sekolah dadakan. Rendy benar-benar merasa bersalah sampai sujud-sujud di kaki Ajeng.
Awalnya, semua menjadi tangisan pilu yang menyayat hati. Tapi sekarang, semua seolah sudah biasa, bahkan wajar menjadi konsumsi para karyawannya.
Tapi, tentu saja semua pertengkaran mereka tidak berlaku di dunia maya yang menunjukkan betapa sempurnanya pasangan muda sukses itu, meskipun mereka belum memiliki momongan.
“Begini saja, Dek. Gimana kalau aset yang kita punya, kita bagi menjadi dua. Jadi, Mas nggak ambil hakmu dari gono-gini kita untuk menafkahi Sabrina.” Usul Rendy.
“Termasuk usaha kita, Mas?” Ajeng melunakkan sikapnya.
“Em, kalau itu sepertinya belum bisa. Kita nggak bisa mecah usaha itu begitu saja. Bisa-bisa, usaha itu akan jatuh karena kita pecah.”
“Tapi, aku nggak mau kamu menafkahi mantan pacarmu itu dengan hasil usaha kita.”
“Loh, kok nggak boleh? Kan ada hak Mas juga disitu. Mas janji hanya akan pakai hak Mas aja untuk Sabrina.”
“Kita buat perjanjian kalau begitu.”
“Jadi, kamu mengizinkan Mas nikah sama Sabrina, Dek?”
Wajah bahagia Rendy, membuat Ajeng tersenyum getir.
“Ya. Tapi, kamu harus tepati janjimu untuk adil lahir batin.”
“Ya. Mas janji, Dek. Makasih banyak ya, Dek. Mas sayang banget sama kamu. Mas akan jadi laki-laki bertanggung jawab seperti influencer yang punya istri dua lainnya. Mereka juga bisa harmonis kan?”
Rendy memeluk Ajeng dengan erat, benar-benar menunjukkan rasa bahagianya.
Entah, terbuat dari apa hati Rendy sampai dia menutup mata atas kesakitan Ajeng.
Sialnya, Ajeng juga paling pintar menutupi rasa sakitnya sendiri. Wanita itu tak mau dianggap lemah dengan cara menunjukkan amarahnya yang selalu menggebu-gebu.
Lucunya, sampai pernikahan Rendy dilakukan, Rendy lupa segalanya. Dia sudah dibutakan oleh puber kedua, hingga tergila-gila kepada istri keduanya.
Rendy lupa jika dia punya Ajeng juga. Hanya di awal-awal saja dia terlihat sungkan. Tapi, semakin kesini, sampai usia poligami mereka sudah tiga bulan, Rendy seolah hanya menjadikan Ajeng sebagai partner bisnisnya saja.
Ajeng jarang disentuh, dimanja-manja, bahkan sering dilupakan jadwal kunjungannya. Wanita itu hanya diingat saat Rendy membutuhkan dirinya untuk membuat konten poligami yang terkesan lucu di depan kamera.
Ya, bukannya malu, Rendy justru menjadikan rumah tangga poligaminya sebagai bahan unggahan di sosial media.
Sebenarnya, Ajeng miris. Namun, meskipun begitu, Ajeng tak pernah protes lagi, setelah dia pernah mengingatkan sekali, tapi Rendy lupa lagi seolah dia tak berarti.
Ya, katakanlah Ajeng bodoh. Tapi, karena dia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan ini, dia tak ingin melepaskan semuanya begitu saja dalam kerugian.
Setidaknya, jika dia sudah kehilangan hati sang suami, Ajeng tidak ingin kehilangan hasil keringatnya selama ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments