NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 - Berjumpa

Jalanan Solo masih cukup ramai, suara klakson dan deru motor sesekali menembus telinganya.

Sambil sesekali ngobrol ringan dengan driver online, ia menekan tombol hijau di layar ponselnya.

“Nay,” suaranya membuka percakapan, hangat tapi sedikit protes, “tadi kok kamu balik duluan nggak pamit? Aku tungguin, lho…”

Dari seberang terdengar suara Nayla, terburu-buru menjelaskan, “Sorry tadi abis dari toilet, terus ke ruang stok, sempet ngobrol sama tim. Eh, dihubungi Mama suruh pulang mobilnya mau dipake Nando, aku buru-buru lewat parkiran belakang. Lupa pamit. Maaf yaaa…”

Rendi menghela napas, separuh lega. “Tapi nggak ada apa-apa kan? Kamu baik-baik aja?”

“Nggak kok, Ren. Aman. Sorry ya, beneran buru-buru tadi, trus lupa deh.”

Rendi tersenyum tipis. “Kenapa malah kamu yang traktir sih… bawa banyak orang lho itu. Aku yang seonggok anak kos ini merasa terharu banget,” godanya, nada suaranya dibuat dramatis.

Nayla terkikik. “Gratis gimana? Harusnya kamu yang cuci piring seminggu penuh, Ren.”

“Sialan, ya…” Rendi tertawa kecil. Hening sejenak, lalu ia menarik napas panjang, suaranya berubah lebih serius. “Kayaknya dua hari ke depan belum bisa ngebahas hal yang tadi kita diskusiin sama Wisnu.”

Nayla menempelkan ponsel di telinganya, membuka pintu kamarnya. “Nggak apa-apa, Ren,” jawabnya singkat.

“Soalnya besok kita harus nganter adek-adek ini lomba. Nggak apa-apa, ya?” Rendi menambahkan, berusaha memastikan.

“Iya, simpen aja dulu…” Nayla terdiam sejenak. Suaranya kemudian terdengar ragu, seperti ada sesuatu yang dipendam. “Emmm, Ren… kalau kamu… emmm… nanti tengah malam mimpi, kabarin aku, ya.”

Rendi mengernyit lalu terkekeh. “Iya. Tapi jarang banget, Nay. Aku kalau tidur ya kayak kebo. Diem, pules, bangun udah pagi.”

Nayla menggigit bibir, tidak puas dengan jawaban itu. “Kalau… kalau temen sekos kamu mimpi… atau adek-adek itu juga mimpi… tolong kasih tahu aku juga.”

“Tenang, beres. Jangan khawatir.” Mobil berhenti di depan kos-kosan kecil. Suaranya sedikit lebih lembut. “Bentar ya, udah sampe kosan ini. Mau langsung mandi, biar seger.”

“Oke.” Nayla menutup telepon, tapi hatinya sama sekali tak tenang.

Ia duduk memeluk lutut, tatapannya kosong menembus dinding kamarnya. “Kenanga… kenapa dia sangat mirip dengan Kencana? Apakah dia juga bermimpi tentang Puspa? Kalau iya… lalu bagaimana?”

...Kakak yang Populer...

Tepat pukul empat pagi, ponsel Rendi berdering keras. Ia menggeliat malas, tapi Wisnu yang masih duduk di depan laptop menoleh sekilas, lalu menyenggol bahunya.

“Ren, bangun… cewek lo nyariin.” Nada suaranya datar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Rendi meringis setengah sadar. “Siapa? Kenanga?” tanyanya asal.

Tendangan lembut mendarat di kakinya. “Sialan. Nanti adekku di kamar sebelah denger, bisa kepedean dia,” gerutu Wisnu tanpa menoleh dari layar.

Rendi terkekeh kecil, lalu meraih ponselnya. “Nayla? … Iya, gimana, Nay? Nggak… aman kok. Aku nggak mimpi apa-apa. Gimana? Wisnu?”

Tatapannya bergeser pada Wisnu yang masih serius mengetik. “Nggak mungkin dia mimpi, dia belum tidur kayaknya, lagi lembur tugas. Iya, aman, tenang aja.”

Sambil sambil meletakkan ponselnya di atas bantal, Rendi bangkit dari kasurnya, meraih gelas kopi di meja samping Wisnu, lalu meneguk seteguk.

“Hei, hei! Minimal sikat gigi dulu, bego!” protes Wisnu begitu sadar gelasnya disambar.

Rendi menepuk-nepuk dadanya, matanya berbinar. “Aaahhh… segar.”

“Kalau bukan pacar, kenapa jam segini nelpon?” selidik Wisnu, kali ini menoleh penuh curiga.

Rendi mengangkat bahu sambil senyum jail. “Dih, posesif amat, Bung. Aku kan setia sama kamu.”

“Najis, ya,” balas Wisnu tanpa ekspresi, tapi matanya jelas menahan tawa.

Rendi menggeleng sambil tertawa kecil. “Itu Nayla cuma nanya aku mimpi apa nggak. Soalnya kan kalungnya aku bawa.”

“Mana, liat?” Wisnu menoleh penasaran, tubuhnya sedikit condong.

“Besok-besok aja, lah. Nanti pas udah bener-bener nggak crowded gini, jadi enak diskusinya.” Rendi menguap lebar.

“Hmm… oke.” Wisnu kembali fokus ke layar laptop, lalu menggumam, “Eh, tapi ada detail dari Nayla yang bikin aku penasaran.” Ia membuka buku catatan Nayla di tangannya, membandingkan dengan gambar artefak peninggalan Kerajaan Galuh. “Penggambaran batu-batu di taman yang dipakai buat duduk-duduk itu… mirip sama batu di Karangkamulyan, nggak sih?”

“Iya, emang,” sahut Rendi sambil merebahkan diri lagi. “Kata Nayla itu bukan singgasana utama, tapi semacam… apa ya, kalau zaman sekarang tuh kayak ruang tamu outdoor. Tempat nyantai gitu, Wis.”

Wisnu mendesah. “Hmm, bisa jadi. Kalau Nayla mimpiin detail kayak gitu, berarti dia nggak ngawur. Ini kayak ingatan, bukan imajinasi.”

Obrolan mereka terhenti ketika pintu kamar berderit. Kenanga muncul sambil mengucek mata, rambutnya awut-awutan, tapi wajahnya tetap segar.

“Mas, kamar mandi aku yang pakai duluan ya,” ujarnya setengah ngantuk.

“Iya, sana. Cepet siap-siap. Jangan lupa belajar juga, nanti kalau ditanya juri bisa jawab,” kata Wisnu tegas, nada serius khas seorang kakak yang sok galak.

Rendi menoleh sambil meraih sandal. “Eh, kalian mau sarapan apa?” tanyanya ringan.

“Bubur ayam,” jawab Kenanga dengan senyum sumringah.

“Dih, biasanya juga sarapan pecel. Gaya banget,” goda Wisnu sambil menyipitkan mata.

Kenanga langsung manyun, bibirnya monyong. Rendi nyaris tertawa terbahak melihat ekspresi itu. “Biarin, sekali-kali kan boleh,” sahut Kenanga membela diri.

Ia menoleh ke arah temannya yang ikut menginap. “Sari, lihat deh. Mas ku aneh gini aja satu kelas kita bisa bilang keren? Aku sih ogah.”

“Apaan sih!” Sari refleks melempar bantal ke arah Kenanga, membuat ruangan seketika pecah dengan tawa.

“Kok aku nggak ada yang ngidolain, ya?” Rendi pura-pura sedih, tangannya menepuk dada dramatis.

“Mas Rendi idolaku!” jawab Kenanga sumringah, wajahnya polos.

“Heh, anak piyik!” Wisnu menatap adiknya pura-pura galak.

“Weee…” Kenanga langsung mengejek kakaknya sambil menjulurkan lidah.

Rendi geleng-geleng kepala, senyum tipis muncul tanpa sadar. Suasana riuh itu membuat kamar kos yang sederhana terasa hangat.

Kenanga kemudian menoleh lagi ke Rendi. “Mas Rendi, tolong bangunin Budi dong. Suruh siap-siap, masih tidur pules aja dia.”

“Siap.” Rendi memberi hormat pura-pura, lalu masuk ke kamar sebelah. Ia menepuk-nepuk kasur dengan heboh. “Hei, anak remaja! Bangun! Katanya mau lomba, siap-siap sana! Jangan kalah sama kakak-kakakmu ini yang udah segar semua.”

Budi menggerutu, menarik selimut menutupi kepala. “Lima menit lagi ya Mas…”

“Lima menit kepalamu!” Rendi langsung menarik ujung selimut itu, membuat Budi bangun dengan malas.

...Lomba Berjalan Lancar...

Aula kampus penuh riuh tepuk tangan, sorak sorai, dan suara pengumuman bergaung dari pengeras suara. Meski tidak meraih juara pertama, kelompok Kenanga berhasil membawa pulang peringkat tiga dalam Business Model Canvas.

Wajah Kenanga berseri-seri saat menerima piagam, sementara Rendi dan Wisnu bersorak dari kursi penonton.

“Mas, lihat! Aku juara tiga! Nggak sia-sia maksa adek kelas ikut lomba begini” Kenanga berlari kecil menghampiri, matanya berbinar.

Rendi menyambut dengan tos tinggi. “Mantap, calon CEO muda!”

Wisnu hanya mengangguk singkat. “Bagus. Tapi jangan cepat puas. Harus bisa implementasi nanti kalau emang diseriusin.”

Kenanga cemberut. “Mas, nggak bisa bilang selamat aja? Harus banget gitu ditekankan kekurangannya?”

Rendi terkekeh, menepuk bahu Wisnu. “Santai aja, mas mu kan emang begitu. Standar tinggi.”

Seusai acara, Wisnu dan Rendi mengantarkan Kenanga bersama teman-temannya ke tempat travel yang akan membawa mereka kembali ke Magelang. Jalanan sore terasa lengang, sinar matahari mulai miring ke barat.

“Padahal naik bus juga bisa, Mas. Kemarin aja ke sini naik bus,” gerutu Kenanga sambil menyeret koper kecilnya.

Wisnu mendesah sambil menepuk bahu adiknya. “Bawel. Naik travel gini nggak perlu oper-oper bus lagi. Udah, salam buat Ibu sama Bapak, ya. Mas libur semester nanti pulangnya.”

Rendi tersenyum lebar, ikut melambaikan tangan. “Dada, Kenanga. Jangan punya pacar dulu ya… sekolah yang serius. Mau ujian kan?”

Kenanga langsung nyengir. “Pasti disuruh kuliah di sini sama Mas Rendi ya?”

Wisnu spontan mendorong kepala Rendi dengan gemas. “Kenanga, nggak ada ya genit-genit gitu.”

“Apaan sih, Mas Wisnu…” Kenanga manyun, lalu menoleh lagi ke Rendi. “Mas Rendi, tolong cariin pacar buat Mas ku ini, deh. Biar nggak galak terus.”

Rendi ngakak, sementara Wisnu mendengus sambil mengangkat koper Kenanga ke bagasi. “Udah sana, naik. Travelnya mau berangkat.”

Kenanga melambai-lambaikan tangan sampai pintu tertutup. Setelah mobil melaju, Wisnu dan Rendi saling pandang, lalu berjalan pulang ke kos dengan langkah santai.

...Penasaran...

Sesampainya di kos, udara panas Solo serasa oven dalam ruangan sempit tanpa AC. Kipas angin di sudut hanya berputar malas, sekadar menggeser hawa panas yang menempel di kulit.

Rendi membuka almari kayu kecilnya. “Wis, aku taruh kotaknya di sini, ya…” katanya sambil meletakkan sebuah kotak kayu berukir di samping Wisnu, yang sedang duduk di tepi kasur dengan dahi berkerut menatap buku catatan milik Nayla.

“Aku kebelet dari tadi,” ucap Rendi buru-buru sebelum berlalu ke kamar mandi.

“Oke,” sahut Wisnu tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada catatan penuh tulisan tangan. Di sana ada detail nama, penggambaran suasana, hingga satu kalimat dengan aksara aneh yang mirip Sansekerta.

Tak lama, suara kran menggema, air deras mengalir.

Sementara itu, Wisnu merebahkan diri di lantai. Lantai keramik dingin menjadi kenikmatan sederhana di tengah udara Solo yang gerah. Ia menatap langit-langit kusam, lalu matanya tak sengaja melirik ke arah kotak yang baru saja ditaruh Rendi.

Kotak itu tampak berbeda, begitu indah, mencolok di antara barang-barang sederhana mereka.

Perlahan, jemarinya meraih kotak itu. Jantungnya berdegup semakin keras saat ia membuka penutupnya.

Deg. Deg. Deg.

Cahaya samar keluar dari dalam kotak, dan seketika pandangannya kabur. Udara di sekitarnya seperti menguap. Lalu rasa sakit yang tajam menghantam kedua kakinya, seperti teriris pedang. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar hebat.

“Astaga…” suaranya tercekat. “Apa yang terjadi dengan kakiku…”

Namun ketika pandangannya kembali terang, tubuhnya sudah tidak berada di kamar kos. Bau tanah basah, aroma dedaunan, dan kicau burung menyeruak. Udara segar menusuk hidungnya.

“Hutan? Aku… di mana?” Wisnu berbisik, matanya liar mencari jawaban.

...Berbeda Suasana...

Pada saat yang sama, Rendi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Langkahnya santai. Tapi matanya langsung menangkap sosok Wisnu yang tergeletak di lantai.

“Heh…” Rendi menghela napas, mendengus geli. “Yah, bocah pelor. Ketiduran nggak tahu tempat. Masuk angin baru tahu rasa, deh.”

Namun ekspresinya mendadak berubah. Keringat dingin bercucuran deras dari dahi Wisnu, lehernya basah kuyup. Nafasnya terengah-engah, wajahnya tegang, urat pelipis menonjol.

Rendi terdiam, jantungnya ikut terpompa panik. Ia berjongkok, menepuk bahu Wisnu pelan. “Wisnu… kamu kenapa?” bisiknya, nada cemas merayap.

“Wisnu!” Rendi mengguncang tubuh sahabatnya. Panik semakin menekan. Dengan susah payah ia menarik tubuh Wisnu ke kasur, tangan gemetar menahan kepanikan.

“Ya Tuhan…” Rendi meremas rambutnya frustasi, mulutnya bergetar. “Wis… masa masuk angin mendadak.” Ia berusaha menenangkan diri sendiri, meski suaranya parau. “Bentar ya, aku cariin minyak angin.”

Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung sandal di dekat pintu. Dengan tergesa ia menyambar kunci motor di gantungan, lalu berlari keluar kamar kos.

“Ya ampun, Wis… jangan bikin panik kayak gini,” desisnya sambil menyalakan motor. Mesin meraung lirih, melaju keluar halaman kos.

Sementara itu, di dalam kamar, tubuh Wisnu terbaring di kasur. Dadanya naik turun tak beraturan, napasnya berat. Tangan kirinya mengepal kuat-kuat, seolah sedang menggenggam sesuatu yang tak terlihat. Lalu, tanpa suara, bibir Wisnu berbisik.

“Puspa…”

1
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm ini adegan yang lalu kan? ini dari sudut wisnu yang jadi wira 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
laaah kesurupan dia eh mimpi juga dia 🤣
SENJA🍒⃞⃟🦅
kok bisa main pergi gitu aja , kasian kan rendi 😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waddduh ...apa dia turunan jagatpati? weeeh 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
jadi ketagihan mimpi🤭
Irmha febyollah
lanjut kk
SENJA🍒⃞⃟🦅
ya balon gas yang tetiba gas nya dibuang yah .... pupus harapmu
SENJA🍒⃞⃟🦅
wah yah bagus itu jalurnya nay ikutin rendi aja kamu kan tinggal molor doang 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
berdebar karena rendi atau wira? 😂😂😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
modusmu diskusi padahal kencan 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
ihhh jagatpati, itu isterimu lhooo astaga jahatnya. kamu kencana durhaka banget ke ibu sendiri😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waaah penghinaan ini ngatain rajanya bodoh! wah hukum mati aja udah 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih belangmu terlihat 😂 lagian wira ga mau sama anakmu lho 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
bukannya dewi parwati dari kalingga yak? nanti mandiminyak sama parwati jadi penguasa kalingga utara atau bumi Mataram 🤭
Naniksay Nay: thx kak...

betul kak...
Pangeran Mandiminyak atau Prabu Suraghana atau Suradharmaputra emang berkuasa didua negara, yaitu Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Kerajaan Galuh (di Tatar Sunda).

hanya saja disini biar bisa menggambarkan aja bahwa Sempakwaja dan Mandiminyak itu saling terkait...

sama kaya Pangeran Jantaka, saya tambahkan nama Wirabuana krn dibuat cinta2an biar ga diprotes ahli sejarah, masa resi love2an ....
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
udah banyak buktinya itu jagatpati, serang aja daerahnya kan sempakwaja penguasa Galunggung , ehh belom kejadian yah 😂
Naniksay Nay: 😭nggak bs kak.... bs2 dia di killkill jg sm pamannya
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
naaah ini jejak yang di hilangkan 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih jahatnya kamu 😤 wira mana mau sama kau
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm bener kan jahat dia ini si kencana 😳
Naniksay Nay: jangan ditemenin dia kak... bapaknya jahat🤭
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm kencana ini nampaknya jahat ini 🥺😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
wakakaa lama2 nayla menikmati jadi puspa 😂
Naniksay Nay: 🤭karena wiranya ganteng kak.. ga sebrengs3k mantannya eheheheeeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!