NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:287
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE

Waktu di dalam "The Elysian Spire" bergerak seperti beton basah. Lambat, berat, dan mengeras.

Selama delapan jam, Rania dan Reza duduk di dalam kegelapan trailer kontainer yang berbau apak.

Reza tertidur. Itu bukan istirahat; itu adalah pelarian darurat dari sistem saraf yang hancur. Dia meringkuk di sudut, di atas tumpukan terpal berdebu, tubuhnya sesekali tersentak oleh mimpi buruk yang tak bersuara. Di sampingnya ada gelas air yang sudah kosong dan remah-remah biskuit kedaluwarsa.

Rania tidak tidur.

Dia duduk di kursi kantor yang sobek, lurus sempurna, dalam ketenangan yang tidak wajar.

Di tangannya, dia memegang ponselnya. Baterai: 3%. Sinyal: Tidak ada.

Dia tidak membutuhkannya. Dia sedang melihat *file* PDF denah apartemennya. *Apartemen Taman Pinus. Denah Lantai & Utilitas.* Dia tidak hanya melihatnya. Dia *menghafalnya*.

Lobi. Tangga darurat (sayap utara). Pintu servis atap (terkunci dari dalam, engsel terekspos). Saluran utilitas vertikal (cukup lebar untuk pipa, terlalu sempit untuk manusia). Lantai empat. Unit 407. Apartemennya.

Dia memetakan rute itu di benaknya, lagi dan lagi. Sebuah simulasi arsitektural.

Amulet obsidian di balik kemejanya terasa dingin dan berat, sebuah jangkar yang menenangkannya. Di baliknya, Rania tahu, dunia sedang menjerit. Dia tahu, dari ingatan mengerikan di Bab 18, bahwa tepat di atas kepalanya, Gema-gema oranye yang panik berenang menembus beton. Dia tahu, jauh di bawah fondasi, ada Titik Buta lain yang berdenyut.

Amulet itu membisukan semuanya.

Dia membiarkan pikirannya yang baru, yang dingin dan efisien ini, bekerja.

Dia menganalisis data.

**Aset:** Satu (1) teman yang trauma tapi loyal. Satu (1) truk pikap tua dengan bensin yang mungkin seperempat tangki. Satu (1) amulet peredam Gema. Satu (1) set keahlian arsitek/kurir.

**Musuh:** Satu (1) faksi Pembersih fanatik yang kini mengendalikan operasi Ordo (dipimpin oleh Markus dan Kuno). Satu (1) korporasi kuat (Aeterna) yang dipimpin oleh rivalnya yang sosiopat (Bima). Satu (1) entitas kosmik kuno ("Sang Geometer") yang sedang dibangunkan oleh Bima. Satu (1) kota yang kini dikarantina militer.

Logikanya, mereka seharusnya sudah mati.

Tapi mereka tidak.

"Ini tidak logis," bisiknya ke dalam trailer yang sunyi.

Bima adalah ancaman eksistensial. Markus tahu itu. Mengapa Markus, seperti yang disiratkan *interlude* itu (dalam benak Rania, ini adalah asumsi logis), membiarkan dia dan Reza lari? Mengapa Kuno ("Pria Berpayung") tidak mengejar mereka?

Dia menutup matanya, memprosesnya seperti seorang arsitek yang mencari kesalahan dalam desain musuhnya.

*...Kuno melepaskan 'Koreksi'. Koreksi itu menghapus kafe... dan semua sinyal elektronik.*

Dia membuka matanya.

"Kabut Perang," gumamnya.

Kuno tidak membiarkan mereka lari. Dia *mengabaikan* mereka.

"Koreksi" itu adalah bom EMP supernatural. Itu membutakan *semua orang*. Dion dan Elara (Pelestari) tidak bisa melacak mereka. Bima (Aeterna) tidak bisa melacak mereka. Dan Markus (Pembersih) juga tidak bisa melacak mereka.

Kuno telah me-reset papan permainan untuk *semua orang* agar dia bisa fokus pada "Koreksi"-nya.

Dan Rania... Rania yang memakai amulet "sunyi"... kini menjadi satu-satunya agen supernatural di kota yang bisa bergerak *di bawah radar*.

Dia bukan lagi bidak. Dia adalah *wild card*.

Dia melihat ke ponselnya. Pukul 02.45 dini hari. Waktu paling mati.

"Za," katanya. Suaranya datar, memotong keheningan. "Bangun."

Reza terlonjak kaget, mengeluarkan suara tercekik. "Apa? Siapa? Mereka di sini?"

"Tidak," kata Rania, berdiri. "Waktunya pergi."

Dia menyerahkan pipa rebar kecil yang dia simpan. "Ambil ini. Untuk... manusia."

Reza memegangnya. Benda itu berat dan berkarat. "Ra... ini gila. Kita seharusnya pergi dari kota ini. Menjauh sejauh mungkin."

"Kota ini dikarantina," kata RANIA, suaranya tidak menyisakan ruang untuk berdebat. "Setiap jalan keluar utama akan dijaga oleh militer. Kita tidak akan bisa keluar lebih dari sepuluh kilometer. Dan bahkan jika kita berhasil... Bima tetap mendapatkan skripsiku. Dia tetap membangunkan 'Geometer'-nya. Kita hanya menunda kiamat."

Dia berjalan ke pintu trailer. "Kita selesaikan ini. Sekarang. Selagi kita masih 'hantu' di sistem mereka."

Reza, gemetar, menarik dirinya berdiri. Dia adalah jangkar manusia Rania. Dan jangkar itu sedang diseret ke dalam badai.

***

Udara malam itu dingin dan berbau salah.

Bahkan di "Elysian Spire", lima kilometer dari zona "Koreksi", baunya masih tercium. Bau ozon yang tajam, seperti logam terbakar, dan bau debu kuno.

Kunci kontak itu ada di *dashboard* truk. Rania memasukkannya.

"Ini akan berisik," bisiknya.

"Semua di sini berisik," balas Reza, matanya memindai kegelapan gua beton.

Rania memutar kunci.

*KLIK.*

*KLIK.*

*...KLIK-RRRRRR...*

Suara starter yang lemah berjuang melawan mesin yang dingin.

"Ayo... ayo..." desis Reza.

*KLIK-RRRR-VROOOOOOMMM!*

Mesin V6 tua itu menyala dengan raungan yang memekakkan telinga. Suara itu menggema dan memantul di setiap permukaan beton, terdengar seperti seratus truk yang menyala bersamaan.

Rania dan Reza membeku, mendengarkan.

Hanya suara mesin mereka yang langsam. Tidak ada teriakan. Tidak ada sirene yang mendekat.

"Oke," kata Rania. Dia menyalakan lampu depan—dua kerucut cahaya kuning yang kotor—dan menginjak gas.

Truk itu melaju keluar dari lobi parkir, menabrak pagar seng yang sudah mereka buka dengan suara *KRAAANG!* yang memuakkan, dan keluar ke jalanan kota yang tidur.

Kota itu tidak tidur. Kota itu sedang koma.

Jalanan utama—yang seharusnya ramai bahkan pada pukul 3 pagi—sepi mengerikan. Bukan kosong. *Sepi*.

Mobil-mobil ditinggalkan begitu saja di tengah jalan, beberapa dengan pintu terbuka, seolah pengemudinya menguap begitu saja. Lampu lalu lintas di setiap persimpangan berkedip-kedip tidak menentu—merah, lalu hijau, lalu kuning, lalu mati, dalam pola yang acak dan rusak.

Dan langit...

"Ya Tuhan, Ra..." bisik Reza, menatap ke atas melalui kaca depan yang retak.

Langit di atas kota tidak hitam. Langit itu berdenyut.

Di arah "Kopi Titik Koma", sebuah cahaya oranye sakit-sakitan yang luas memancar dari balik cakrawala, menodai bagian bawah awan-awan rendah. Itu adalah cahaya api unggun neraka. "Koreksi" itu masih membara, memompa polusi Gema ke atmosfer.

"Itu... indah," bisik Rania. Itu adalah komentar arsitektural yang murni, terlepas dari emosi.

"Itu mengerikan," balas Reza.

Rania menginjak gas. Dia adalah seorang kurir. Dia tahu jalan-jalan ini lebih baik daripada polisi. Dia menghindari jalan raya utama, menyusuri jalan-jalan tikus di belakang ruko, melewati pasar-pasar yang tutup.

Mereka melihat pos pemeriksaan militer pertama dari kejauhan.

Dua Humvee hijau tentara, diparkir membentuk barikade, memblokir jalan utama. Lampu sorot yang kuat menyapu gedung-gedung. Tentara berseragam lengkap, memakai masker gas, berpatroli.

Rania tidak melambat. Dia berbelok tajam ke gang sempit, ban-ban truk berdecit pelan.

"Mereka di mana-mana," bisik Reza, gemetar di kursinya.

"Mereka menjaga perimeter 'gas beracun'," kata RANIA. "Mereka menjaga orang-orang *agar tidak masuk*. Mereka tidak sedang mencari dua orang yang mencoba *keluar* dari dalam."

Dia mengemudi tanpa lampu depan, hanya mengandalkan cahaya oranye yang menakutkan dari langit dan ingatannya akan jalanan.

Lima belas menit kemudian, mereka tiba.

Dia memarkir truk itu di gang sempit di belakang sebuah restoran Padang yang tutup, dua blok dari apartemennya. Dia mematikan mesin.

Keheningan kembali, kini diwarnai oleh sirene yang jauh dan lolongan anjing yang ketakutan.

"Oke," kata Rania, suaranya datar dalam kegelapan kabin. "Ini rencananya. Aku akan memanjat pipa pembuangan di belakang. Menuju atap. Denah menunjukkan pintu servis atap engselnya di luar. Aku bisa membukanya. Aku akan turun lewat tangga darurat."

"Dan aku?" tanya Reza.

"Kamu adalah mata," kata RANIA. "Kamu tinggal di sini, di bayangan. Kamu pegang ini." Dia memberinya kunci truk. "Dan ini." Dia meraih pipa rebar berkarat dari bak belakang.

"Kamu mengawasi *manusia*. Polisi. Militer. Atau... orang berpayung. Jika ada yang mendekati gedung, klakson dua kali. Pendek. Lalu pergi. Pergi dari sini. Jangan tunggu aku."

"Ra... aku tidak bisa—"

"Itu perintah," kata RANIA. Nadanya dingin. "Itu adalah langkah yang efisien. Jangan membantah."

Reza menelan ludah. Dia menatap temannya, yang kini menjadi orang asing yang dingin dan logis. Dia mengangguk. "Dua kali klakson. Lalu aku pergi."

"Bagus."

Rania membuka pintu truk. Udara di sini terasa lebih pekat. Bau ozon lebih kuat. Mereka sudah dekat.

Dia melangkah keluar ke gang yang gelap. Dia memeriksa amulet di balik kemejanya. Dingin. Sunyi.

"Ra," panggil Reza pelan, suaranya gemetar. "Hati-hati. Jangan... jangan biarkan batu itu membuatmu lupa untuk... kembali."

Rania menatapnya. Sesaat, di matanya yang kini tumpul dan efisien, Reza melihat kilatan kecil. Sisa-sisa dari Rania yang dulu. "Aku akan kembali," katanya. "Aku punya data untuk diambil."

Dia berbalik dan menghilang ke dalam bayang-bayang, bergerak diam-diam menuju bagian belakang gedung apartemennya, meninggalkan Reza sendirian dalam kegelapan, mencengkeram pipa rebar berkarat dengan kedua tangan yang basah oleh keringat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!