Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Kairen akhirnya mencari Bella ke tempat Bella setelah mengingatnya.
Dengan hati-hati Kairen memasuki restoran yang mulai sepi. Lampu-lampu hangat menggantung di langit-langit, menciptakan suasana nyaman yang kontras dengan kegelisahan di dadanya. Di sudut meja, Bella baru saja menyelesaikan pesanan terakhirnya untuk pelanggan. Rambutnya yang disanggul rapi sedikit berantakan, tanda lelah yang jelas terpancar di wajahnya.
“Kak Bella,” panggil Kairen dengan suara yang agak ragu, mencoba menahan detak jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat.
Bella menghela napas panjang, meletakkan baki di meja dan segera menghampiri adiknya. Wajahnya yang biasanya tegas kini memperlihatkan campuran kelelahan dan kekhawatiran. "Sedang apa kamu di sini? Sudah malam, kenapa masih keluyuran?" suaranya agak keras, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik omelannya.
Kairen nyengir canggung, menggaruk kepala seolah mencari alasan yang pas. “Aku… aku mencari kakak. Sudah berkali-kali aku menghubungimu, tapi tidak pernah di angkat, aku ngirim pesan pun gak pernah di balas. Aku takut kakak nggak ada tempat tinggal yang nyaman,” jawabnya sambil menundukkan kepala, merasa sedikit bersalah karena mengganggu waktu kakaknya.
Bella menatap mata Kairen dengan lembut, lalu menarik napas dalam-dalam. "Maaf ya, kakak sibuk. Tapi kamu datang ke sini tepat waktu. Ayo, kita bicara di ruang belakang. Aku ingin tahu kenapa kamu sampai jauh-jauh mencariku malam-malam begini."
Kairen mengangguk, hati sedikit lega. Dalam sekejap, ketegangan yang menumpuk sejak lama mulai mencair di antara mereka, di tengah keramaian restoran yang mulai sepi.
Kairen menatap Bella dengan mata berbinar, penuh perhatian dan kekhawatiran yang tulus. Ia tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan, seolah ingin memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. "Kakak tinggal dimana? Kakak makan dengan baik tidak? Bagaimana kuliah kakak? Kalau kakak butuh uang kakak bisa kasih tahu aku, aku akan membantu kakak," ucapnya cepat, tak sabar ingin mendengar jawaban.
Bella tertawa kecil, gemas melihat adiknya yang tiba-tiba jadi cerewet. Tangannya sigap mencubit pipi Kairen dengan lembut, membuat Kairen sedikit meringis namun tak menolak. "Sejak kapan adik kakak ini berubah cerewet," goda Bella dengan senyum hangat.
Setelah itu, Bella menghela napas panjang, melepaskan cubitan dan menatap adiknya dengan pandangan penuh rahasia. "Kakak tinggal bareng teman kakak, tempat kosannya tidak jauh dari sini. Tapi kakak pesan, jangan pernah kasih tahu siapapun termasuk mama," bisiknya pelan, suara penuh waspada sekaligus harap agar Kairen mengerti betapa pentingnya menjaga rahasia itu.
Kairen mengangguk cepat, wajahnya serius menunjukkan kesungguhan untuk menyimpan rahasia itu demi melindungi Bella. Suasana di antara mereka tiba-tiba hangat, meskipun terselip kekhawatiran yang tak terucap di balik kata-kata sederhana itu.
Bella mengerutkan dahi sambil meremas pelipisnya yang berdenyut pelan. Matanya sedikit merah, tanda lelah yang tak kunjung hilang meski hari sudah malam. “Sudah malam, kamu harus pulang nanti papa mencarimu. Kakak juga sebentar lagi mau pulang,” ucapnya dengan suara serak, berusaha menutupi rasa pusing yang semakin mencekam di kepalanya.
Kairen menatap Bella dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Kakak pusing?” tanyanya lembut, langkahnya mendekat seolah ingin memberikan dukungan.
Bella menggeleng cepat, memaksa senyum kecil meski dadanya terasa sesak. “Tidak kok, mungkin karena kurang tidur aja,” jawabnya, walau dalam hati dia sendiri mulai merasa ada sesuatu yang aneh dengan kondisi tubuhnya akhir-akhir ini.
“Kakak yakin? Bagaimana kalau kita ke dokter?” Kairen menawarkan dengan suara penuh perhatian, menggenggam tangan Bella seolah ingin meyakinkan.
Bella menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Tidak usah, nanti buat istirahat juga sembuh sendiri. Sudah sana kamu pulang, tidak baik anak gadis jam segini masih di luar,” ucapnya, mencoba terdengar tegas agar Kairen tidak berlama-lama di sana.
Namun, sekelebat bayangan gelap menyelimuti matanya, rasa pusing yang sebenarnya bukan sekadar karena kurang tidur. Tubuhnya sedikit gemetar, tapi ia berusaha menutupi semuanya demi tidak membuat Kairen khawatir lebih jauh.
Tak lama setelah Kairen pergi, pintu ruangan terbuka perlahan dan Adel muncul dengan langkah pelan namun penuh perhatian. Matanya langsung tertuju pada wajah Bella yang pucat dan memegang pelipisnya dengan ekspresi meringis. "Kamu pusing Bel?" suara Adel terdengar lembut, penuh kekhawatiran.
Bella mengangguk pelan, napasnya terasa sesak. "Iya, Del... mungkin karena kurang tidur," jawabnya dengan suara serak, bibirnya bergetar saat mencoba menahan rasa sakit yang menjalar.
Adel melangkah mendekat, meletakkan tangan hangatnya di bahu Bella, seolah ingin menyalurkan kekuatan. "Lebih baik besok kamu ambil libur saja, istirahat di kosan. Ingat, lusa kamu harus mulai latihan boxing" ucapnya penuh perhatian, matanya menatap Bella dengan harap.
Bella menunduk, ragu tapi akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Del," katanya, suara penuh kelegaan sekaligus kelelahan.
Adel tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Bella. "Ayo pulang, aku sudah selesaikan semuanya." Perlahan, mereka berdua berjalan keluar bersama, langkah Adel yang mantap seolah menjadi sandaran bagi Bella yang mulai goyah.
Setibanya di kosan yang sempit dan berbau lembap, Bella tanpa berkata sepatah kata langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai berjejal. Napasnya terengah, wajahnya memucat, seolah beban hari itu menindih seluruh tenaga yang tersisa.
Adel berdiri di samping meja kecil, tangannya cekatan membuka laci dan mengambil sebotol obat pereda nyeri. Dengan lembut, ia menyodorkan gelas berisi air dan pil itu ke tangan Bella.
"Minum obat dulu, Bel," ucap Adel dengan suara yang penuh perhatian, matanya menyiratkan kekhawatiran tersembunyi.
Bella membuka mata, perlahan duduk dan menyandarkan punggungnya ke dinding kusam. Tangannya gemetar saat meraih gelas, lalu meneguk obat itu dengan pelan. Suara napasnya yang berat masih terdengar, namun setidaknya ada sedikit kelegaan yang mulai menyusup ke dalam dadanya.
"Terima kasih, Del," katanya lirih, bibirnya mengukir senyum kecil yang hampir tak terlihat.
Adel menunduk, wajahnya masih serius namun hangat. Ia membungkuk, dengan hati-hati melepas kaos kaki Bella yang basah oleh keringat dan menggantinya dengan selimut tipis yang sudah lusuh. Sentuhan itu seolah menjadi penghiburan kecil di tengah malam yang sunyi, sementara Bella menutup mata dan membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kehangatan selimut, berharap rasa sakit itu segera mereda.
Adel menatap Bella dengan mata yang penuh dilema, seolah mencari cara untuk menghapus beban yang selama ini menghimpit bahu wanita itu. Wajah Bella yang pucat dan matanya yang terpejam, membuat hati Adel mencelos. Ia tahu, ada luka yang dalam di balik senyum tipis yang selalu sahabatnya itu tunjukkan.
Namun, saat pikirannya melayang ke kemungkinan mengungkapkan semuanya pada keluarga Bella tentang dia yang sakit, rasa takut dan ragu langsung merayap masuk. Ia membayangkan tatapan dingin dan penolakan yang mungkin datang, dan tanpa sadar, dadanya terasa sesak.
Dengan berat hati, Adel menggigit bibir bawahnya, memilih untuk diam. Ia tak ingin menambah beban pada Bella, apalagi menyakiti hatinya lebih dalam hanya karena kebohongan yang mungkin harus ia ungkapkan. Dalam keheningan itu, ia hanya bisa menahan diri, menatap Bella yang terlelap, berharap suatu hari nanti beban itu bisa terangkat tanpa harus menghancurkan dirinya.
up lagi thor