FB Tupar Nasir, ikuti FB nya ya.
Diam-diam mencintai kakak angkat. Namun, cintanya tidak berbalas. Davira, nekad melakukan hal yang membuat seluruh keluarga angkatnya murka.
Letnan Satu Arkaffa Belanegara, kecewa dengan kekasihnya yang masih sesama anggota. Sertu Marini belum siap menikah, karena lebih memilih jenjang karir yang lebih tinggi.
Di tengah penolakan sang kekasih, Letnan Arkaffa justru mendapat sebuah insiden yang memaksa dia harus menikahi adik angkatnya. Apa yang terjadi?
Yuk kepoin.
Semoga banyak yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Mencari dan Menanti
Malam baru saja menjelang. Lampu jalan menyala satu per satu, menerangi jalanan kota yang mulai lengang. Dari arah markas batalyon, Kaffa melajukan mobilnya tanpa arah pasti. Setiap kali ia selesai latihan atau pulang kerja, ia selalu menyempatkan diri berkeliling.
Ia singgah ke terminal, ke warung nasi sederhana dekat kampus, bahkan ke mushala kecil di ujung gang tempat Davira dulu sering salat. Hatinya seakan dipandu oleh rasa bersalah dan rindu yang kian hari semakin berat.
Berulang kali ia berhenti, menatap orang-orang yang lewat dengan harap-harap cemas. Setiap wajah perempuan yang mengenakan jilbab sederhana membuatnya tercekat, seolah-olah ia melihat Davira. Tapi setiap kali ia mendekat, ternyata orang lain.
"Vira, kamu di mana? Pulanglah," harapnya sembari sesekali memukul setirnya.
Dan, malam itu pun pencarian berakhir nihil. Kaffa kembali ke rumah dengan hati hampa.
Kali ini, Kaffa tidak pulang ke rumah orang tuanya, dia memilih pulang ke rumahnya untuk sejenak menenangkan hatinya yang gundah karena memikirkan Davira yang belum diketahui di mana.
**
Sementara itu, di tempat lain di sudut kota, kehidupan Davira berjalan jauh berbeda.
Kontrakan kecil di gang sempit menjadi tempat barunya berteduh. Sangat sederhana. Rumah petak itu hanya berukuran tiga kali empat meter, berdinding papan yang sudah agak lapuk, atapnya bocor di beberapa bagian. Setiap kali hujan deras, Davira harus menyiapkan ember-ember kecil untuk menampung tetesan air.
Meski serba terbatas, Davira mencoba menerima semuanya dengan ikhlas. Ia membersihkan lantai yang kasar dengan tangannya sendiri, menata kasur tipis di sudut ruangan, dan meletakkan beberapa buku kesayangannya di atas rak kecil yang sempat ia bawa dari rumah.
"Hanya tempat ini yang bisa aku tempati sekarang. Tapi tidak apa-apa. Asal kepergianku bisa membuat Kak Kaffa serta mama dan papa bahagia, aku rela,” ucapnya lirih sambil tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca.
Untuk bertahan hidup, Davira harus segera mencari pekerjaan. Ia tidak ingin terus-menerus memakai sisa tabungannya. Berhari-hari ia berkeliling membawa map berisi lamaran kerja, mengetuk pintu toko-toko, minimarket, hingga warung makan. Namun jawaban yang ia terima hampir selalu sama, “Maaf, belum butuh pegawai."
Perusahaan besar pun tidak luput ia datangi untuk menawarkan ijazahnya yang hanya SMA. Sayang sekali, tidak ada yang berani menerimanya, atau jelasnya belum ada lowongan untuk dirinya yang hanya mengandalkan ijazah SMA.
Hingga suatu siang, langkahnya membawanya ke sebuah toko buku kecil di pinggir jalan besar. Dari luar, toko itu tampak sederhana, namun aroma kertas dan tinta buku yang menyeruak dari pintunya membuat hati Davira tenang.
Pemilik toko, seorang pria paruh baya bernama Pak Herman, menyambutnya dengan ramah. "Kamu cari kerja, Nak?"
Davira mengangguk sopan. “Iya, Pak. Apa di sini ada lowongan?" Davira penuh harap.
Pak Herman menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Wajah gadis itu tampak lelah, tapi sorot matanya tulus. “Kebetulan sekali. Saya memang butuh orang untuk membantu menjaga toko. Kerjanya ringan, gajinya tidak seberapa, tapi kalau kamu mau, besok bisa mulai."
Tanpa pikir panjang, Davira langsung mengangguk. "Saya mau, Pak. Terima kasih banyak."
"Besok saya langsung ke sini?" tanyanya untuk meyakinkan.
"Betul sekali, jam tujuh pagi."
Jawaban Pak Herman membuat hati Davira lega. Lalu setelah itu dia segera pulang ke kontrakan mempersiapkan untuk besok.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia pergi dari rumah, Davira merasa sedikit lega. Meski gajinya kecil, ia bersyukur ada tempat yang mau menerimanya.
Hari-hari di toko buku itu berjalan normal. Setiap pagi, Davira membuka pintu toko, menyapu lantai, menata buku-buku baru di rak. Siang hari, ia melayani pembeli yang datang, mulai dari anak sekolah, mahasiswa, hingga orang tua yang mencari buku bacaan.
Meski tubuhnya lelah, ia selalu tersenyum ramah. Baginya, setiap orang yang datang membawa cerita, dan ia bahagia bisa menjadi bagian kecil dari cerita itu.
Di balik senyum itu, sebenarnya hatinya masih sering digelayuti rindu. Setiap kali ia melihat buku-buku bertema militer atau kepemimpinan, bayangan Kaffa selalu muncul.
"Kak Kaffa, apakah kamu sehat di sana? Apakah kamu masih marah pada Vira?”
Air matanya sering jatuh diam-diam di antara rak buku, namun ia cepat-cepat menyekanya agar tidak terlihat Pak Herman.
Suatu sore, ketika toko sudah mulai sepi, seorang pria muda datang. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan senyumnya ramah. Ia mengenakan kemeja rapi dengan tas selempang.
"Permisi, ada novel sejarah yang baru masuk?” tanyanya.
Davira segera bangkit, mengambilkan buku yang dimaksud dari rak. "Ini, Mas. Seri terbaru. Banyak yang suka."
Pria itu tersenyum. “Terima kasih. Namamu siapa, kalau boleh tahu? Sepertinya kamu baru, ya, di sini?"
"Nama saya Davira, Mas. Oh iya, saya baru seminggu di sini," jawab Davira ramah.
Pria muda itu menatap ceria ke arah Davira, wajahnya berseri-seri.
"Davira? Nama yang indah.” Senyumnya semakin lebar. "Saya Arda. Saya sering beli buku di sini, tapi baru kali ini ketemu pegawai baru," ucapnya.
Davira hanya tersenyum singkat, tidak menanggapi lebih jauh. Ia kembali ke meja kasir, mencatat pembelian Arda.
Sejak hari itu, Arda sering datang. Kadang ia membeli buku, kadang hanya sekadar berbincang sebentar. Sikapnya selalu ramah, tutur katanya sopan, dan sorot matanya hangat setiap kali menatap Davira.
Namun Davira tidak pernah berpikir macam-macam. Baginya, Arda hanyalah pelanggan baik hati yang suka membaca. Ia tidak menyadari bahwa setiap senyum sederhana dan setiap tawa lirih yang ia berikan, justru semakin membuat Arda jatuh hati.
Arda sering membantu tanpa diminta. Ketika hujan deras, ia menawarkan jas hujan. Ketika Davira kesulitan menata tumpukan buku berat, Arda sigap membantu.
"Tidak usah repot, Mas,” kata Davira suatu kali.
Arda hanya tersenyum. "Tidak repot sama sekali. Bukankah membantu sesama itu menyenangkan?"
Namun di balik senyum itu, hatinya bergetar setiap kali melihat Davira. Ada kelembutan yang membuatnya ingin selalu melindungi gadis itu.
Sementara itu, Kaffa terus melanjutkan pencarian. Sepulang dari markas, ia menyusuri jalan-jalan yang menurutnya mungkin pernah didatangi Davira.
Ia singgah ke toko bunga yang dulu pernah jadi favorit Davira. Pemilik toko hanya menggeleng saat ditanya. Ia juga menyempatkan diri mampir ke kafe kecil dekat kampus, menanyakan apakah ada gadis bernama Davira yang bekerja atau sekadar mampir. Hasilnya tetap nihil.
Hampir setiap malam, ia pulang dengan perasaan kecewa. Namun setiap kali membuka diary itu, semangatnya kembali menyala.
"Aku tidak akan menyerah, Vira,” gumamnya sambil menyalakan mesin mobil lagi.
Tanpa ia sadari, jarak antara dirinya dan Davira sebenarnya kian dekat. Hanya beberapa kilometer saja memisahkan keduanya. Namun, waktu belum mengizinkan mereka bertemu kembali.
***
Di kamar kontrakannya yang sempit, malam itu Davira menulis di buku catatannya sendiri.
"Hari ini aku merasa sedikit bahagia. Ada orang baik yang membantu, namanya Arda. Tapi entah kenapa, hatiku tetap kosong. Rasanya, tidak ada yang bisa menggantikan Kak Kaffa. Meski aku tahu, mungkin aku tidak akan pernah kembali padanya.”
Ia menutup buku itu, menatap langit-langit rumah yang mulai bocor karena hujan. Air mata menetes lagi tanpa ia bisa menahan.
Sementara di balkon rumahnya, pada saat yang sama, Kaffa juga menatap langit. Hatinya masih penuh doa yang sama, agar ia bisa menemukan Davira, meski harus melalui jalan panjang berliku.
Dan malam itu, semesta seakan menyimpan rahasia. Dua hati yang saling merindu, terpisah jarak yang tipis, tapi terhalang oleh takdir yang masih berproses.
Kapan Davira dan Kaffa akan dipertemukan?
dr awal sudah dianggap rendahan..
klo kafa g suka mending talak aja biarkan davira bahagia dgn caranya
krn tdk prnh mo jujur tu yg sdh bw davira dlm kebodohanx😏🙄
sm halx dgn diri qt,
suami mna yg tdk marah lo dpati qt ber2 sm laki" lain sx pun qt cm anggap tmn yg suami qt tdk knl???
psti mrh kan....
sm lo suami qt kdpatan ber2 sm perem lain qt j9 psti marah.
z ttap d pihak kafa, krn sbgai istri tdk mnjaga MARWAHNYA.
pinterx cm mghilang sj n jd prempuan bodoh.
z jd jemek jengkel dgn sifat davira ni, dsni jd tokoh utama tp tokoh utamax goblok bin o'on🙄🙄🙄
bner yg d blg kafa lo davira ni pengecut, kafa jg tdk slh dgn kata" yg d lontarkan buka sj hijab mu n menarikx hingga lepas
krn kafa jg py hAk krn suamix, lo kafa blg bk sj hijab mu mang benar ...
krn apa....krna davira goblok, sbgai istri tdk bs mnjaga MARWAHNYA
seenakx jln sm laki" lain bhkan smpe dbw krmh ortux,
untung ortux arda menolak
jd perempuan tu hrs tegas davira, jgn jd prempuan goblok trus.
lo ad apa" tu mulut mu bicara jgn diam jd pengecut.
lm" z jd pngin ulek mulut davira ni biar bs bicara jujur bkn jd pengecut trus mnerus