NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / One Night Stand / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Roman-Angst Mafia
Popularitas:558
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.

Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.

Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.

•••

Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.

Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.

Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.

⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pasukan Khusus Aurora

***

“Apa, Yah?! Anak kita diculik?!”

Suara Mayang langsung melesat ke langit-langit, matanya melebar kayak habis lihat megalodon.

Tapi tangannya refleks menutup mulut sendiri begitu Pak Mora memberi isyarat tenang.

Itu tandanya suara istrinya terlalu kencang.

“Iya… dia di culik sama Renggo. Si setan itu.”

Nada Pak Mora berat. Tatapannya lekat, seperti mau memastikan istrinya nggak pingsan di tempat. “Aku nggak tau persis kronologinya gimana. Tapi waktu aku lacak… ternyata dia ada di rumah anak yang pernah aku tolong dulu, waktu di Aceh.”

Mayang menggeleng pelan. Napasnya tercekat, sakit.

“Kok bisa sih, Yah… anak kita diculik?” Suaranya serak, matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa sih Renggo itu nggak bisa lepasin Brea? Dia yang selingkuh, dia yang main perempuan… sekarang malah anak kita yang jadi korban.”

Pak Mora menghela napas berat.

“Itulah. Aku pun nggak nyangka dia nekat. Untung aja ada anak buahnya Dimitry yang kebetulan lagi ngejar Renggo. Kalau nggak… entah gimana nasib Brea sekarang.”

“Terus… Renggo udah ketangkap?” tanya Mayang cepat.

“Belum.” Jawaban Pak Mora singkat tapi tegas. “Makanya aku mau laporin dia sekarang, biar langsung masuk daftar DPO.”

Mayang menatapnya cemas.

“Terus… selama dia belum ketangkap… Brea gimana? Apa kita perlu bayar ajudan lagi kayak dulu?”

“Haih…” Pak Mora mengibaskan tangan. “Nggak bisa. Pertama, aku sebentar lagi pensiun, nggak segampang dulu ajukan permohonan buat ajudan."

"Kedua, apa kau lupa? Dulu waktu Brea dijaga ajudan, dia malah kabur dan kecelakaan. Anak kita itu paling nggak suka dijaga ketat. Katanya, kayak residivis.”

Mayang terdiam. Pikirannya langsung terlempar ke masa lalu, waktu ancaman pejabat korup, bikin Brea dikawal demi keselamatan keluarga saksi.

Tapi pengawalan itu justru bikin dia terkekang. Teman-temannya menjauh karena takut liat Brea di kawal ajudan. Dia pun berontak. Sampai akhirnya… sebuah mobil nabrak tubuhnya pas berusaha kabur dari ajudan.

“Jadi… sekarang gimana, Yah?” suara Mayang melemah. “Renggo masih berkeliaran… dan dia pasti tambah pintar sembunyi karena tau kita mau laporin dia.”

Dia memeluk dirinya sendiri, seperti butuh perlindungan dari rasa takut yang menggerogoti.

“Masalah itu biar aku bicarakan sama kawan-kawan ku dulu, ya.” jawab Pak Mora. “Siapa tau mereka ada ide, atau penjagaan darurat. Tapi aku juga khawatir Brea bakal berontak lagi.”

Mayang mengangguk pasrah, tetap gelisah.

Pak Mora meraih kunci mobilnya.

“Sekarang aku ke kantor. Mau laporin si Renggo. Aku nggak peduli mau dia anak pejabat, anak raja, atau anak setan sekalipun, penjahat tetap harus ditangkap.”

Dia menatap istrinya dalam.

“Dan kau, Mayang… jaga Brea. Jangan sampai dia ke mana-mana sampai aku pulang siang nanti.”

Tanpa menunggu jawaban, Pak Mora bergegas keluar. Pintu rumah tertutup rapat, meninggalkan hawa tegang yang masih menggantung di ruang tamu.

***

Sekarang,,, Nama Renggo resmi masuk daftar DPO, gak lama setelah laporan Pak Mora diterima.

Di ruang tamu rumah kawannya, lelaki paruh baya itu duduk di ujung sofa. Punggung sedikit membungkuk, jemari saling mengunci di pangkuan. Sekitar enam orang mengelilinginya,,,

Ada yang duduk di lantai, ada yang bersandar, berusaha terlihat santai… tapi tatapan mereka penuh waspada. Topik mereka jelas:

Bagaimana mengamankan Brea, dan bagaimana menjerat Renggo secepat mungkin.

“Bah… gimana caranya kalau anakmu hobi kabur-kaburan?” Pak Manurung menggeleng, senyum pahit terulas di bibir. “Waktu kecil saja sudah bisa kelabui anak buahku. Apalagi sekarang sudah besar…. Ya tambah pintar lah dia.”

“Itu dia masalahnya, Om,” sahut Adit, tubuhnya condong ke depan. “Mbak Brea memang susah dijaga. Dia sendiri nggak mau dikawal. Kalau mau aman sampai Renggo ketangkap, kita harus ganti strategi.”

“Ganti strategi? Maksudmu pakai Tim Aurora itu? Prajurit bayangan?” alis Pak Marpaung terangkat. Dia mulai ikut bicara.

“Kalau perlu, iya,” jawab Saloka dari sudut ruangan. Tangan bersedekap, wajah datar, tipikal anggota Tim Aurora yang selalu bergerak di balik layar.

“Haih… mana sanggup aku bayar tim kalian. Lagi pula, sebentar lagi aku pensiun. Hak akses Tim Aurora pun sudah nggak ada,” potong Pak Mora cepat.

“Halah, Gerung… kau ini bicara kayak sama orang asing aja,” Pak Manurung menatapnya tajam. “Brea sudah kami anggap anak sendiri. Kalau kenapa-kenapa, kami juga yang repot.”

“Iya, Om,” timpal Saloka, nada suaranya kali ini hangat. “Njenengan sudah banyak bantu kami dulu. Sekarang gantian kami yang bantu njaga Brea. Soal biaya, nggak usah dipikirkan.”

“Final, ya?” Adit tiba-tiba menyambar sambil menepuk lututnya. “Kalau gitu, mending mulai hari ini. Si Renggo bisa saja udah mantau dari dekat. Ini golden hour, kalau kita lengah, bisa gawat.”

Pak Mora tersentak. “Bah, iya pulak… Ya? Jam berapa ini? Hampir Dzuhur, ya?” Ia langsung berdiri, bikin kursi berderit kencang. “Kalau gitu aku pulang dulu. Takutnya Brea sudah bangun, dan mamaknya nggak sanggup menahan kalau dia keluar rumah.”

“Ok, Om. Mending pulang duluan. Biar aku sama Adit yang atur jadwal tim. Kalau lancar, Insha Allah habis Magrib… operasi sudah jalan.” Saloka meraih ponsel, wajahnya tetap dingin, tapi sorot matanya menyala.

***

Sekarang tiba di rumah Pak Mora.

Di ruang tengah, Brea sudah bangun dari tadi. Dia duduk di sofa dengan rambut awut-awutan, memeluk bantal guling seperti tameng. Matanya setengah sipit, mengerjap-ngerjap, seolah sedang menimbang dunia yang masih berputar terlalu cepat.

“Aduh… kepalaku kayak dipukul palu, Mak…” keluhnya, lirih tapi kesal.

Mayang, yang duduk di sebelahnya, mencoba mengorek cerita. Namun setiap kali pertanyaan keluar, Brea cuma memberi senyum tipis lalu menunduk, membiarkan tatapan jatuh ke lantai. Diam-diam yang bukan berarti nyaman.

Pak Mora menghampiri istrinya selepas Dzuhur. Dia melepas peci dan menggantungkannya di sandaran kursi.

“Kek mana dia? Udah tidur lagi?” suaranya rendah, nyaris berdesis.

Selepas makan, Brea memang balik lagi terlelap di kamarnya. Tanpa tau kalau kedua orangtuanya sudah berpindah ke mushola kecil di pojokan rumah. Suara mereka pun berubah menjadi bisikan.

“Iya, Yah… tadi habis mamak kasih obat. Katanya kepalanya nyut-nyutan,” ucap Mayang, meremas ujung mukena seperti butuh pegangan hidup.

Pak Mora menyipitkan mata. “Jadi… udah kau tanya belum? Gimana dia bisa ketemu Renggo? Bukannya dia minta izin ketemu klien di kafe?”

Mayang menggeleng cepat. “Dia nggak mau cerita. Aku juga nggak mau mojokkan dia… takut malah curiga.”

“Betul itu,” sahut Pak Mora pelan. “Kalau Brea nggak curiga, besar kemungkinan Renggo pun nggak curiga. Itu peluang buat jebak dia.”

Mayang terdiam, lalu menatap suaminya.l agak lama,

“Ayah serius mau pakai Tim Aurora? Ini masalah pribadi… nggak enak kalau melibatkan mereka.”

Pak Mora menarik napas panjang. “Aku juga nggak mau. Tapi mereka yang menawarkan diri. Kita coba aja dulu.”

Diskusi mereka merendah, suaranya makin tipis, seperti takut dinding ikut mendengarkan setiap kata.

Tapi yang gak mereka sadari… di luar jendela kamar Brea, ada dua bayangan yang terlalu lama berdiam diri

Juga suara kain tipis tersibak pelan oleh angin.

Jelas bukan tim Saloka.

Bukan Adit.

Lantas… siapa?

Anak buah Dimitry?

Atau… malah,,, tim Renggo?

***

1
Xavia
Jelek, bosen.
Yuni_Hasibuan: Boleh di skip ya say.

Lain kali, lebih baik diam daripada dapat dosa, karena menghina karya orang lain.
total 1 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!