NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Kehidupan Tentara / Roman-Angst Mafia
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.

Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.

Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia

Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.

Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.

Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.

WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan Mundur!

***

Hanya sepuluh menit, mobil mewah nan mencolok itu sudah menarik perhatian banyak orang begitu berhenti di lokasi.

Kerumunan petugas yang sibuk membereskan sisa kekacauan sempat terdiam. Semua menoleh ketika Dimitry turun dari limosin. Kehadirannya langsung jadi pusat perhatian.

Bodyguard resminya—yang rapi dengan jas hitam, jauh lebih "normal" daripada anak buah Yannick—segera membuat barikade. Warga yang tadinya sekadar penasaran ingin tahu apa yang terjadi, malah berubah jadi heboh. Ada yang angkat ponsel, buru-buru mengabadikan momen Dimitry muncul di TKP.

“Bah, anak itu. Ngapain juga dia sampai ke sini? Cepat sekali pulak. Dasar caper!” Pak Mora bersungut-sungut, jelas kesal.

“Om kenal dia?” tanya Saloka, heran. Ia masih bingung: kenapa artis internasional sekelas Dimitry bisa datang ke sini secepat ini, dan makin bingung lagi melihat Pak Mora tak tampak kaget, malah malas menatapnya.

“Itu dia… anak turis yang pernah ku tolong dulu waktu di Aceh. Udah besar dia sekarang, udah jadi artis .” Jawab Pak Mora asal, tapi efeknya membuat wajah Saloka langsung terkejut.

Sementara itu, Brea tengah ditangani tim medis di dalam ambulans. Pintu belakang terbuka lebar. Ia duduk dengan masker oksigen, ditemani beberapa sandra lain yang kondisinya mirip.

“Gimana nafasmu? Udah enak, kan? Ada yang sakit? Bilang sama Ayah kalau ada yang sakit, ya,” tanya Pak Mora, suaranya lembut tapi gelisah.

Brea melepas masker oksigen dulu sebelum menjawab. “Kalau nanya satu-satu, yah…” sahutnya, agak sebal.

Pak Mora menghela napas lega. “Hah, masih bisa merajuk. Itu tandanya udah sembuh kau, ya? Kalau begitu, biar Ayah suruh kau pulang duluan. Sama Saloka.”

Brea mengangguk kecil. “Iya, Yah. Aku lebih baik pulang sekarang. Aku kepikiran Mamak di rumah… pasti masih nangis dari tadi.”

Pak Mora tersenyum tipis. “Tenang aja, kalau kau pulang, mamakmu pasti langsung berhenti nangis.”

Lalu ia menoleh ke Saloka. “Saloka, cepat antar anakku pulang lewat belakang. Jangan lewat depan, terlalu banyak wartawan. Pake mobilku aja.”

“Siap, NDAN!” jawab Saloka kelewat antusias.

Tak lama, Brea dan Saloka pun meninggalkan tempat itu.

Pak Mora baru bisa menghela napas lega… lalu cepat-cepat berjalan ke arah Dimitry, yang sedari tadi menatapnya dari luar garis polisi, lantaran nggak di ijinkan masuk ke TKP.

“Ngapain juga kau pagi-pagi buta muncul di sini, hah?” tegur Pak Mora begitu saja, malas menyamarkan nada kesalnya. Padahal dia juga merasa lega.

“Kenapa Brea disuruh pulang duluan, Pak? Padahal aku sengaja datang untuk mengantar kalian berdua.” bukannya menjawab, Dimitry malah langsung melontarkan protes.

“Haih… apa pula gunanya kau mengantar aku pulang? Sekarang operasi besar, masa aku bisa lupa bawa mobil sendiri?” balas Pak Mora ketus.

"Dan sekarang aku tau,,, kedatangan kau kesini, sudah menjelaskan, pasti ada kaitannya sama informasi lokasi ini kan? Kau pasti tau dari awal."

"Apa turis Korea Selatan yang lapor polisi itu bodyguard mu?" Tanya Pak Mora.

Dimitry menjawab dengan anggukan santai, nggak menyangkal sama sekali.

Pak Mora tersenyum lega.

Tapi sebelum sempat Dimitry bicara, Pak Mora sudah menambahkan, “Oh ya anakku ku suruh pulang duluan, karena ada hal yang mau kubicarakan sama kau. Penting. Dan harus rahasia. Ini tentang Hadiah itun.”

Kalimat itu bikin Dimitry sempat melongo, tapi cepat sadar. Dia langsung tanggap membukakan pintu mobilnya sendiri.

“Kalau begitu, ayo masuk, Pak. Kita bicara di dalam”

Pak Mora mengangguk kecil, tapi sebelum masuk, dia masih sempat menoleh ke arah anak buahnya dulu. “Oy, Ronggur, Bandi! Aku pulang duluan ya. Gak apa-apa kan ku tinggal? Kalau ada apa-apa disini, cepat telepon aku.”

“Iya, Pak, pulang duluan aja. Di sini biar kami yang urus,” sahut Bandi, mantap.

Pak Mora mengangguk kecil lagi, baru masuk ke mobil Dimitry.

“Pulang ke rumah Bapak, atau ke rumahku?” tanya Dimitry, hati-hati.

Pak Mora tak langsung jawab. Ia sempat berpikir sebentar, lalu mendesah. “Kalau soal rahasia sekelas berlian ikon keluargamu… apa aman kalau di rumahmu? Gak ada bodyguard abort mission itu yang bakal laporan?”

Dimitry sempat tertegun dengar kata pernikahan, dan senyumnya segera muncul. “Untuk sekarang aman, Pak. Mereka lagi sibuk kejar Renggo. Kalau slesai, pasti langsung lapor ke aku dulu.”

Sambil berkata begitu, Dimitry melepas cincin Mykaelenko di jarinya, lalu mematikan alat pelacak yang tersembunyi di kancing bajunya. Dia sadar obrolan ini bakalan mengarah kemana.

Pak Mora hanya melirik tingkah Dimitry, tak berkomentar—mungkin sudah terlalu sering melihat trik semacam itu.

***

Mobil limosin berhenti di halaman luas kediaman Mykaelenko. Lampu taman masih menyala, bikin rumah itu tampak lebih mirip benteng mewah yang berjaga di tengah malam. Begitu pintu terbuka, Dimitry sigap turun lebih dulu dan langsung mengarahkan Pak Mora menuju ruang tamu.

Belum sempat kursi dipanaskan punggung, Pak Mora sudah nembak tanpa basa-basi.

“Dimitry, soal kalung itu, apa betul kau sudah meletakkan tracker di dalamnya?”

Dimitry santai menjawab, nada suaranya tenang.

“Iya, Pak. Itu cuma bantuan kecil yang bisa aku tawarkan.”

“Bantuan kecil katamu? Enggak!” Pak Mora langsung geleng-geleng, wajahnya serius. “Bagiku itu terlalu berlebihan kalau dibilang kecil. Harga berlian itu aja, tanpa tracker, aku yakin nggak sanggup bayar. Apalagi kau sampai berinisiatif nyelipin tracker di dalamnya. Dan karena itu… aku bisa menemukan Brea.”

Ia menarik napas dalam, suaranya berubah sendu.

“Kalau dipikir lagi, dengan pertimbangan itu… kurasa pakai nyawaku pun belum cukup buat bayar. Iya kan?”

Dimitry mengamati wajah penuh duka itu, bibirnya menampilkan senyum kalem. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tapi entah kenapa mendadak buyar. Semua rencana yang sudah ia susun rapi di kepalanya runtuh begitu saja, hanya gara-gara ekspresi Pak Mora malam itu.

“Sudahlah, Pak. Lupakan saja. Anggap itu karma baik, atas apa yang dulu Bapak lakukan untuk saya.” jawab Dimitry akhirnya.

“Nggak bisa! Aku nggak bisa lupa. Mana mungkin aku bisa lupa sama kejadian besar malam ini?” suara Pak Mora meninggi, penuh emosi. “Aku hampir kehilangan anakku. Untung ada kalung itu. Kalau nggak… aku nggak tau apa yang akan terjadi.”

Dimitry menatapnya lekat.

“Terus… aku harus gimana? Apa yang Bapak inginkan sekarang, supaya bisa lupa dengan kejadian itu?”

Pak Mora balik menatap, sorot matanya tajam.

“Jawab jujur. Apa tujuanmu kasih hadiah sebesar itu buat aku? Aku yakin nggak sesederhana itu, kan? Kalau cuma masalah tracker, kau bisa kasih dalam bentuk benda lain. Nggak harus kalung permata—apalagi yang motifnya sepasang dengan punyamu.”

Ia maju sedikit, suaranya menekan.

“Bilang aja terus terang, Dimitry. Jangan ada yang kau tutupi lagi.”

Dimitry terdiam sejenak. Tatapannya dalam, berat.

“Bapak yakin siap mendengar?” tanyanya akhirnya.

Pak Mora mengangguk kecil, mantap.

“Baiklah. Tapi jangan kaget. Dan jangan mundur. Karena kalau sudah kubuka…” Dimitry menarik napas panjang, “artinya pilihan Bapak cuma satu: menerima.”

***

1
sasi Cia
Alamakkkk...share lock aja WC nya di mana 😭😭😭
sasi Cia
Whahahaha
sasi Cia
GO GO GO!!
Xavia
Jelek, bosen.
sasi Cia: idihhh alay lu! manusia kek kau ini, cuma bisa koar koar, ngekritik kosong, mulut besar, cocok banget tinggal di hutan, soal nya gak guna ,🙊🙊
total 2 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!