Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RINDU ALMARHUM BAPAK
Hasna datang ke rumah bersama suaminya, mas Mardi dengan membawa mobil pick up milik mereka. Saat datang ke rumah, aku mempersilahkan mereka ke ruang tamu yang kurang begitu rapi disana sini karena mainan dua balitaku, Mumtaz dan Arsenio yang telah berantakan kembali meskipun baru saja kuberesi, tapi mereka meminta untuk langsung kuantar ke gudang dimana kayu tersebut berada.
Sesampainya disana, Hasna dan mas Mardi melihat kayu dengan seksama, baik gawang pintu, daun pintu, empat gawang jendela, empat daun jendela. Ada gawang pintu, dua daun jendela, empat gawang jendela, serta empat daun jendela. Entah semua itu terbuat dari kayu apa, aku juga kurang paham. Tapi aku menaksir total harga semuanya bisa mencapai angka lima jutaan.
"Siti, setelah melihat barangnya, aku menghargai dengan empat juta rupiah ya. Sebenarnya aku tidak berminat membeli gawangmu, tapi berhubung kamu butuh uang untuk sekolah Zahrana, aku kok kasihan. Ini uangnya tak kasih tiga juta dulu. Sisanya nanti kukabari. Aku masih menunggu panen tebu. Mungkin sebulan atau satu setengah bulan lagi," jelas Hasna padaku.
Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan karena bila aku menawar harga, aku takut malah Hasna berubah pikiran tidak jadi membeli kayu. Bagiku tak apalah aku merugi satu juta, toh yang membeli juga temanku sendiri. Bila suatu saat pintu dan jendela itu telah terpasang, bila aku tengah rindu dengan kusen buatan almarhum bapak, aku bisa main ke rumah Hasna untuk mengobati rasa rinduku pada bapak. Bila ke rumah orang lain, mungkin atau malah aku akan merasa sungkan.
Hasna mengulurkan uang tiga juta rupiah padaku. Aku agak gemetar menerima uang tersebut karena aku sudah lama tidak memegang uang melebihi seratus ribu rupiah sejak dua tahun yang lalu, tepatnya sejak bapakku tiada.
"Terima kasih Hasna, kamu sudah bersedia membantuku," ucapku pada Hasna.
"Sama-sama," balas Hasna.
Mas Mardi, suami Hasna segera mengusungi kayu tersebut dan membawanya ke arah halaman. Setelah kayu berada di depan halaman semuanya, baru mas Mardi mengangkat ke atas mobil pickup dan memberi tali pada kayu tersebut agar tidak goyang.
"Aku pamit, Sit," ucap Hasna padaku.
"Terima kasih, Hasna," jawabku pada Hasna.
Mereka segera menaiki mobil pickup tersebut dan aku menatap dari arah belakang mobil dengan bak terbuka tersebut. Aku melihat ke arah jendela dan daun pintu buatan almarhum bapak. Tak terasa air mataku menetes di kedua pipi.
"Andai aku punya uang bapak, aku tak mungkin menjual barang peninggalan bapak. Kumohon maafkan anakku ini njeh Bapak," batinku terasa menangis.
Aku segera masuk ke dalam rumah. Tak lupa segera kuseka air mata yang menetes dipipi agar Arsenio tak melihat tangisanku yang tumpah barusan karena melihat kayu peninggalan bapak telah berlalu dihadapanku.
Aku segera menaruh uang tiga juta tersebut ke dalam dompet berwarna hitam. Tak lupa aku mengambil satu lembar uang bergambar presiden proklamator kita, bapak Soekarno serta wakilnya Bung Hatta. Kupandangi uang itu dengan seksama.
Telah lama aku tak memegang pecahan uang lembaran yang berwarna merah ini. Kuniatkan ini sebagai zakat atas penjualan kayu milik Bapak yang akan kubelikan bakso, susu serta makanan ringan. Sudah lama sekali ketiga anakku tidak bisa makan bakso. Mungkin sudah sepuluh bulan yang lalu terakhir kali kami makan bakso bersama. Saat ada ulang tahun Alifiana, anak rumah tetangga.
Segera kutaruh uang seratus ribu tadi dibawah kasur, aku segera mengambil wudhu untuk melaksanakan salat dhuha. Mumtaz tengah sekolah di TK dekat rumah, Zahrana belum pulang dari madrasah. Sedangkan Arsenio sedang tertidur pulas di ruang keluarga.
Setelah menunaikan salat Dhuha, aku termenung di depan sajadah. Kukirimkan fatihah pada almarmarhum Bapak, sebagai tanda terima kasih.
"Bapak ... bapak..., anakmu ini sungguh kebangeten (keterlaluan) sekali bukan? Dari kecil hingga dewasa, dari lajang hingga memiliki tiga orang anak, umur juga sudah mendekati umur tiga puluh lima tahun, tapi masih belum bisa mandiri. Aku masih merepotkan panjenengan saja. Meskipun panjenengan saat ini telah tiada, tapi masih tetap bisa membantuku, membantu menyekolahkan Zahrana, cucu perempuan panjenengan. Terima kasih Bapak. Suatu saat, semoga aku bisa mandiri dan menghasilkan uang sendiri ya Bapak. Semoga suatu saat aku juga bisa menulis novel yang khusus kutujukan bagi panjenengan njeh Bapak. Aamiin. Maafkan saya njeh Bapak. Saya merasa begitu tidak berguna menjadi seorang anak karena hanya mampu menulis tentang panjenengan. Kakak malah sudah bisa membelikan batu nisan di sarean tahun ini untuk panjenengan," doaku dalam hati sambil menangis tergugu.
"Sejenak saja, bolehkan saya merindukanmu, Bapak? Sungguh, aku merasa tak mampu menanggung beban ini sendirian saja," ucapku lirih.
Aku duduk di kisi jendela besar yang berada di kamar paling depan, yang kugunakan sebagai mushalla mini di dalam rumah sambil menatap kendaraan yang berlalu lalang.
Setelah pikiranku kembali tenang, kutaruh mukena dan sajadah pada tempatnya. Aku melihat Arsenio di ruang keluarga, ia terlihat masih saja tertidur. Aku kembali ke kamar dan meraih gawaiku di tempat biasa, di bagian lemari paling atas.
Aku segera membuka aplikasi biru, facebook dan mencari informasi tentang kendaraan seken yang dijual di aplikasi tersebut. Saat ini aku sangat membutuhkan motor untuk bepergian. Tak enak rasanya sudah hampir setahun ini, sejak mas Anton pergi dari rumah, aku selalu meminjam motor milik tetangga jika ingin bepergian.
Aku menyekrol grup penjualan kendaraan bermotor dan kulihat harga yang tertera. Untuk motor yang bagus ternyata masih berada di kisaran harga sepuluh jutaan rupiah. Sedangkan uang yang kupunya hanya nominal tiga jutaan. Itu belum untuk keperluan setiap hari, belum kebutuhan sekolah Zahrana yang baru, belum ... oh ya yang akan sebentar lagi. Uang untuk ujian dan kelulusan. Uang untuk kendaraan tak ada dalam list pengeluaranku. Astaghfirullaah, bagaimana ini?
Aku tetap menyekrol grup penjualan. Kutemukan motor dengan harga satu jutaan, tapi terlihat sudah brondol disana sini. Apa motor dengan harga satu jutaan minusnya sangat banyak seperti ini? Pasti akan banyak mengeluarkan biaya tambahan untuk keperluan servis dan lain-lain bukan?
Aku tetap menyekrol, mencari grup baru tentang jual beli motor seken. Ternyata, membeli motor seken melalui online harus sabar dan telaten untuk mendapatkan harga yang sesuai dengan uang yang dimiliki.
Aku ingin memiliki motor dengan harga satu juta, atau kalau bisa dibawah satu juta rupiah. Kalau bisa, motor tersebut adalah motor matic agar bisa dengan mudah membawa ketiga anakku, Zahrana, Mumtaz, dan Arsenio. Tapi saat menyekrol, aku selalu mendapatkan harga di kisaran delapan juta rupiah. Harga motor matic paling murah karena sandangan tidak komplit, plat juga mati masih dikisaran harga empat jutaan.
Saat aku membicarakan motor yang kuinginkan pada mbak Inin, mbak Inin hanya menyembik.
"Siti, Siti. Wong kok tangen lamun (bermimpi/ berkhayal tingkat tinggi). Mana ada motor matic harga satu juta atau lima ratus ribu rupiah. Tangi woi tangi. Turumu kemiringen Sit (bangun bangun. Tidurmu terlalu miring Sit)," ucap mbak Inin yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
Mbak Inin, mbak Inin. Kamu tahu, kamu adalah mood booster terbaikku saat ini.