Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Hindari Hendra
Pagi ini, mereka berempat sudah kembali masuk bekerja di lapangan. Mereka melapor pada Bang Irul dan Pak Johan, jika kemarin ada sesuatu yang mendesak. Mereka di maafkan kali ini, namun mendapatkan ceramah cukup panjang dan nasihat baik, agar nanti kelak di tempat kerja mereka yang sesungguhnya setelah tamat sekolah, mereka bisa bertanggungjawab dan bekerja sama.
"Terimakasih Pak, Bang." Mereka kompak menyahut dan kembali ke tempat kerja masing-masing.
Saddam dan Agung dibagian pengukuran tanah dan memberi tanda dengan cat pilot putih ataupun hitam. Sementara Viko dibagian pemantauan dan pemetaan bersama Diro, yang di awasi oleh Bang Irul.
"Nanti selesai Isya datanglah ke rumah, Abang ada syukuran kecil-kecilan, gak ngundang banyak orang, beberapa orang aja, tetangga dekat banget sama kalian dan Tek Raisyah." Bang Irul berbicara pada mereka saat jam istirahat tiba.
"Insyaallah Bang, kami datang," jawab Viko.
"Oh ya, kemarin terjadi apa saja sama kalian? Apa yang kalian lihat?" tanya Bang Irul menatap mereka berempat yang baru saja selesai makan, bahkan Diro dan Agung baru saja cuci tangan.
"Kami gagal pulang karena tak ada bus yang mau berhenti dan ojek untuk ke desa sebelah pun kurang beruntung, mogok dan lainnya. Jadi, kami memilih kembali pulang, soalnya jam 3 sore sudah tak ada bus lagi ke kota."
Bang Irul tampak mengangguk mendengar. "Trus ada penampakan?"
Mereka berempat menatap Bang Irul beberapa detik lalu sama-sama mengangguk.
"Siapa?"
"Keduanya," jawab Saddam menatap tajam Bang Irul.
"Keduanya?" Bang Irul tercengang lalu termenung.
"Pertanda apa itu bang?" tanya Saddam.
Bang Irul menghela nafas panjang. "Pertanda tak baik. Aku akan membantu kalian, percayalah. Kalian pasti kembali. Waktu praktek kalian sisa 20 hari lagi kok. Seminggu sebelum itu, aku akan pikirkan caranya, untuk Dik Anisa juga." Bang Irul berkata mantap.
"Ya sudah kalian fokus saja, tak perlu banyak pikir, Abang pasti bantu kalian, kalian akan baik-baik saja. Nanti di rumahku saja kita mengobrol lagi." Bang Irul berdiri dan kembali ke kelompok yang lain.
Melihat punggung Bang Irul menjauh, Diro pun berkata, "Bantu apa? Kalian percaya?"
Agung menggeleng. "Entah, aku benar-benar bingung. Lalu, jimatku ini bagaimana menurut kalian? Aku pakai atau lepas?"
"Kenapa memangnya?" Viko bertanya dan menatap jimat yang dipegang Agung.
"Ya, karena katanya jimat ini bisa membantu aku, agar terhindar dan dijauhi sosok itu, nyatanya kemarin aku tetap bisa lihat!"
"Jangan di lepas! Lepas saat kita sudah kembali ke kota saja. Itu cuma terlihat, tapi tak di ganggu sampai kami kesurupan kayak kemarin 'kan!" Saddam berkata.
Selesai salat isya berjamaah di masjid, mereka bersama pergi ke rumah Bang Irul. Di rumah itu hanya ada beberapa orang, sanak keluarga dari Bang Irul dan istrinya, tetangga dekat, nek Raisyah, dan Bu Anisa bersama keluarga Pak Thalib.
Kelompok laki-laki duduk di bagian depan arah pintu utama depan, kelompok perempuan duduk di belakang, bagian dapur.
Mereka saling mengobrol berbincang-bincang. Salah satunya juga istri Bang Irul, Leli.
"Bagaimana hari-harimu di rumah Pak Thalib, aman, sudah tak ada penampakan atau lainnya lagi?" tanya Leli.
"*Alhamdulillah*, tidak ada dan jangan sampai ada lagi Kak."
"Syukurlah." Lalu Leli lebih mendekatkan duduknya dan berbisik. "Jangan sampai tergoda pada Hendra ya, apapun yang dia katakan kamu harus waspada. Dia itu berkuka dia, pura-pura baik tapi hati dan pikirannya busuk!"
Bu Anisa mengerjap beberapa kali. "Maksudnya gimana kak?" Dia menatap Leli. Wanita itu jarang bicara, pendiam, tapi kenapa dia tiba-tiba bicara seperti ini dan menjelekkan Bang Hendra yang terkenal baik, pintar, bersosialisasi tinggi dengan masyarakat, dia juga ketua pemuda di kampung ini.
"Kamu jangan tertipu, dia itu buruk, tak sebaik yang terlihat. Aku peduli padamu, jadi cuma itu yang bisa aku sarankan padamu, hindari dia sejauh mungkin, tanpa berkata-kata."
"Oh, iya kak. Makasih," jawab Bu Anisa bingung.
Selesai makan dan do'a bersama yang dipimpin ustadz, sebagian orang memilih pulang, namun mereka berempat di ajak menginap oleh Bang Hendra di rumahnya, sementara Nek Raisyah akan menginap di rumah Pak Thalib dibawa oleh putri Pak Thalib dan Bu Anisa.
Leli, Istri Bang Irul membentangkan tikar, mengeluarkan bantal, guling dan selimut ke ruang tengah. Meletakkan seteko kecil kopi hangat bersama lima gelas kosong dan cemilan roti kelapa di atas meja.
"*Bang, alah siap ha, kami lalok dulu*." Leli, Istri Bang Irul berbicara dalam bahasa daerah, mengatakan jika tempat tidur mereka sudah di siapkan serta cemilan mereka, lalu Leli dan anaknya akan segera tidur di kamar.
"Iyo." Bang Irul mengangguk.
"Sinilah, kita mengobrol." Bang Irul mengajak mereka berempat duduk melingkar di tempat cemilan dan minuman yang dihidangkan istrinya tadi.
"Aku lihat, kalian cukup denkat dengan Hendra. Apa saja yang dia katakan pada kalian?" Bang Irul memulai percakapan.
"Dekat ala kadarnya aja Bang, sama kayak kami sama Abang. Beliau kan ketua pemuda, juga asik di ajak berbincang," jawab Viko.
"Asik sih, tapi kalian harus waspada, gak perlu dekat-dekat banget sama dia dan jangan percaya sama dia. Dia itu muka dua!" Bang Irul menyeruput kopinya setelah berkata seperti itu.
"Minum dan makan kue nya, jangan dilihat saja. Besok kita masuk kerja agak siangan, nunggu alat berat masuk dulu kata Pak Johan."
"Iya Bang." Mereka menuangkan kopi hangat di teko ke dalam gelas masing-masing.
"Emangnya ada apa dengan Bang Hendra, Bang?" tanya Saddam.
"Dia itu bermuka dua, munafik, tak sebaik yang orang-orang tahu. Kalian harus menjauh dari dia, jika mereka mendekat kalian hindari saja pokoknya."
"Baiklah Bang."
Mereka berlima berbincang-bincang, mulai dari pekerjaan, tentang masa lalu Bang Irul, cerita kisah cinta dia bersama istrinya, hingga cerita random dan lucu tentang Saddam dan teman-temannya di sekolah.