NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:960
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukti Baru

Dada Renaya bergetar, tatkala jelas terlihat siapa sosok perempuan itu. Tak lain... Saras!

“Apa lagi yang kalian rencanakan?” bisiknya, kepalan tangannya mengencang di pangkuan.

Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan memenuhi pikirannya, menciptakan riuh di kepalanya hingga membuatnya pening seketika. Semua fakta yang perlahan dia temukan seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas. Terlalu banyak kebusukan yang terkuak dalam satu waktu.

“Jadi selama ini… aku terlalu lama membiarkan diriku jauh dari keluarga,” dengusnya lirih, senyum masam mengembang di sudut bibir. “Pantas saja semua terasa seperti neraka saat aku kembali.”

Namun lamunan Renaya tak berlangsung lama. Fokusnya kembali tertuju pada Bagantara dan Saras, yang mulai melangkah masuk ke sebuah kawasan remang-remang.

“Aku nggak kaget kalau Mas Bagantara doyan tempat seperti ini… tapi kenapa harus bareng Saras?” Suara Renaya tercekat di tenggorokan, bercampur muak dan geram.

Renaya mempercepat langkahnya, mengendap-endap penuh kehati-hatian. Dia tahu persis, dua orang itu sangat mengenalnya, bahkan dalam gelap sekalipun. Sedikit saja lengah, semuanya akan berantakan. Tapi dia juga tak boleh kehilangan jejak. Ini kesempatan yang tak bisa ia lewatkan.

Tapi malang, baru beberapa langkah menyusup ke area itu, lengannya tiba-tiba dicengkeram kuat. Spontan Renaya menoleh dengan tatapan tajam, lalu mengumpat pelan.

Seorang pria berseragam menatapnya datar, mencengkram pergelangan tangannya erat.

Renaya berusaha menarik lengannya, namun tak berhasil.

“Maaf, Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” ucap Renaya menahan kesal.

Petugas itu menghela napas berat, tampak sudah lelah berurusan dengan orang-orang di tempat seperti ini. Di dada seragamnya tersemat nama: Dodi.

“Bisa… setelah Anda ikut kami untuk pemeriksaan,” jawabnya, suaranya datar.

Renaya menghela napas keras. “Saya nggak melakukan kesalahan apa pun sampai harus diperiksa.”

“Berada di lingkungan seperti ini, malam-malam begini, sudah cukup jadi alasan untuk pemeriksaan,” balas Dodi.

Renaya mendengus. “Saya bahkan nggak melakukan apa-apa.”

“Anda bisa menjelaskannya nanti… di kantor,” suara Dodi tak terbantahkan.

Renaya menggeliat, mencoba melepaskan diri, namun pegangan sang polisi semakin mengencang. Paniknya mulai memuncak, mengingat Bagantara dan Saras bisa saja menghilang dari jangkauan.

“Tolong kerjasamanya, Bu. Kalau ingin cepat selesai,” tegas Dodi.

Renaya menggeleng, matanya menyala tajam.

“Tidak. Saya nggak akan ikut ke mana pun karena saya nggak bersalah. Kalian salah orang,” balasnya lantang, penuh keyakinan.

Saat Dodi nyaris membuka suara, Renaya lebih dulu menginterupsi dengan nada meninggi.

“Memangnya Anda bisa sembarangan menangkap orang hanya karena melihat seseorang berada di area seperti ini?” sergahnya, matanya berkilat.

Suara Renaya kian tegas, “Anda jelas harus punya surat perintah untuk menangkap saya!” pekiknya penuh keyakinan.

Dodi sempat menunduk, seolah menata ulang pikirannya. Kemudian ia mendongak, menatap lurus ke arah Renaya dengan sorot dingin. “Ini bukan perintah penangkapan khusus. Saya tak perlu surat perintah untuk mengamankan Anda,” jawabnya datar. “Tugas saya di sini jelas: membersihkan area ini dari orang-orang semacam Anda. Dan Anda, masuk dalam kategori yang harus diamankan.”

Renaya mengepalkan tangan, matanya menyipit tajam. Ia tahu alasan mengapa polisi itu menghampirinya. Namun, ia juga paham betul—dia berhak membela diri, karena tak satu pun tuduhan itu benar.

“Tapi saya bukan bagian dari ‘komplotan’ yang Anda maksud. Saya ke sini bukan melakukan hal seperti yang Anda pikirkan,” sanggah Renaya, mencoba tetap tenang.

Dodi mengangkat dagunya, sedikit tertarik. “Kalau begitu, untuk apa Anda di sini?” Nadanya terdengar menantang, tapi sekaligus memberi kesempatan Renaya menjelaskan sebelum menyeretnya ke kantor polisi.

Pertanyaan itu seperti tamparan keras bagi Renaya. Ia terdiam sesaat, pikirannya berputar mencari jawaban. Mustahil baginya mengungkap alasan sesungguhnya, sebab semakin ia bicara, semakin besar kemungkinan dirinya terjerat masalah baru. Namun, memilih diam juga bukan solusi.

“Baiklah… kalau Anda tak bisa menjelaskannya di sini, ikut saya ke kantor dan sampaikan penjelasan Anda di sana!” Dodi menarik lengan Renaya, langkahnya mantap.

Renaya mencoba menarik lengannya. “Kalau saya ikut Anda, sama saja saya mengakui perbuatan yang Anda tuduhkan. Sedangkan saya tidak melakukan apa pun!” Renaya menggertak balik, meski suaranya mulai bergetar.

Perlawanan Renaya kian liar, tubuhnya bergerak tak terkendali. Tapi sia-sia cengkeraman Dodi sekeras batu karang.

Sampai akhirnya, dalam kepanikan yang meluap, Renaya mengayunkan tangan bebasnya, mencakar wajah Dodi tanpa ampun.

“Argh!” Dodi mengerang, tangannya refleks meraba wajah yang kini terasa panas dan perih.

Itulah celah yang Renaya tunggu. Tanpa pikir panjang, ia meloloskan diri, berlari secepat mungkin meninggalkan polisi itu. Kakinya menjejak jalanan licin, namun ia tak memperlambat laju.

Renaya tahu, pengejaran Dodi belum selesai. Ia menoleh ke kanan kiri, mencoba mencari taksi yang tadi mengantarnya, namun nihil. Taksi itu telah raib entah ke mana.

“Sial… aku bisa ketangkap kalau begini!” rutuknya, dada naik turun menahan napas.

Tanpa pilihan lain, Renaya berlari melintasi trotoar, sesekali menoleh ke belakang. Dodi masih mengejar, langkahnya terdengar semakin dekat.

Begitu tiba di sebuah tikungan, Renaya membelok tajam, matanya menangkap sekelompok pohon besar tak jauh dari trotoar. Tanpa pikir panjang, ia menyelinap ke balik pepohonan itu, merunduk, menahan napas sekuat tenaga.

Jantungnya berdebar liar. Tubuhnya gemetar. Ia mengintip dari sela batang pohon, mengamati jalanan di mana Dodi masih berkeliaran, mencari jejaknya.

“Ini terlalu ceroboh… aku nggak bakal aman kalau cuma bersembunyi di sini…” bisik Renaya, jemarinya mencengkeram kulit pohon.

Beberapa saat berlalu sebelum Renaya berani kembali mengintip dari balik pepohonan tempat persembunyiannya. Nafasnya tercekat, namun perlahan keraguan itu luruh saat matanya menangkap sosok Dodi yang kini menjauh, langkahnya mantap meninggalkan area tanpa sedikit pun menaruh curiga pada pohon tempat Renaya bersembunyi.

Seketika itu juga, sebuah desahan panjang lolos dari bibir Renaya. Kakinya tak kuat menopang tubuhnya yang limbung, membuatnya merosot hingga terduduk di tanah, bersandar pada batang pohon yang kokoh. Jantungnya masih bergemuruh, ritmenya tak beraturan akibat ketegangan yang belum sepenuhnya reda.

Tangannya merogoh ke dalam saku jaket, menarik keluar ponsel yang sejak tadi terus ia jaga erat. Jari-jarinya bergetar saat ia membuka galeri, menelusuri deretan foto yang barusan ia abadikan.

Dan di sana, terpampang jelas potret Bagantara bersama dua perempuan, salah satunya begitu dikenalnya dengan baik.

“Apa Bapak tahu soal ini?” gumam Renaya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Pikiran itu berkelebat cepat bayangan wajah Kinasih, bagaimana ekspresinya jika Renaya menyerahkan bukti pengkhianatan Bagantara. Bagaimana reaksinya saat mengetahui lelaki yang selama ini ia banggakan ternyata berkeliaran di tempat lokalisasi bersama selingkuhan dari ayah mereka sendiri.

Renaya menghela napas berat. “Ada apa dengan keluargaku?” bisiknya getir.

Hatinya dihempas keraguan, membayangkan beban masalah yang semakin menumpuk di pundaknya. Apakah ia mampu menanggung semuanya sendiri? Ia belum juga beranjak, tapi rasa lelah seolah sudah menggerogoti semangatnya.

Teringat lagi ucapan Sandrawi, entah nyata atau sekadar bayangannya, tentang bagaimana berbahayanya kebenaran yang sedang ia usut. Benaknya dipenuhi kebimbangan, seolah setan keraguan menari-nari di pikirannya.

Namun tekadnya kembali mengeras saat membayangkan kematian Sandrawi yang penuh misteri. Ia tak bisa membiarkan si pelaku hidup nyaman tanpa balasan, tak bisa membiarkan orang yang telah merenggut nyawa adiknya bebas tertawa di luar sana.

Terlebih lagi, ada bukti kuat, surat yang ditemukan bukan tulisan tangan Sandrawi. Itu saja sudah cukup menjadi dasar bahwa kematian Sandrawi tak pernah wajar. Ia harus menemukan kebenaran, siapa pun pelakunya, dan membawa keadilan untuk adiknya.

Menggigit bibir bawahnya, Renaya memaksakan tubuhnya untuk bangkit. Meski tubuhnya kelelahan, pikirannya berantakan, ia tahu ini bukan akhir. Masih banyak yang harus ia ungkap. Ia harus kembali ke rumah, memikirkan langkah berikutnya dengan kepala dingin. Ia butuh ketenangan, butuh istirahat agar fokusnya tetap utuh.

Saat melangkah menjauh, Renaya tak berhenti mengumpat dalam hati kepada Dodi yang telah merusak penyelidikannya malam itu.

“Harusnya aku balik lagi, pantau terus apa yang Bagantara dan Saras lakukan,” gumamnya dengan gusar. Kakinya sempat terhenti, tubuhnya berbalik ke arah belakang.

Tidak terlalu jauh jika ia kembali menyusuri jalanan tadi. Namun ada satu hal yang membuatnya ragu, polisi. Entah Dodi atau mungkin petugas lainnya yang akan kembali mencium keberadaannya.

“Kesal banget! Padahal aku butuh bukti itu!” gerutunya, menggertakkan gigi.

Pada akhirnya, ia menggeleng pelan, memilih tetap melanjutkan langkah pulangnya. “Kalau aku berhasil dapetin buktinya, Bapak sama Mbak Kinasih pasti bakal terpojok, harusnya mereka malu… harusnya mereka minta maaf,” gumamnya dalam hati, ada bara kecil yang menyala dalam dada.

Ia ingin mereka bertekuk lutut, menyesali semua kebusukan yang mereka tutupi selama ini.

Tak berapa lama, Renaya berhasil menghentikan sebuah taksi yang lewat. Ia masuk, menyebutkan alamat rumah, dan bersandar di kursi dengan mata menerawang.

Sepanjang perjalanan, pikirannya tak berhenti berputar. Setiap potongan puzzle kasus Sandrawi terus berdentang dalam benaknya.

Sesampainya di rumah, Renaya langsung menuju kamarnya. Langkahnya terasa berat, tubuhnya hampir tak punya sisa tenaga. Ketika tangannya menyentuh gagang pintu, seberkas firasat aneh merambati tengkuknya.

Dan benar saja seseorang sudah berdiri di sisi pintunya,

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!