seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Dengan napas tersengal-sengal dan tubuh gemetar, Rynz terus menyeret dirinya maju. Tanah di belakangnya membentuk jejak merah pekat, darah yang mengalir tanpa henti dari bahu kirinya yang kini hanya menyisakan sisa daging robek dan tulang remuk. Pandangannya mulai kabur, langit di atasnya berputar seperti pusaran hitam, dan suara alam di sekelilingnya berubah menjadi dengungan samar yang menusuk telinga.
Namun jauh di depannya—melalui celah kabut—ia mulai melihat bayangan tembok. Kokoh. Tinggi. Dibuat dari batu kasar yang disusun rapat. Di tengahnya, dua daun gerbang besar dari kayu tua tertutup rapat, dijaga oleh dua sosok berpakaian ringan, membawa tombak dan mengenakan pelindung kulit tipis.
Gerbang desa.
"A… aku berhasil…" gumam Rynz, tak yakin apakah suaranya benar-benar keluar dari mulutnya.
Langkahnya sudah tidak bisa disebut langkah. Ia lebih menyeret kakinya, membiarkan tubuhnya meluncur sedikit demi sedikit seperti mayat hidup.
Salah satu penjaga melihatnya mendekat dari kejauhan.
Awalnya, mereka mengangkat tombaknya dengan siaga, mengira itu monster hutan. Tapi saat melihat darah, wajah, dan palu kecil yang tergenggam erat di tangan kanan Rynz…
"Oi! Cepat! Dia masih hidup!"
Penjaga lain segera berlari ke arah Rynz, dan begitu tubuh Rynz hanya tersisa beberapa meter dari pintu gerbang, ia jatuh telungkup.
Mulutnya hanya sempat membisikkan satu kata:
"...tolong..."
Lalu semuanya gelap.
Kesadarannya runtuh.
Palu kecil itu jatuh dari genggamannya, berputar setengah lingkaran sebelum menyentuh tanah… dan saat itu pula, berpendar samar, seolah bereaksi terhadap darah pemiliknya sendiri.
Sementara itu, di dalam desa—tempat yang tampaknya belum pernah menerima "pahlawan gagal"—para penjaga mulai panik.
"Panggil tabib! Cepat!"
"Tangannya… hilang! Astaga, apa yang menyerangnya di hutan?!"
"Dia bukan petarung… dia hanya blacksmith… kenapa bisa sampai sejauh ini sendirian?"
Rynz perlahan membuka matanya.
Cahaya temaram menyambutnya—bukan langit, bukan matahari, tapi atap dari jerami yang diikat rapi. Aroma ramuan pahit, tanah basah, dan kayu terbakar mengisi udara. Tubuhnya terasa berat, seolah ditimpa oleh batu besar, dan kepala berdenyut setiap kali ia mencoba menggerakkan lehernya.
Ia memutar pandangan, pelan. Dinding ruangan dari batu tanah liat, jendela kecil di sudut ruangan, dan meja kayu dengan panci tanah liat yang masih mengepul tipis. Di sebelahnya, seseorang duduk dengan punggung membelakanginya—seorang perempuan tua dengan rambut abu-abu yang dikuncir, tengah menggiling sesuatu dalam mangkuk batu.
Saat suara napasnya mulai terdengar lebih berat, perempuan itu menoleh. Tatapannya tajam, namun penuh kehati-hatian. Ia mendekat, lalu menekan bahu Rynz agar tetap berbaring.
"Jangan bergerak dulu. Kau kehilangan terlalu banyak darah."
Rynz ingin menjawab, tapi bibirnya kering dan lidahnya berat. Ia hanya mengangguk perlahan. Saat ia mencoba mengangkat tangan kirinya secara refleks…
Kosong.
Udara.
Tak ada lengan yang menyambutnya.
Matanya langsung melebar. Kesadarannya kembali seutuhnya.
Namun sebelum rasa panik meledak, suara tenang perempuan itu kembali menekannya.
"Kau masih hidup. Itu yang penting. Jangan memaksa mengingat luka yang sudah terjadi. Kau sempat kehilangan denyut nadi... tapi tubuhmu menolak mati. Itu cukup membuat kami memutuskan untuk menyelamatkanmu."
Ia kembali ke meja, menuangkan ramuan hangat ke dalam cawan tanah liat, lalu mengulurkannya pada Rynz dengan tangan keriputnya.
"Minum. Ini untuk kekuatanmu, bukan untuk lukamu."
Rynz menerimanya dengan tangan kanan, meski gemetar. Ia meneguk perlahan. Rasanya pahit seperti racun, tapi hangatnya menenangkan perut dan dada.
Perempuan itu duduk kembali di bangkunya, menatapnya dari jauh.
"Kau bukan berasal dari sini."
Pernyataan itu bukan pertanyaan. Kalimat datar, tanpa nada curiga, tapi juga tanpa simpati.
"Kami tahu itu dari pakaianmu, dari caramu berjalan sebelum jatuh. Dan… dari palu kecil yang masih kau genggam saat kau pingsan."
Rynz menunduk, menyadari benda itu kini terletak di sisi ranjang, bersandar tenang di atas kain putih.
Palu kecilnya.
Masih utuh. Tidak berubah. Tapi entah kenapa… bersih.
"Kami tidak tahu siapa kau. Tapi hutan tempatmu ditemukan… bukan tempat yang bisa dilewati siapa pun tanpa kemampuan bertahan."
Perempuan itu berdiri, mengambil satu bundel ramuan dari dinding, lalu melanjutkan pelan,
"Untuk sekarang, kau akan tetap di sini sampai tubuhmu pulih. Tapi jika kau membawa bahaya, atau disusul oleh makhluk dari luar sana… kami tak akan bisa melindungimu."
Rynz mengangguk perlahan, kali ini tidak membantah.
Ia hanya menatap langit-langit jerami di atasnya, dan dalam hati—untuk pertama kalinya sejak ia datang ke dunia ini—ia benar-benar mengerti:
Ini bukan mimpi. Bukan game. Ini adalah dunia tempat seseorang bisa mati… dan tak akan pernah kembali.
Beberapa hari telah berlalu sejak Rynz sadar dari lukanya. Tubuhnya masih lemah, tapi ia sudah bisa duduk dan berjalan pelan di dalam rumah kecil yang menampungnya. Lengan kirinya kini hanya tersisa hingga bahu, dibalut kain bersih yang diganti setiap pagi oleh sang tabib.
Ia tidak banyak bicara, lebih banyak mengamati dan mendengarkan.
Dari jendela sempit di dinding barat, ia bisa melihat ladang kecil yang ditumbuhi tanaman aneh mirip rumput tinggi berwarna ungu, serta beberapa rumah tanah lainnya yang dibentuk melingkar seperti sarang. Di kejauhan, suara anak-anak kecil bercanda kadang terdengar, diselingi dengungan hewan liar dari hutan sebelah.
Suatu sore, tabib tua itu duduk di bangku pendek sambil mengupas akar berwarna kehitaman.
"Namaku Mayla," ucapnya tanpa menoleh.
"Aku tabib desa Meryath. Kau diselamatkan oleh dua penjaga saat hampir mati di depan gerbang. Sudah hampir sepekan sejak itu."
Rynz mengangguk pelan. "Meryath… jadi ini nama desanya?"
"Iya. Meryath terletak di perbatasan barat dari wilayah humania. Kami tidak besar, hanya desa tani dan pengumpul ramuan. Tapi cukup kuat untuk bertahan dari serangan makhluk liar."
Mayla berhenti sejenak, lalu melirik ke arah Rynz.
"Meski tidak untuk makhluk iblis."
Rynz menunduk. Wajahnya datar, tapi pikirannya dipenuhi kembali oleh bayangan Red Devil Wolf—taringnya, napas panasnya, dan rasa hancurnya tulang saat lengan kirinya dilumat habis.
"Makhluk itu… serigala bertanduk. Apa kalian tahu apa itu?"
Mayla terdiam sesaat, sebelum menjawab pelan.
"Kalau benar seperti deskripsimu... itu disebut Red Devil Wolf. Salah satu iblis kelas rendah dari daerah retakan neraka. Seharusnya tak mungkin muncul di perbatasan barat. Tapi belakangan… banyak tanda bahwa batas dunia ini mulai melemah."
Ia meletakkan akar yang telah dikupas, lalu bangkit. Diambilnya kendi dari pojok ruangan dan mengisi mangkuk air untuk Rynz.
"Dunia ini bernama Aetherion. Ada lima ras besar: manusia, elf, beastfolk, dwarf, dan demon."
Saat malam turun dan angin dingin mulai menyelinap melalui celah-celah atap jerami, Rynz duduk di pinggir ranjang, memandangi api kecil yang menyala di tungku dekat kaki ranjang. Tabib Mayla telah tertidur di sudut ruangan, tubuhnya diselimuti kain usang, namun napasnya tenang dan teratur.
Di sisi ranjang, palu kecil milik Rynz diletakkan begitu saja di atas potongan kain putih. Tak berkilau. Tak berubah. Hanya… ada di sana, seolah selalu menunggu.
Dalam hening itu, ia mengulang kembali di dalam benaknya seluruh informasi yang ia dapatkan sepanjang hari:
> Sembilan tingkat kultivasi.
Advance, Hunter, Master, Grand Master, King, Emperor, Sage, Saint, dan Immortal.
Itu kata Mayla terakhir sebelum tidur, saat ditanya lebih lanjut. Rupanya, penyebutan sembilan tingkat itu bervariasi tergantung wilayah dan budaya. Di daerah mereka, itulah istilah yang umum dipakai.
Namun bagi Rynz, yang berasal dari dunia yang sangat berbeda—dunia modern, dunia kampus, dunia game online dan sistem EXP—semuanya terasa asing.
"Advance? Master? Sage? Immortal? Kenapa gak langsung aja bikin sistem level 1 sampai 100?" pikirnya sambil mengernyit.
Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat palunya, memperhatikannya lagi.
"Kultivasi… jadi di dunia ini, orang-orang ningkatin kekuatan pakai semacam energi spiritual ya? Mirip sistem mana… atau EXP..."
Ia tidak tahu bagaimana caranya menaikkan kultivasi. Tidak tahu apakah ia memiliki "Qi" atau "inti roh" atau semacamnya. Tapi satu hal yang ia tahu:
Dirinya bukan bagian dari dunia ini.
Dan itu bisa jadi kelebihan… atau kutukan.
Ia tidak berbagi kebingungan itu dengan siapa pun. Bahkan kepada Mayla. Tidak sekarang.
Ia hanya menyimpan informasi itu dalam-dalam, menumpuknya di dalam pikirannya seperti catatan yang akan berguna nanti.
"Kalau semua orang di sini pakai sistem tingkat macam Grand Master dan King, dan gua satu-satunya yang ngerti sistem angka... bisa aja gua ngembangin sesuatu yang mereka gak punya."
Pikirannya mulai bergerak.
Meskipun tubuhnya setengah lumpuh dan tangannya tinggal satu, sesuatu dalam dirinya terasa masih menyala—keras kepala, seperti yang dibilang Mayla.
Dan itu bukan cuma soal bertahan hidup.