Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Setelah menulis surat itu, Aruna merasa seperti sebuah beban yang telah terlepas dari bahunya. Ia tahu, meskipun surat itu tidak pernah sampai ke tangan Revan, itu adalah langkah terakhir yang ia butuhkan untuk benar-benar melepaskan masa lalunya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lancar. Aruna terus melanjutkan hidupnya bersama Rio, namun ia merasa lebih tenang dan lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa meskipun ia belum sepenuhnya sembuh dari luka lama, ia sedang menuju ke arah yang benar.
Dan, meskipun di suatu sudut hati Aruna masih terbayang wajah Revan, ia juga tahu bahwa terkadang, cinta bukan tentang berpegang pada masa lalu, tetapi tentang berani melepaskan dan memberi kesempatan pada sesuatu yang baru. Sebuah masa depan yang penuh dengan kebahagiaan, harapan, dan kemungkinan yang tak terbatas.
Dengan langkah mantap, Aruna melangkah ke depan, siap menghadapi segala yang datang di depan. Ini adalah awal baru bagi hidupnya, awal yang penuh dengan kedamaian dan cinta yang sejati, cinta yang ia berikan pada dirinya sendiri.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aruna merasa semakin kuat dengan setiap langkah yang ia ambil. Kehidupan yang penuh dengan ketegangan dan kebingungannya kini berubah menjadi sesuatu yang lebih stabil, lebih damai. Bersama Rio, Aruna merasa lebih dihargai, lebih dipahami, dan lebih utuh. Namun, meskipun ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat, hatinya masih merasakan kerinduan, kerinduan terhadap hal-hal yang tak dapat kembali, dan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Pagi itu, Aruna berjalan keluar dari apartemennya dengan langkah ringan. Udara pagi terasa sejuk, memberi semangat baru pada tubuhnya. Ia mengatur napasnya, menikmati momen kesendirian yang selalu memberinya ketenangan sebelum memulai hari yang sibuk.
Setelah beberapa hari yang penuh dengan pekerjaan dan aktivitas, Aruna merasa perlu untuk meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk mengunjungi taman kota yang biasa ia kunjungi saat masih merasa terpuruk. Tempat itu selalu memberikan rasa damai, di mana ia bisa merenung tanpa ada gangguan.
Sesampainya di taman, Aruna duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau kecil. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa aroma bunga dan rumput segar. Di sinilah ia merasa hidupnya kembali seimbang, di sinilah ia merasa bisa bernapas lagi setelah sekian lama terperangkap dalam kebingungan.
Namun, saat ia merenung dalam kesendirian, sebuah perasaan datang begitu saja—perasaan yang sudah ia kenal, tetapi enggan untuk diakui. Ia teringat akan Revan. Bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama? Meskipun ia sudah berusaha untuk melepaskan, perasaan itu tidak bisa sepenuhnya hilang begitu saja.
Aruna menarik napas dalam-dalam. “Aku harus merelakan semua ini,” bisiknya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan hatinya. Tetapi, meskipun ia berbicara demikian, ada sesuatu yang terus menggema dalam pikirannya, pertanyaan yang belum terjawab: apakah ia telah membuat keputusan yang benar dengan memilih Rio, atau apakah ia benar-benar telah siap untuk melepaskan Revan selamanya?
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki mendekat. Aruna menoleh dan melihat Rio berjalan mendekat, dengan senyum khas yang selalu membuat hatinya tenang. Ia mengenakan jaket hitam dan celana panjang kasual, tampak sederhana tetapi tetap menarik. Rio duduk di samping Aruna tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum dengan cara yang tahu bagaimana membuat Aruna merasa nyaman.
“Sedang merenung?” tanya Rio pelan, suaranya lembut.
Aruna mengangguk, tersenyum kecil. “Ya, aku hanya... berpikir tentang banyak hal. Tentang keputusan-keputusan yang sudah kuambil, tentang masa depan.”
Rio menatapnya dengan penuh pengertian, kemudian mengambil tangan Aruna dan menggenggamnya dengan lembut. “Kamu tidak perlu khawatir tentang masa depan, Aruna. Aku di sini untukmu. Semua yang kita lalui bersama, semua keputusan yang kamu buat—itu adalah jalan yang kita pilih bersama. Aku percaya padamu, dan aku percaya kita akan baik-baik saja.”
Kata-kata Rio sangat menenangkan. Aruna merasa seolah-olah semua ketakutan dan kecemasannya terhapus begitu saja. Ia tahu, di Rio, ia menemukan ketenangan yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Meskipun hatinya masih terkadang merindukan kenangan lama, ia tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian lagi.
Namun, masih ada satu hal yang belum selesai dalam pikirannya. Aruna menarik napas dalam-dalam. “Rio, aku harus jujur padamu. Aku masih merasa terikat dengan masa lalu, dengan Revan.”
Rio tidak terlihat terkejut. Ia menatap Aruna dengan mata yang penuh pengertian. “Aku tahu, Aruna. Aku tidak pernah berharap kamu bisa melupakan semuanya dalam semalam. Itu adalah bagian dari perjalananmu. Tapi aku ingin kamu tahu, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan dariku. Aku di sini, dan aku akan mendukungmu.”
Aruna merasakan beban di dadanya sedikit menghilang. Ia tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu dalam senyum itu yang lebih tulus daripada sebelumnya. “Terima kasih, Rio. Aku merasa beruntung bisa ada di sini, bisa bersama kamu.”
Rio membalas senyum Aruna, lalu mendekat dan menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku juga merasa beruntung, Aruna. Kamu adalah orang yang kuat. Aku yakin, apapun yang terjadi, kita akan melalui ini bersama-sama.”
Mereka duduk bersama di taman, hanya menikmati kebersamaan tanpa perlu banyak kata. Meskipun Aruna tahu bahwa ia tidak bisa melupakan semua kenangan dengan Revan begitu saja, ia merasa lebih siap untuk menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan. Revan adalah bagian dari masa lalu, dan meskipun ia akan selalu mengenangnya, itu tidak berarti ia harus terus terjebak di dalamnya.
Beberapa hari setelah pertemuan di taman, Aruna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri. Ia menulis surat terakhir kepada Revan, yang kali ini tidak hanya untuk memberinya penutupan, tetapi juga untuk memberikan penghormatan atas segala kenangan indah yang pernah mereka bagi bersama. Dalam surat itu, ia menulis tentang rasa terima kasihnya atas cinta yang pernah diberikan Revan, tetapi juga menyatakan bahwa ia harus melepaskan. Ia menulis tentang bagaimana ia harus melanjutkan hidup, dan bahwa Revan juga harus melanjutkan hidupnya, menemukan kebahagiaan yang baru.
Setelah menulis surat itu, Aruna merasa seolah-olah ia akhirnya bisa melepaskan Revan dengan sepenuh hati. Ia tidak mengirimkan surat itu, surat itu hanya untuk dirinya sendiri. Surat itu adalah simbol dari kebebasan yang ia cari, kebebasan dari rasa sakit yang ia rasakan bertahun-tahun.
Di malam hari, saat duduk di samping Rio, Aruna merasa seolah-olah dunia terbuka lebar di depannya. Semua keputusan yang ia buat, semua jalan yang ia pilih, adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa membentuk masa depannya sendiri. Dengan Rio di sisinya, ia merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi apapun yang datang.