Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sekar tahu posisinya di sini—yang tiba-tiba menjadi kepala apoteker—akan membuatnya banyak memiliki musuh, apalagi dengan begitu defensif dan dingin dirinya. Namun Sekar tak peduli. Ia hanya melakukan hal yang ia cintai dan menyibukkan diri untuk melupakan semua traumanya. Beberapa staf menghindarinya dan beberapa menjilat padanya.
Malam itu, Sekar duduk di ruangannya yang dingin dan nyaris tanpa dekorasi pribadi. Hanya ada meja besar berlapis kaca, rak dokumen berisi berkas-berkas pengadaan, serta papan tulis kecil yang penuh dengan catatan teknis dan diagram alur distribusi obat. Tak ada foto keluarga. Tak ada tanaman meja. Hanya tumpukan laporan dan layar komputer yang terus menyala.
Ia bisa membedakan siapa yang tulus dan siapa yang tidak. Yang tersenyum hanya jika butuh tanda tangan, dan yang pura-pura peduli demi bisa memindahkan jadwal shift. Tapi Sekar tidak ambil hati. Ia tidak datang untuk mencari teman. Ia datang untuk bekerja.
Pandangannya tertuju pada spreadsheet distribusi obat yang belum sesuai estimasi. Klinik anak mengalami lonjakan pasien ISPA, tapi stok sirup parasetamol justru menipis. Sekar mengernyit, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung penanya.
"Bu Sekar... ini, laporan dari distributor kemarin," ujar Dina, staf farmasi junior, muncul di ambang pintu dengan tubuh sedikit membungkuk. Wajahnya ragu.
Sekar tetap menatap layarnya. “Taruh saja di meja. Saya periksa nanti.”
Dina menurut, lalu segera keluar dengan langkah cepat.
Begitu ruangan kembali sepi, Sekar mendesah pelan. Ia sadar nada bicaranya kadang terdengar keras. Tapi ia sudah terlalu lama berusaha bertahan di dunia yang menuntutnya kuat, untuk sekarang bisa berpura-pura lembut.
Ia mencoba menikmati hidupnya di sini, hidup barunya di tanah kelahirannya. Semua biasa saja dan berjalan normal bagi Sekar, sampai seorang dokter anak mendatanginya saat ia masih bekerja menggantikan timnya jam sembilan malam.
Ruang farmasi sudah sepi. Suara pendingin udara mengisi keheningan. Lampu-lampu sebagian sudah dipadamkan, menyisakan satu cahaya kuning pucat di meja kerja Sekar. Di sekelilingnya, tumpukan berkas permintaan obat, laporan distribusi harian, dan catatan mutasi stok masih berserakan.
Ia menghela napas pelan, menegakkan punggung yang mulai pegal. Biasanya, jam segini ia sudah pulang atau setidaknya mengunci ruangannya. Tapi malam ini, ia memilih menggantikan salah satu timnya yang izin mendadak. Mungkin agar tak terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Mungkin karena bekerja membuatnya lupa rasa sepi.
Tangannya kembali sibuk mengisi formulir elektronik. Matanya lelah, tapi fokusnya tak bergeser sedikit pun. Ia selalu bekerja seperti itu—teratur, presisi, tanpa celah. Bukan karena ingin dilihat sempurna, tapi karena ia tahu... satu-satunya hal yang masih bisa ia kontrol adalah pekerjaannya.
Dan ia tidak tahu, malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Tepat saat semua tampak biasa saja, langkah kaki seseorang mulai mendekat ke ruangannya.
Sekar yang sedang menyelesaikan pekerjaan itu di kejutkan dengan suara langkah kaki tergesa berhenti di depan ruang ini. Ketukan terdengar cepat dan berat, menandakan situasi darurat.
Sekar membuka pintu. Seorang dokter umum berjaga—ia mengenalnya hanya sebatas wajah—berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit terburu.
“Bu Sekar, kami butuh ceftriaxone injeksi sekarang. Dr. Hanif yang minta, pasien anak usia dua tahun, demam tinggi, dugaan sepsis.”
Sekar refleks menggeleng. “Ceftriaxone untuk anak di bawah lima tahun? Itu bukan pilihan pertama. Ada risiko, terutama bila belum ada pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.”
“Saya tahu. Tapi ini kondisi emergency. Dr. Hanif bilang bisa digunakan dengan penyesuaian dosis. Pasien sudah lemas, saturasi drop.”
Sekar tetap tidak bergeming. Ia mengambil berkas permintaan dan memeriksanya cepat. “Saya ganti dengan cefotaxime, masih dalam protokol dan lebih aman untuk anak usia segitu.”
“Bu Sekar... kami butuh cepat,” ujar sang dokter, suara mulai terdesak.
“Justru karena itu saya tidak mau ambil risiko dengan obat yang kontra indikatif,” jawab Sekar tenang. Ia menuliskan perubahan pada formulir, menandatanganinya, lalu menunjuk ke tumpukan rak pendingin. “Itu. Laci nomor tiga. Silakan ambil. Dr. Arga sudah menyetujui perubahan ini.”
Dokter itu sempat terdiam sejenak, menatap Sekar dengan bingung sekaligus kagum. Ia mengangguk singkat, lalu segera pergi membawa obat.
Begitu ruangan kembali sepi, Sekar bersandar sejenak di tepi meja. Ia tahu keputusan ini bisa membuatnya berhadapan langsung dengan Dr. Hanif besok pagi—dokter anak yang dikenal cerdas, tegas, tapi juga keras kepala.
Namun Sekar tidak peduli. Ia memilih sesuai pengetahuan dan prinsipnya. Malam itu mungkin tampak biasa bagi yang lain. Tapi bagi Sekar, itulah pertama kalinya nama Hanif terukir di pikirannya.
****
Setelah memastikan pasien kecil itu membaik, Hanif berjalan menuju ruang farmasi. Rumor tentang kepala apoteker baru yang dingin dan tak bisa diajak kerja sama sudah santer terdengar di antara para dokter jaga. Beberapa bilang Sekar terlalu kaku. Ada yang bilang dia belagu. Dan Hanif, yang merasa keputusannya malam tadi dilewati begitu saja, tidak berniat membiarkannya berlalu.
Langkahnya cepat dan mantap. Farmasi sudah sepi, hanya ada cahaya kuning remang yang menyinari ruang tengah. Hanif langsung mengenali sosok perempuan di balik meja kaca besar itu. Rambut Sekar terikat rapi, wajahnya tertunduk di depan layar komputer, jari-jarinya masih mengetik cepat meski jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan.
"Bu Sekar," panggil Hanif datar, namun cukup keras untuk membuat Sekar menoleh.
Ia mengangkat wajah, menatap Hanif tanpa ekspresi. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Dokter?"
Hanif tidak langsung menjawab. Matanya menelusuri wajah Sekar, mencoba menahan emosi yang tadi sempat membuncah. Tapi ada jeda singkat saat pandangannya terpaku—sekilas—pada sorot mata perempuan itu. Ada dingin, tapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
"Apa kamu selalu begitu? Mengganti keputusan tanpa konfirmasi langsung ke dokter penanggung jawab?" Hanif bertanya, suaranya pelan tapi tegas.
Sekar mendesis pelan, menyandarkan tubuh di kursi dengan wajah yang mulai memerah. “Aku sudah sering menangani kasus seperti ini. Jangan sok tahu, Dokter Hanif,” ucapnya tajam, menunjukkan layar laptop yang dipenuhi dokumen-dokumen berlabel Basic Pharmaceutical Guidelines – USA.
“Tuh, lihat sendiri. Di sini jelas-jelas ditulis, kandungan chloramphenicol itu tidak boleh dikonsumsi anak-anak di bawah usia dua belas tahun. Efek sampingnya bisa fatal!” suaranya meninggi.
Hanif justru terkekeh. Ia menarik ponselnya, membuka salah satu aplikasi panduan obat lokal, lalu menunjukkannya pada Sekar. “Ini versi BPOM Indonesia. Obat itu masuk daftar aman, asal dosisnya benar.”
“Masalahnya kamu itu masih pakai standar luar negeri, Sekar!” Hanif mulai kehilangan kesabaran. “Kepalamu masih di Amerika, padahal kamu sudah di Indonesia sekarang! Kita harus pakai standar lokal!”
“Aku disuruh balik ke sana karena justru ilmunya lebih maju!” Sekar bangkit dari kursinya, menatap Hanif dengan tatapan tajam. “Tapi aku memilih tetap di sini karena aku pikir aku bisa bantu orang-orang dengan pengalaman yang aku punya. Tapi kalau kamu masih menganggap semua yang lokal itu benar tanpa bisa dikritisi, ya silakan!”
Suasana di ruangan itu mendadak tegang. Hening. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan embusan napas kesal keduanya.
Sekar menahan napas, tidak menyangka akan langsung dikonfrontasi seperti itu. Ia mengira Hanif akan mengirimkan keluhan lewat atasan atau minimal lewat email. Tapi tidak—dokter itu berdiri langsung di hadapannya, dengan rahang mengeras dan suara yang dingin.
Ia agak kaget. Bukan hanya karena cara Hanif bicara, tapi juga karena… pria itu tampan. Sialnya, sangat. Dan lebih menyebalkan lagi—dalam hatinya, Sekar harus mengakui bahwa ia salah. Fakta itu membuatnya jengah. Ia tidak pernah salah dalam keputusan klinis. Akademiknya sempurna, dan itulah yang membawanya cepat naik dalam struktur rumah sakit. Sekar hidup untuk pekerjaannya. Karena hanya itulah yang bisa ia kendalikan.
Tapi malam ini, keyakinannya goyah.
“Protokol farmasi menyebutkan—” Sekar mencoba bertahan, menyembunyikan keraguan yang mulai tumbuh.
“Protokol bisa fleksibel dalam keadaan darurat,” potong Hanif cepat. “Kita bicara soal anak dua tahun dengan sepsis. Kamu bukan di kampus, Sekar. Jangan sok pintar. Nggak semua yang kamu pelajari di bangku kuliah kamu itu bisa kamu praktekkan di sini. Apalagi dalam kondisi darurat!”
Ucapan itu menghantam lebih keras dari yang Hanif kira. Sekar terpaku sesaat. Ia mendongak menatapnya, matanya mulai kehilangan ketenangan dingin yang biasa.
Hanif memperhatikan perubahan ekspresi itu, tapi belum tahu apa artinya.
“Aku memang enggak lagi di kampus,” gumam Sekar akhirnya. “Tapi asal kamu tau ... aku juga bukan di tempat yang membuatku merasa aman.”
Ucapan itu nyaris tidak terdengar, namun cukup membuat Hanif mengernyit.
Sekar segera mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan berkas di mejanya. Tapi pikirannya berputar cepat. Ia tidak suka konfrontasi—bukan karena takut, tapi karena itu mengingatkannya pada kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Kepulangannya ke Indonesia bukanlah pilihan, tapi pelarian.
Dan setiap malam, saat ia pulang ke apartemen kecilnya yang sunyi, hidup terasa seperti siksaan.
****