Kenzo awalnya adalah siswa SMA biasa, namun karena pacarnya dibunuh, ia bangkit melakukan perlawanan, menggunakan belati tajam dan menjadi pembunuh berantai.
‘Srett…srett… srett… srett’
Remaja itu memenggal kepala setiap orang, dan Kepala-kepala itu disusun di ruang pribadi hingga membentuk kata mengerikan "balas dendam".
BALAS!
DENDAM!
Ruangan itu seolah seperti neraka yang mengerikan!
Kenzo dijebloskan ke penjara sejak saat itu! Di penjara, Kenzo, yang telah berlatih seni bela diri sejak kecil, bertarung melawan para pengganggu penjara dengan seluruh kekuatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Bentrokan Antar Kelompok
Beberapa bulan telah berlalu.
Di antara empat gedung yang berdiri di sisi timur, barat, selatan, dan utara penjara isolasi bagi narapidana hukuman mati, terbentang sebuah lapangan sepak bola raksasa. Lapangan ini mampu menampung lebih dari 10.000 orang — bukan untuk menyaksikan pertandingan olahraga, melainkan pertunjukan paling brutal yang bisa dibayangkan: pertarungan hidup dan mati antar blok gedung.
Lapangan ini tidak pernah dibangun untuk hiburan. Fungsinya adalah sebagai arena pembantaian, tempat para terpidana mati saling menghabisi demi bertahan hidup atau sekadar memuaskan amarah. Sejak sistem ini diterapkan, entah sudah berapa banyak nyawa yang tercabut di atas tanah berlumpur itu. Tak ada yang benar-benar tahu. Tapi satu hal pasti—setiap menjelang hujan, bau amis darah selalu menyeruak dari tanah, menyelimuti lapangan dengan aura kelam dan mencekam.
Para penghuni penjara menyebut tempat ini dengan sebutan yang penuh ironi: "Penjara Api Penyucian."
Dan hari ini, setelah sekian banyak pertumpahan darah, akhirnya terjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hampir 10.000 narapidana berkumpul di tribun untuk menyaksikan pertarungan kelompok terbesar dalam sejarah penjara—100 orang, dua kubu, satu lapangan. Yang paling dinanti bukan hanya jumlah pesertanya, tapi kehadiran dua sosok mengerikan yang telah menjadi legenda hidup dalam waktu singkat: Darah Elang dan Harimau Gila.
Keduanya sudah seperti makhluk buas yang dilepaskan dari neraka. Dalam dua bulan terakhir, reputasi mereka tersebar cepat ke seluruh kompleks hukuman mati. Khususnya Harimau Gila, yang terkenal sebagai pemangsa hati manusia hidup—sebuah rumor yang entah benar atau tidak, tapi cukup membuat siapa pun gemetar ketakutan.
Meski tiga gedung lainnya juga melahirkan sosok-sosok kejam, tak ada yang menyamai dominasi Darah Elang dan Harimau Gila. Pertarungan hari ini bukan sekadar adu kekuatan, tapi pertempuran simbolis antara dua raja pembantai.
Sebagai antisipasi, seluruh sistem pengamanan penjara diaktifkan. Semua penjaga dikerahkan dengan perlengkapan penuh, lengkap dengan senapan mesin. Lebih dari seribu penjaga mengamankan perimeter lapangan.
Tepat pukul delapan pagi, gerbang timur dan barat terbuka perlahan. Dua tim narapidana muncul, masing-masing mengenakan seragam merah dan biru. Mereka melangkah ke tengah lapangan diiringi sorakan liar yang menggema ke segala arah.
Tak peduli mereka berasal dari blok mana, semua mata tertuju pada dua nama: Sang Elang Berdarah. Si Harimau Gila.
Begitu kedua tim berhenti dan berdiri berhadapan dengan jarak sepuluh meter, wajah-wajah penuh percaya diri mulai tampak. Kenzo, Max, dan para pengikut mereka tersenyum—tanda kesiapan dan dominasi. Satu-satunya ancaman yang mereka anggap sepadan, Axel dan Daren, hanya duduk sebagai penonton hari ini.
Tak seorang pun dari mereka memedulikan fakta bahwa pangeran Kael dan kroninya telah menggaet Damian dan Lucas ke dalam aliansi mereka. Hari ini bukan tentang aliansi. Ini tentang bertahan hidup.
Begitu para penjaga meninggalkan arena, suasana perlahan menjadi sunyi. Ini bukan pertarungan yang menjunjung sportifitas. Ini bukan kompetisi. Ini adalah medan perang.
Tidak ada aturan. Tidak ada batasan. Hanya ada satu tujuan: bertahan hidup.
Dalam keheningan yang tegang, tatapan demi tatapan saling bertemu. Otot-otot menegang, napas tertahan. Semua orang menanti aba-aba terakhir.
Pilih mangsamu. Tatap dia. Dan bersiaplah berlari—menuju neraka.
Setelah saling menatap selama dua menit penuh ketegangan, Max dan Zevan perlahan mengangkat tangan kanan mereka secara bersamaan.
“Bertarung!” Seruan keras mereka menggema, diiringi ayunan tangan yang tegas dan menggelegar, mengguncang seluruh tempat. Dalam sekejap, dua kelompok narapidana hukuman mati langsung meraung dan melesat maju seperti gelombang ganas yang tak terbendung.
Para narapidana elit ini, yang sudah terbiasa membunuh tanpa ragu, tak punya pilihan lain. Tidak ada waktu untuk takut atau melarikan diri—ini adalah pertarungan hidup dan mati, tanpa ruang untuk keraguan.
Satu-satunya pilihan mereka adalah bertarung habis-habisan demi bertahan hidup. Mereka harus keluar dari medan berdarah ini dengan nyawa utuh, atau mati di tangan musuh yang sama gilanya.
Aura mematikan langsung menyelimuti kedua tim. Amarah, kegilaan, dan keinginan bertahan hidup mereka memunculkan tekanan yang begitu kuat, sampai-sampai hampir membuat puluhan ribu narapidana lainnya gentar hanya dengan melihat mereka berlari ke depan.
Tiba-tiba—
Harimau Gila, si paling brutal, menerjang di garis depan seperti binatang buas yang kehilangan kendali. Matanya merah menyala, wajahnya dipenuhi amarah. Saat berlari, tubuhnya mendadak merendah, lalu dalam sekejap menghilang dari pandangan dan muncul di sisi kanan tim lawan.
Dengan kekuatan luar biasa, telapak tangannya menghantam leher seorang pria.
Crack...
Kepala pria itu tertekuk secara tidak wajar ke belakang. Ia tewas seketika. Tanpa memberi waktu untuk bernapas, Harimau Gila langsung mencengkeram leher korban dan mengayunkannya seperti tongkat pemukul raksasa, menghantamkan tubuh itu ke kerumunan musuh di belakangnya.
Serangan brutal itu langsung mengacaukan formasi tim lawan. Suara benturan dan jeritan bergema dari sisi kanan mereka, menambah kepanikan yang mendadak.
Tanpa memperlambat gerakan, Harimau Gila mencambuk mayat itu sekali lagi, lalu mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya dengan keras ke arah depan kiri.
Pukulan ini adalah puncak dari seluruh kekuatannya. Dengan kecepatan larinya yang dahsyat dan sorot mata penuh kegilaan, ia seolah menjelma menjadi dewa kematian yang baru turun ke dunia. Tinju itu melesat seperti meteor, disertai suara angin yang memecah udara.
Penonton yang menyaksikan dari tribun merasa bulu kuduk mereka berdiri. Tak bisa membayangkan apa jadinya jika pukulan itu mengenai kepala mereka—seperti semangka yang dihancurkan.
Namun sebelum tinju itu mencapai sasarannya, dua pria dari tim lawan, yang kekuatannya tak kalah brutal, langsung menghadang dari kiri dan kanan, menyerang Harimau Gila dengan kekuatan besar.
Bugh!
Zevan, yang juga sedang menyerbu, tiba-tiba terlempar mundur setelah mengeluarkan serangan bertahan. Tubuhnya bergetar hebat.
Sementara itu, Harimau Gila justru menggunakan momentum pukulannya untuk melayang ke udara. Saat masih berada di atas, ia mengayunkan kakinya ke arah Lucas yang juga melancarkan pukulan. Dalam satu gerakan cepat, serangan balasan itu menghempaskan lawannya.
Tendangan Harimau Gila menghantam keras punggung tangan Lucas. Getaran hebat langsung menjalar di lengan lawan, memaksanya menarik kembali tangannya.
Harimau Gila pun mendarat sambil berguling dan tertawa lepas. “Dua bocah tolol, kalian pikir bisa menang lawan Kakek Harimau dua lawan satu? Hah! Aku tak pernah takut dengan pertarungan. Sini, lawan aku!”
Dengan semangat membara, ia menghentakkan kaki kanannya dan melesat ke arah dua pria itu. Otot pahanya yang seperti pilar baja bergerak cepat, menghantam dengan kekuatan penuh. Serangannya seperti badai besar—tanpa ampun dan tanpa keraguan!
Zevan dan Lucas, yang sebelumnya bertarung imbang, saling bertatapan singkat. Tanpa perlu kata-kata, keduanya mengangkat tinju dan menerjang ke arah Max dari kiri dan kanan. Tanpa rasa takut sedikitpun, tiga raksasa medan pertempuran itu langsung terlibat dalam duel brutal dalam hitungan detik.
Tinju, tendangan, dan gerakan liar mereka melesat bagaikan badai. Pertarungan mereka begitu dahsyat sehingga secara alami menciptakan area kosong hampir sepuluh meter di sekeliling mereka—tak seorang pun berani mendekat.
Sementara para petarung bertarung habis-habisan, ada dua sosok yang sama sekali tidak bergerak sejak awal—dua pemimpin sejati dari kedua kubu: Darah Elang dan Damian.
Kenzo menyipitkan mata, diam-diam menatap Damian yang berdiri sekitar sepuluh meter di hadapannya. Ekspresi wajah Damian tetap sama, datar dan dingin, seolah tak pernah berubah selama ribuan tahun. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan. Pembunuh berdarah dingin yang dulu ditakuti… kini tampak seperti patung batu yang penuh misteri.
Setelah dua menit saling menatap dalam diam, Kenzo akhirnya tersenyum tipis. “Damian, apa kau berniat berdiri di situ selamanya?”
Mata tajam Damian menatap lurus pada Kenzo. “Tujuanku adalah menjeratmu. Aku tahu siapa diriku—Damian. Aku bukan tandinganmu. Jadi dalam pertempuran ini, aku akan sebisa mungkin menghindari bentrok langsung denganmu.”
“Haha… sikapmu boleh juga. Tapi sayangnya, aku tidak punya waktu untuk permainan itu.”
Begitu kata-katanya selesai, tubuh Kenzo tiba-tiba bergetar, lalu membentuk gerakan melengkung yang aneh. Dalam sekejap, dia “meluncur” ke kanan seperti bayangan yang melesat cepat!
Para penonton hanya sempat melihat siluet samar sebelum sosok Kenzo muncul sepuluh meter jauhnya. Gerakannya menyisakan jejak buram di udara—begitu cepat dan mencolok hingga membuat banyak orang di tiga area gedung lain langsung mengerutkan dahi. Mereka jelas terkejut dengan kecepatan yang nyaris mustahil itu.
Namun, di gedung Timur, Daren menatap ke arah Kenzo dengan ekspresi campur aduk—mata yang menyiratkan keraguan sekaligus perhitungan.
Wajah Damian menggelap. Sudah bersiap sejak awal, ia langsung bergerak begitu sosok Kenzo menghilang dari tempatnya. Dengan kecepatan yang tak kalah menakutkan, Damian membentuk lintasan gerak serupa dan langsung mencegat lawannya sebelum ia berhasil mendekati kerumunan petarung.
Dengan gerakan luwes dan mematikan, Damian menancapkan kaki kirinya sebagai poros, lalu mengayunkan kaki kanannya dengan kekuatan penuh. Tendangannya menyapu udara, mengarah lurus ke wajah Kenzo, disertai hembusan angin tajam. Baik sudut, waktu, maupun kekuatannya—semuanya sempurna. Bahkan Kenzo yang diserang tak bisa menahan rasa kagumnya dalam hati.
Seketika tubuh Kenzo yang tengah melaju berhenti. Ia buru-buru mengangkat kedua tangan, menyilangkannya di depan dada untuk menahan serangan itu.
Bugh!
Kenzo tersentak dan terlempar mundur oleh tendangan brutal tersebut, menghantam tanah lalu terguling ke arah kerumunan petarung tak jauh dari sana.
Penonton di tribun tertegun. Tak ada yang menyangka—sosok Kenzo yang selama ini dianggap sangat kuat, bahkan digambarkan lebih gila dan berbahaya dari binatang buas—justru terpental oleh satu tendangan Damian!
Namun, Damian tidak punya waktu untuk memikirkan reaksi mereka. Ia tahu betul—begitu Kenzo masuk ke tengah kerumunan, situasinya akan berubah total. Ibarat harimau masuk ke kawanan domba, dia akan membantai semua yang ada di hadapannya tanpa ampun. Jika dia bergabung dengan Harimau Gila, maka keseimbangan rapuh antara Zevan dan Lucas akan langsung hancur.
Tanpa membuang waktu, Damian menghentakkan kakinya ke tanah dan melesat ke arah Kenzo yang masih terbaring, tubuhnya bergerak secepat kilat. Sebelum Kenzo sempat berdiri, Damian sudah berada di udara, lalu menendang ke bawah dengan kekuatan penuh. Jari-jari kakinya bagaikan ujung pedang, disertai hembusan angin yang tajam, menukik lurus ke arah dada lawannya!
Namun, tepat saat tendangan itu hampir mendarat, Kenzo yang masih berada di tanah justru menyunggingkan senyum sinis. Bibirnya membentuk gerakan aneh—seolah menyiratkan jebakan yang telah lama dipersiapkan.
Tiba-tiba, jantung Damian berdebar kencang. Insting tajam seorang pembunuh yang telah bertarung dan membunuh selama bertahun-tahun langsung menyala. Ia bisa mencium bau bahaya, dan itu bukan firasat biasa.
Ketika ia masih ragu untuk meneruskan serangan, sebuah bayangan melesat dari sisi kanan—dan boom! sebuah pukulan berat mendarat tepat di dadanya.
Serangan mendadak itu memaksa Damian mengubah arah tendangannya, menghantam tanah dengan keras. Ia segera memutar tubuhnya untuk menyeimbangkan posisi, lalu mengayunkan tangan kanannya dalam gerakan melingkar untuk menangkis pukulan lanjutan.
Benturan keras terdengar!
Kepalan tangan dan telapak tangan saling beradu, menghasilkan suara dentuman yang menggema. Mata Damian membelalak tajam, siap untuk melawan balik musuh licik yang muncul secara tiba-tiba.
Namun, saat ia hendak menghantam balik, tangan musuhnya—Kayden—tiba-tiba terbuka lebar dan mencengkeram telapak tangan kanan Damian dengan kekuatan luar biasa.
Retakan!
Suara tulang patah menggema di udara. Dalam sekejap, tangan kanan Damian terpelintir dengan sudut tak wajar, berubah bentuk secara mengerikan. Bahkan sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, Kayden kembali bergerak.
Dengan cengkraman kuat di tangan yang patah itu, Kayden menarik tangan Damian ke samping, lalu melayangkan tendangan kilat ke arah kakinya. Di saat bersamaan, tangan kirinya menghantam bahu kanan Damian seperti cakar elang. Krak! Lima jarinya menembus masuk, menghancurkan tulang belikat seketika!
Belum sempat Damian mengeluarkan teriakan, tekanan besar kembali datang. Tangan kanan dan bahunya ditekan keras, sementara kaki kanan Kayden menekuk dan menghantam dari bawah ke atas dengan kekuatan mematikan.
Gerakan itu cepat dan brutal, berlangsung hanya dalam hitungan detik. Di mata penonton, semuanya terjadi terlalu cepat—yang terlihat hanyalah bayangan yang berkelebat.
Patah!
“Ahhhhh!”
Teriakan melengking mengguncang seluruh arena, diikuti semburan darah segar yang menyembur ke udara. Sebuah pemandangan yang mengejutkan semua orang—sepotong lengan bawah terangkat tinggi, masih berada dalam genggaman Kayden yang dingin dan tak berperasaan.
Arena mendadak sunyi. Semua orang terpaku. Tak ada yang bergerak. Seolah seluruh otak mereka berhenti bekerja, tak sanggup memahami kenyataan yang baru saja terjadi.