"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Pintu ruangan Sadewa terbuka perlahan, dan Lina melangkah masuk dengan sepatu hak tingginya yang berderap halus di lantai. Di tangannya ada beberapa berkas yang sudah disusun rapi.
"Pak Dewa, ini dokumen yang Anda minta," ucapnya sambil berjalan mendekat, lalu menyerahkan berkas-berkas itu langsung ke tangan Sadewa.
Namun, setelah memberikan dokumen, Lina tidak langsung berbalik atau pamit seperti biasanya. Dia berdiri di tempatnya, tampak ragu-ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Sadewa yang sedang mulai membaca lembaran di tangannya mengangkat kepalanya sekilas.
"Lina, kamu pergi sama Hendri ke acara pembukaan supermarket sore ini. Bawa beberapa sampel produk yang sudah disiapkan oleh tim marketing."
Lina segera menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak."
Namun, rasa penasaran yang mengganjal di hatinya terlalu kuat untuk ditahan. "Kalau boleh tahu, apa Syifa itu saudara Pak Dewa?"
Sadewa menghentikan gerakan tangannya yang membolak-balik dokumen. "Bukan," jawabnya pendek, suaranya berat dan tidak memberi ruang untuk diskusi. Dia kembali menunduk menatap berkas, seolah keberadaan Lina sudah tidak lagi penting. "Jangan bertanya apa pun di luar pekerjaan. Kamu keluar sekarang."
Lina buru-buru menundukkan kepala dan melangkah mundur. "Baik, Pak," ucapnya pelan sebelum keluar dari ruangan, menutup pintu dengan perlahan agar tidak mengganggu lagi.
Begitu berada di luar ruangan, Lina menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa penasaran yang makin membesar.
Selama ini, aku tidak pernah sekalipun melihat Pak Dewa dekat dengan wanita mana pun, tapi tatapannya pada wanita itu sangat berbeda, pikirnya kesal.
Apa mungkin... Pak Dewa suka dengan wanita seperti Syifa? batin Lina, matanya menyipit penuh rasa tidak rela.
...***...
Siang itu, di kantin perusahaan tampak lebih ramai dari biasanya. Para karyawan sibuk berbincang dan menikmati waktu istirahat mereka dengan sesekali tertawa kecil. Di sudut ruangan, Syifa duduk bersama Indri. Mereka tengah menikmati makan siang mereka, saling berbicara ringan sembari menikmati hidangan yang disediakan.
Namun, suasana yang biasanya tenang berubah saat pintu kantin terbuka, dan langkah-langkah kaki terdengar menuju area makan. Semua mata spontan terarah ke arah Sadewa yang baru saja memasuki kantin.
Wajahnya tetap tenang dan dingin, namun ada aura yang berbeda kali ini. Tidak ada yang menyangka, hari itu, Sadewa memilih untuk makan di sana. Biasanya dia makan di ruangannya atau di restoran bersama dengan rekan bisnisnya.
"Pak Dewa, tumben Anda makan di sini." Koki yang bertanggung jawab di kantin segera menyiapkan makanan khusus untuk Sadewa. "Saya bawakan, Anda duduk dimana?"
Sadewa mengedarkan pandangannya mencari Syifa. Kedua matanya menangkap sosok Syifa yang duduk di meja bersama Indri.
Beberapa detik terhenti saat Sadewa melihatnya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Syifa merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Ada perasaan hangat yang merambat, ditambah dengan kegugupan yang sedikit membuatnya tertegun.
Indri yang sedang berbicara dengan Syifa juga tersadar. Dia melihat ke arah Sadewa yang kini berdiri mematung sejenak, lalu kembali memandang Syifa dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.
Sadewa melangkah maju, meninggalkan jejak keheningan di belakangnya, hingga akhirnya dia sampai di meja yang sama dengan Syifa.
"Pak Dewa?" Syifa bertanya pelan, sedikit terkejut dengan kedatangannya.
Sadewa tersenyum tipis, kemudian melirik Indri yang sedang duduk di samping Syifa. "Apa aku boleh duduk di sini?"
"Tentu saja, Pak Dewa. Silakan," jawab Indri sambil tersenyum canggung.
Sadewa melangkah mendekat dan duduk di sisi Syifa.
Koki itu meletakkan makanan Sadewa di depannya. Mempersilakan makan lalu kembali ke tempatnya.
Karyawan-karyawan lain yang masih terperangah mulai berbisik, berbicara rendah mengenai kedatangan pemilik perusahaan ke kantin—sesuatu yang tidak pernah terjadi.
Syifa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dia tak tahu harus berkata apa, sementara di dalam kantin yang ramai ini, tak ada yang tahu bahwa Sadewa adalah suaminya. Semua orang hanya tahu bahwa Sadewa adalah bos yang sangat dihormati, dan dia tidak pernah terlihat begitu dekat dengan wanita di tempat kerja.
Di meja itu, hanya ada mereka berdua yang berbicara dengan nyaman, meskipun ada banyak bisikan halus yang terdengar di sekitar mereka. "Syifa, bagaimana makan siangnya?" tanya Sadewa sambil menyantap makanan di piringnya, tetapi tetap melirik Syifa dengan perhatian.
"Hmm, enak," jawab Syifa dengan suara pelan, merasa sedikit canggung namun tetap berusaha tenang. Dia sudah meminta agar suaminya menjaga jarak saat di perusahaan tapi Sadewa justru terang-terangan mendekatinya.
Sadewa tersenyum, matanya tetap terpaut pada Syifa. "Aku hanya ingin memastikan kamu makan dengan baik," katanya dengan nada lembut.
Syifa menatap Sadewa sejenak dan sedikit tersenyum. "Terima kasih, Pak Dewa atas perhatiannya."
Mereka berbicara pelan, hanya untuk satu sama lain, meskipun ada banyak orang yang duduk di meja-meja sekitar mereka dan masih berbisik.
"Sebenarnya, apa hubungan mereka berdua?"
"Entahlah."
Syifa mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Sadewa.
"Kenapa Mas Dewa duduk di dekatku? Aku tidak ingin ada yang curiga."
Sadewa membaca pesan itu sambil tersenyum kemudian dia menatap Syifa. Dia justru mengedipkan sebelah matanya menggoda Syifa.
Detai jantung Syifa semakin berpacu. Dia segera melahap makanannya agar dia bisa segera pergi dari tempat itu.
"Pelan-pelan saja," kata Sadewa. Dia mengulurkan tisu untuk Syifa.
Syifa mengambil tisu itu dan mengusap bibirnya yang terkena bumbu. "Aku mau segera sholat dzuhur dahulu."
"Sholat? Oke, aku mengerti."
Syifa berdiri dan membawa nampan makanannya. Dia berjalan cepat meninggalkan kantin itu.
Sadewa meneguk air mineral lalu mengikutinya ke musholla perusahaannya. Dia yang membangun musholla itu tapi dia tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat itu. Inilah pertama kalinya dia datang.
Beberapa karyawannya menunduk hormat saat bertemu dengan Sadewa. Mereka terlihat terkejut dan heran melihat bosnya datang.
"Syifa, kamu sudah menunjukkan jalanku ...."
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔