Aluna, 23 tahun, adalah mahasiswi semester akhir desain komunikasi visual yang magang di perusahaan branding ternama di Jakarta. Di sana, ia bertemu Revan Aditya, CEO muda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti drama. Aluna yang ceria dan penuh ide segar justru menarik perhatian Revan dengan caranya sendiri. Tapi hubungan mereka diuji oleh perbedaan status, masa lalu Revan yang belum selesai, dan fakta bahwa Aluna adalah bagian dari trauma masa lalu Revan membuatnya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Setelah pertemuan yang cukup menegangkan dengan kedua orang tua Revan, malam pun merambat pelan. Di dalam mobil, hanya suara mesin yang mengisi keheningan.
"Kamu tertekan?" pertanyaan itu seolah menguapkan kesunyian yang sedari tadi tercipta.
Aluna menggelengkan kepalanya, "Mereka benar, semua orang tua pasti menginginkan anaknya menikah dan punya keturunan." ucap Aluna bijak, seolah mengerti dengan kegundahan yang di rasakan kedua orang tua Revan setelah menanti cukup lama putranya melajang.
Revan terkesiap, "Jadi kamu bersedia?" tanyanya seolah mengembalikan tenaga Aluna.
"Bersedia apanya?" tanya Aluna mulai waspada.
"Jangan pikir macam-macam , kalau capek tidur saja." ucap Revan. Ia tidak punya nyali untuk berkata jujur, meskipun ia sangat bisa.
Aluna menghela nafas, Dasar pria aneh .....
Ia pun memilih duduk dengan tubuh sedikit condong ke arah jendela, rasa kantuknya mulai menyerang tapi ia mencoba untuk mengabaikannya dengan menatap ke luar.
Tapi tak lama, tubuhnya miring ke arah Revan, lalu bersandar pelan di bahunya. Rupanya matanya sudah terpejam.
Revan menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. Ia membiarkan Aluna bersandar tanpa berkata apa-apa. Tangannya yang tadinya sibuk dengan layar datarnya kini berpindah ke bahu Aluna, memeluknya ringan.
Apakah nanti kamu bisa mencintaiku sepenuhnya, meskipun kamu tahu siapa aku? Batinya seolah begitu takut jika hal buruk itu terjadi dan gadis itu tidak akan memaafkannya.
Revan hanya bisa tersenyum kecil. ia ingin menikmati hari ini dan tidak ingin memikirkan hal lain esok hari. Ia hanya ingin mencintai gadis itu dengan sempurna meskipun dengan sikapnya yang dingin.
Revan mengusap lembut rambut Aluna, ia ingin sekali melakukan hal yang sama saat gadis itu membuka matanya, tapi ia tidak punya keberanian sebesar itu.
Hingga akhirnya mobil berhenti di basement apartemen,
"Pak, biar saya bantu." Bastian bersiap menawarkan diri tapi Revan menolaknya.
"Tidak, bantu saya buka pintu saja."
"Baik, pak."
Revan pun menggendong Aluna dari lantai basement hingga ke lantai atas.
"Kamu boleh pulang sekarang." pinta Revan dan Bastian hanya bisa mengiyakan.
***
Pagi itu, Aluna bangun lebih awal dari biasanya. Udara masih dingin, dan cahaya matahari belum sempurna menyelinap melalui jendela.
Saat mata Aluna mengerjap, ia tersadar akan sesuatu,
"Ini bukan kamarku kan?" ucapnya tersentak sebari memegangi dresnya yang masih utuh,
Ia bernafas lega saat pria itu tidak mengambil kesempatan, "Ahhhh ...., bisa-bisanya aku tertidur kayak kebo di mobil." keluhnya kesal pada diri sendiri.
Ia melirik pada tempat tidur di sebelahnya, pria itu masih tampak lelap, "Ya ampun ...., dia tampan sekali. Tidur aja tampan gini sih." gumamnya lirih tapi dengan cepat ia menepisnya, perlahan ia beranjak dari tempat tidur agar tidak menimbulkan suara.
Ia segera mengganti gaunnya dan melangkah pelan ke dapur, mengenakan hoodie tipis dan membiarkan rambutnya digerai seadanya. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan pagi ini—memasak sarapan khusus untuk Revan.
"Setidaknya ia sudah baik malam ini. Ia membelaku di depan orang tuanya. Itu kan memang luar biasa."
Meski bukan koki handal, Aluna mencoba menu simpel: nasi goreng dengan telur mata sapi, lengkap dengan teh hangat manis kesukaan Revan. Setelah sarapannya siap, Aluna segera mandi. ia tidak ingin tahu apa pria itu sudah bangun atau belum, yang pasti ia hanya ingin menunggunya di meja makan saja. Ia masih merasa canggung saat membayangkan pria itu menggendongnya hingga ke kamar.
Saat ia kembali dari kamar, Revan sedang duduk di meja makan dengan laptop menyala, tampak sibuk menatap layar.
Dasar gila kerja, baru saja bangun udah liat kerjaan aja ...., gerutu Aluna dalam hati.
"Selamat pagi," sapa Aluna canggung.
"Pagi," sahut Revan bahkan tanpa menoleh padanya.
Aluna pun berjalan cepat menghampiri meja kemudian membuka tudung saji, "Revan... aku buat sarapan. Coba, deh." ucapnya sembari menyodorkan sepiring nasi goreng.
Revan menoleh sekilas, lalu mengangguk. "Aku lagi sibuk, nanti saja."
Aluna sedikit kaget. Tidak ada senyum, tidak juga tatapan hangat seperti yang ia harapkan padahal ia sudah berharap lebih setelah apa yang terjadi semalam.
Ihhhh, mikir apa sih .....
Aluna menarik piringnya sendiri, kemudian memakannya dengan malas, sepertinya Revan menyadari ekspresi wajah Aluna ia pun segera mematikan layar laptopnya dan menutupnya, meminggirkannya agar ia bisa leluasa mengambil piringnya.
"Aku makan ya." ucapnya membuat Aluna menoleh ke arahnya dan tersenyum. Aluna menganggukkan kepalanya.
"Kalau rasanya aneh, pura-pura enak aja, ya." ucap Aluna dengan sedikit bercanda.
Revan mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum kecil,
"Pasti enak kok."
Ya ampun ....., mimpi apa gue semalam di senyumin sama pak Revan ...., gula bakal cepet habis kalau kayak gini ...., batin Aluna sampai ia tidak sadar sudah selebar apa mulutnya saat ini terbuka hingga tangan Revan menyanggah dagunya.
"Jangan terlalu lebar, ntar menetes." ucap Revan seketika Aluna dibuat malu sendiri. Pipinya terasa panas, karena malu, rasanya ingin sekali menenggelamkan wajahnya di dasar bumi.
"Apaan sih, aku tadi hanya ...., hanya ....,"
Belum selesai Aluna bicara, wajah tampan itu tiba-tiba begitu dekat dengan wajahnya,
"Hanya mengagumi wajah tampan suami, itu wajah."
Aluna sampai kesusahan menelan salifanya sendiri, tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa dia jadi tukang gombal gini ....
"Kenapa aneh ya?" Revan segera mengerutkan keningnya, "Lupakan saja kalau gitu."
Revan kembali ke posisinya dan mulai.menyantap nasi gorengnya.
Aluna diam sejenak, menunggu mungkin Revan berkomentar lagi. Pria yang tadinya begitu dingin tiba-tiba memiliki jiwa gombal cukup mengejutkan baginya.
Sementara itu, Revan sejenak menatap sarapan buatan Aluna. Ia memang tidak menunjukkan reaksi, tapi sebenarnya hatinya hangat. Ia mengambil sendok, mencicipi sesuap nasi goreng.
"Ini pertama kalinya seseorang masakin aku sarapan..." gumamnya lirih.
Aluna tersenyum, "Baiklah, aku akan buatkan sarapan setiap hari jika kamu mau."
Revan tersenyum mendengar ucapan Aluna.
"Dan untuk yang tadi.aku suka pak Revan yang hangat. Jangan terlalu dingin." ucap Aluna kemudian kembali menatap sarapannya.
Suasana tiba-tiba kembali hening, mereka tengah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing hingga bel pintu berbunyi.
"Biar aku bukakan." Aluna hendak berdiri tapi Revan menahan tangannya.
"Tidak perlu, itu pasti Bastian."
"Baiklah."
Revan pun berdiri meninggalkan meja makan, ia sudah sangat hafal dengan jadwal sekretarisnya itu. Jika di moment seperti ini rasanya ia tidak ingin Bastian datang lebih cepat.
Bersambung
Happy reading