Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Taman Bunga
Herald dan Clara terus melanjutkan perjalanan mereka. Bagi kebanyakan orang, ini hanyalah kegiatan biasa, tetapi bagi mereka berdua, ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Herald merasa bahwa semua usahanya mulai membuahkan hasil. Membawa keluar seorang putri yang tertutup selama bertahun-tahun adalah pencapaian besar. Tugas dari Astalfo kini berkembang ke arah yang positif.
Sesekali, Herald menoleh ke belakang, menatap Clara yang berjalan di belakangnya. Dia ingin melihat ekspresi Clara, ingin tahu bagaimana reaksinya saat ini setelah merasakan banyak perubahan di lingkungan barunya. Wajah cantik Clara menunjukkan perpaduan antara kebingungan dan kekaguman.
Clara terus menoleh ke kiri dan kanan, ekspresinya penuh rasa ingin tahu, seolah melihat sesuatu untuk pertama kalinya. Namun, kenyataannya, dia tidak benar-benar melihat. Ini hanyalah reaksi alami seseorang yang baru pertama kali atau setelah sekian lama kembali menginjak dunia luar, walaupun masih di dalam Mansion. Indra-indranya—selain penglihatan—mulai bekerja lebih aktif, memberikan rangsangan baru yang jarang ia rasakan.
Layaknya seorang bayi yang baru mengenal dunia, Clara mulai merasakan segala sesuatu dengan lebih mendalam. Ia mendengar kicauan merdu burung yang bertengger di jendela, bercampur dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyentuh kulitnya. Ia juga menyadari perubahan suhu—lebih segar dan hangat dibandingkan kamar tidurnya yang dingin dan lembab. Indra penciumannya menangkap aroma khas lorong Mansion yang telah lama asing baginya. Sensasi-sensasi ini terasa baru dan menenangkan, membuatnya ingin terus mengulang momen ini.
Herald tersenyum kecil sebelum kembali melangkah. [Sepertinya dia sangat menikmatinya.]
Sebagai bagian dari rencananya, Herald membawa Clara berkeliling Mansion. Mereka mengunjungi ruang tamu, dapur, ruang makan keluarga, tempat bermain piano, serta beberapa ruangan lainnya. Perjalanan itu berlangsung lebih dari satu jam. Setiap kali mereka melewati pelayan atau prajurit, reaksi mereka selalu sama—terkejut melihat Clara keluar dari kamarnya. Herald tahu bahwa berita ini akan segera menyebar dan sampai ke telinga Astalfo. Dia hanya berharap Susan dapat menyebarkan pesan lebih cepat sebelum kabar ini menyebar secara tidak terkendali.
Setelah hampir mengunjungi seluruh bagian Mansion, Herald memutuskan untuk menutup perjalanan mereka dengan sesuatu yang spesial.
"Clara, sebelum kita mengakhiri jalan-jalan hari ini, aku ingin membawamu ke suatu tempat. Aku yakin kamu akan menyukainya."
"Ke suatu tempat...?" Clara mengulang dengan nada penasaran. Ia mencoba menebak ke mana mereka akan pergi.
Herald tersenyum misterius dan segera berjalan tanpa menjelaskan lebih lanjut. "Sudahlah, ayo ikut saja. Kamu pasti menyukainya nanti."
"!"
Seperti biasa, tongkat yang menghubungkan mereka mulai bergerak mengikuti langkah Herald. Clara yang merasakan tarikan halus itu segera mengikuti, meski pikirannya dipenuhi pertanyaan.
[Kemana sebenarnya Herald ingin membawaku?]
***
Perjalanan mereka hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Sesudah itu, mereka berhenti di luar Mansion, tepatnya di bagian belakang, di sebuah taman yang dipenuhi beraneka ragam bunga serta tumbuhan lain yang tertata rapi. Taman ini tampak begitu estetik, dihiasi dengan dekorasi kayu pahat yang memperindah suasana. Namun, keindahan visual ini bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati Clara. Lalu, untuk apa Herald membawanya ke sini? Dia tentu memiliki rencana tersendiri.
[Andai saja Clara bisa melihat semua ini, pasti dia akan sangat bahagia,] pikir Herald sambil melirik ke arahnya.
Tak berselang lama, Clara bertanya, "Hei, Herald, apakah sekarang kita berada di luar Mansion?"
"Oh, itu benar. Wah, ternyata kamu bisa mengetahuinya, ya," jawab Herald dengan nada takjub yang sedikit dibuat-buat. Sebenarnya, dia sudah menduga Clara akan menyadari perubahan suasana, mengingat sensitivitasnya yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Namun, dia tetap ingin mempertahankan suasana menyenangkan ini.
Clara tertawa kecil. "Tentu saja. Aku merasakan perbedaan yang sangat jelas. Udara di sini lebih panas, anginnya lebih kencang, dan aromanya pun berbeda. Aku bisa menebak bahwa kita sedang berada di luar ruangan."
Herald mengangguk. "Tebakanmu benar. Kita sekarang berada di taman belakang Mansion."
Saat itu, angin bertiup lebih kencang, menerbangkan kelopak bunga ke udara. Clara terdiam, seolah ingin membayangkan pemandangan di sekelilingnya. Kemudian, dengan perlahan, dia menolehkan wajahnya ke segala arah, mencoba merasakan lingkungan di sekitarnya.
"Jadi, sekarang kita berada di taman, ya... Tempat yang dipenuhi bunga-bunga indah... Apakah aku benar?" bisiknya, hampir seperti berbicara kepada diri sendiri.
Herald merespon secara positif atas pertanyaannya. "Iya, itu benar. Kamu hebat dapat mengetahui dari sekedar merasakan hawa disekitarmu."
"Inilah tempat terakhir yang aku maksud. Kita akan berjalan-jalan di taman bunga sebelum mengakhiri kegiatan hari ini."
Herald emang takjub akan kepekaan Clara. Dengan keterbatasan itu, dia dapat mengetahui hanya sekedar merasakan.
[Apakah ini intuisi seorang wanita yang pernah dibicarakan Ayahku?"]
Tak lama kemudian, dia meraih lengan Herald dan menggenggamnya dengan erat. "Hei, Herald, aku ingin sekali menyentuh bunga-bunga yang ada di taman ini. Aku pernah mendengar bahwa mereka terasa lembut dan indah. Aku ingin merasakannya dengan tanganku. Bisa tolong arahkan aku?"
Herald tersenyum. "Clara, untuk apa lagi aku membawamu ke sini? Tentu saja aku akan membantumu menyentuh bunga-bunga ini."
Rencana Herald ternyata sejalan dengan keinginan Clara. Dia ingin mengenalkan keindahan taman ini bukan melalui penglihatan, tetapi melalui sentuhan. Meski Clara tidak bisa melihat keindahan bunga-bunga itu, dia bisa merasakannya dengan jari-jarinya.
"Kalau begitu, ayo kita mulai!" seru Clara dengan semangat, menggenggam tangan Herald lebih erat. Kali ini, dia terlihat begitu bersemangat.
Mereka pun mulai berjalan menyusuri taman, menyentuh satu per satu bunga yang tumbuh di sana. Herald dengan sabar mengarahkan tangan Clara, membantunya merasakan tekstur setiap kelopak dan daun yang mereka temui.
Dengan hati-hati, Herald memandu Clara mendekati sekumpulan bunga. Tangannya yang kecil dan halus menyentuh kelopak bunga yang lembut. Sesaat ia terdiam, merasakan teksturnya. "Wow... benar-benar lembut," bisiknya kagum. Kemudian ia mengendus aroma dari bunga lain yang disodorkan Herald. "Hmm, harum sekali...!" Wajahnya penuh ekspresi kegembiraan.
Clara semakin bersemangat. "Herald, bunga apa ini? Dan apa warnanya? Ee... yang ini juga! Ah! Sekalian yang ini, yang paling wangi! Aku ingin menyimpannya di dalam kamarku nanti. Oh ya, jangan lupa yang ini juga! Ee... dan bawakan lagi bunga lainnya!"
Herald dibuat bingung dengan banyaknya pertanyaan yang dilontarkan Clara dalam satu tarikan napas. "Clara, aku senang melihat semangatmu, tapi tolong tahan dulu rasa ingin tahumu itu. Aku jadi sulit menjawab semuanya sekaligus!"
Clara menyadari kegugupannya. "Ah, maaf, maaf! Aku terlalu bersemangat." Ia pun meraih salah satu bunga yang berada di genggamannya. "Kalau begitu, tolong beritahu aku tentang bunga yang ini dulu."
Herald menatap bunga berwarna merah dengan kelopak berbentuk payung di tangan Clara. Ia mulai menjelaskan tentang bunga itu dengan pengetahuan yang ia miliki. Meskipun tak terlalu mendalam, Herald berusaha sebaik mungkin untuk menjawab setiap pertanyaan Clara. Jika ia tak tahu namanya, setidaknya ia bisa mendeskripsikan bentuk, warna, dan aroma bunga tersebut.
Selama itu juga, Herald menangkap ekspresi kebahagiaan yang terpancar dari wajah Clara—gadis yang selama ini tertutup dari dunia luar. Senyuman itu begitu alami, seperti bunga yang akhirnya mekar setelah sekian lama tertidur dalam kegelapan. Keindahannya begitu memikat hingga tanpa sadar Herald terhanyut dalam lamunannya, lupa menjawab pertanyaan yang Clara ajukan.
Melihat Herald yang hanya diam, Clara mengerutkan kening dan menepuk lengannya dengan gemas. "Hei! Jangan mengabaikanku begitu saja!" protesnya dengan nada sedikit kesal.
Herald tersentak dari lamunannya dan langsung terkekeh kecil. "Maaf, maaf! Aku hanya... sedikit terpesona," jawabnya sambil menggaruk kepalanya, mencoba menutupi rasa canggungnya.
Clara mendengus kecil, tapi bibirnya tetap melengkung dalam senyuman.
"Hah? Apa yang menarik?" tanyanya.
"Tidak ada. Hanya saja... melihatmu tersenyum bahagia seperti ini, aku merasa sangat senang."
Clara terdiam, pipinya sedikit memerah. Herald secara tidak sadar kembali membuatnya berdebar-debar. Namun, ia segera kembali menunjukkan senyumnya dan meraih tangan Herald. "Kalau begitu, ayo lanjutkan! Aku masih ingin merasakan lebih banyak bunga lagi!"
Mereka pun melanjutkan eksplorasi taman, menghabiskan waktu dengan tawa dan canda. Suasana yang sebelumnya sepi kini dipenuhi kehangatan, membawa kebahagiaan yang lama tak dirasakan oleh Clara.