cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Teman Baru?
Keesokan paginya
Dering alarm mengusik keheningan pagi. Dengan mata masih terpejam, tangan Vio meraba pelan ke atas meja samping tempat tidurnya, mematikan suara nyaring itu. Setelah diam sejenak menatap langit-langit kamar, ia menarik napas panjang lalu bangkit, melangkah keluar kamar untuk mencuci muka dan bersiap ke sekolah.
Saat kembali ke ruang makan, aroma makanan hangat langsung menyambutnya. Di meja, Tissa dan Mei sudah duduk menikmati sarapan buatan Hilda. Mei yang tampak ceria, sedangkan Tissa hanya melirik sekilas sambil menyeruput teh.
“Kapan kamu balik?” tanya Vio sambil menarik kursi.
“Baru saja, papa dan mama yang ngantar,” jawab Tissa sambil mengunyah roti.
“Kenapa nggak sekalian ke sekolah aja?” Vio mengernyit.
“Mereka buru-buru, dan arah kantor nggak sejalan sama sekolah,” kata Tissa santai.
“Hmm... begitu, ya.”
Vio memperhatikan Mei diam-diam. Tidak ada godaan atau candaan pagi ini. Seolah kejadian kemarin hanya bayangan. Saat bertanya ke Hilda, sang kakak hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Mereka sudah sempat ngobrol tadi.”
Menjelang berangkat, Hilda memanggil dari dapur.
“Vio, bekalnya jangan lupa. Tissa juga ini!” katanya sambil menyerahkan dua kotak makan.
"lalu jangan lupa dengan kunci kalian" ucap Hilda setelahnya
“Kakak yang perlu ingat itu, bukan kami” celetuk Vio sambil tersenyum nakal.
Hilda menggeleng pelan, lalu menepuk kepala adiknya dengan lembut. “Dasar.”
Mereka berjalan bersama menuju halte bus. Seperti biasa, Vio mengantar Tissa ke kelas dulu sebelum menuju kelasnya sendiri.
Saat masuk ke kelas, ia terkejut melihat Reina sudah duduk di tempat biasa mereka.
“Tumben kamu baru datang?” tanya Reina, memiringkan kepala.
“Aku bangun agak telat... dan naik bus yang lebih lambat dari biasanya,” jawab Vio.
Suasana hening sesaat. Tapi tak lama, telinga Vio menangkap suara melodi yang akrab—begitu familiar sampai membuat jantungnya berdebar. Ia melirik ke arah sumber suara: ponsel Reina.
“Eh, kamu tahu penyanyi ini?” tanya Reina sambil mengangkat ponselnya sedikit.
Vio terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ah, bukan... teman kakak sering dengar lagu itu di rumah. Jadi aku agak kenal aja.”
“Wah, dia penyanyi favoritku,” ujar Reina sambil tersenyum cerah.
“Oh, begitu ya...”
Ada rasa hangat yang muncul di dada Vio. Senyum Reina begitu tulus, menyukai lagu-lagu yang ia sendiri nyanyikan saat menjadi Violetta. Tapi rasa itu juga bercampur getir. Bukan dirinya yang Reina kagumi—melainkan sosok lain di balik layar, Violetta.
Suasana kelas mulai ramai. Murid-murid berdatangan, tawa dan obrolan mulai memenuhi ruangan. Seorang siswa laki-laki mendekat ke arah Vio, berdiri tepat di samping mejanya.
“Kamu Vio, kan?”
Vio mengangkat kepala. “Iya. Siapa kamu?”
“Wah, masa kamu nggak ingat? Kita sekelas, loh,” ucapnya sambil terkekeh.
“Maklumi aja,” sahut Reina cepat. “Dia bahkan lupa namaku, padahal kita duduk sebelahan.”
Anak itu tertawa. “Namaku Reuxen, panggil aja Reu,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Vio,” ucap Vio pelan, menyambut jabat tangan itu.
“Mulai sekarang kita teman, ya.”
Vio mengangguk kecil. Ia belum terbiasa berbicara dengan orang baru. Tapi melihat antusiasme Reuxen, dan semangat ceria seperti yang biasa ia lihat pada Mei, ia tak bisa menolak.
Dalam hatinya, Vio tahu meskipun diam dan tertutup, ada bagian dari dirinya yang ingin lebih terbuka... meskipun hanya sedikit
---
Bel masuk berbunyi nyaring, memotong percakapan ringan yang terjadi di sekeliling kelas. Guru pertama hari itu masuk, dan seketika suasana berubah tenang. Vio duduk tegak di kursinya, membuka buku catatan dan sesekali mencuri pandang ke arah Reina yang tampak serius mencatat.
Pelajaran berlangsung seperti biasa. Bagi Vio, rasanya seperti mengalir begitu saja—kadang cepat, kadang lambat. Fokusnya sempat teralihkan saat Reina menyentuh rambutnya dan menggulungnya ke belakang telinga. Gerakan kecil yang entah mengapa tertangkap oleh Vio begitu jelas.
Saat satu jam pelajaran berganti ke jam berikutnya, Reuxen sempat berbalik dari bangkunya yang hanya dua baris di depan Vio, memberi anggukan kecil sambil tersenyum—entah apa maksudnya, tapi Vio hanya membalas dengan anggukan ragu.
Waktu istirahat akhirnya tiba. Begitu bel berbunyi, sebagian besar siswa langsung bergegas keluar kelas, menuju kantin atau taman sekolah. Vio tetap di tempatnya, membuka bekal dari Hilda dan menatanya perlahan di atas mejanya.
Baru saja ia hendak mulai makan, Reuxen tiba-tiba menghampiri dan duduk di bangku kosong di depannya, senyumnya tak hilang sejak pagi.
“Hei, kamu nggak ke kantin?” tanyanya sambil bersandar santai.
“Enggak, aku bawa bekal,” jawab Vio, agak ragu.
“Wah, kamu termasuk orang yang disiplin, ya. Bekal dari rumah pasti lebih enak dari pada makanan kantin,” ujarnya sambil melirik isi kotak makan Vio.
Vio hanya mengangguk kecil, belum tahu harus menanggapi seperti apa.
Namun sebelum percakapan mereka berlanjut, pintu kelas terbuka dan sosok yang familiar muncul.
“Reina!” seru Tissa sambil melambai kecil, “ayo makan di taman belakang! Seperti biasa, ya. Vio juga, ayo!”
Reina berdiri sambil mematikan musiknya, lalu menoleh ke Vio. “Kau ikut?”
Vio mengangguk dan mulai menutup bekalnya perlahan, bersiap berdiri. Tapi sebelum ia melangkah, Reuxen bersuara lagi.
“Taman belakang, ya? Kalian sering makan di sana?” tanyanya sambil berdiri dari bangkunya.
“Iya… semacam kebiasaan,” jawab Vio singkat.
Reuxen tersenyum lebar. “Kedengarannya seru. Aku ikut, ya. Tapi tunggu sebentar—aku mau ke kantin dulu, beli roti atau apa gitu. Kalian tunggu di sana!”
“Kalau kamu cepat, kami masih di sana,” jawab Reina sambil tersenyum tipis.
Reuxen mengacungkan jempol lalu melesat keluar kelas. Vio, Reina, dan Tissa pun berjalan bersama menuju taman belakang, angin sejuk menyambut mereka, mengiringi langkah kecil Vio yang masih memikirkan hal-hal sederhana… tapi entah kenapa terasa baru.