Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan Oleh Andi Wijaya
Pagi itu, Arjuna kembali ke tempat kerjanya sebagai petugas keamanan. Seperti biasa, saat ia berjalan memasuki gedung, tatapan para pegawai, terutama para wanita, langsung tertuju padanya. Beberapa dari mereka berbisik-bisik sambil tersenyum malu, sementara yang lain pura-pura tidak melihat tetapi jelas-jelas mencuri pandang.
Arjuna yang mulai terbiasa dengan perhatian seperti itu hanya menghela napas dan melanjutkan langkahnya menuju pos keamanan. Di sana, rekan kerjanya, Pak Surya, seorang pria paruh baya yang sudah lama bekerja sebagai petugas keamanan, menyambutnya dengan anggukan.
"Pagi, Jun!" sapa Pak Surya dengan senyum ramah.
"Pagi, Pak," balas Arjuna sambil duduk di kursinya.
Pak Surya mengangkat alisnya, memperhatikan raut wajah Arjuna yang tampak lebih serius dari biasanya. "Kau kenapa? Pagi-pagi sudah murung begitu."
Arjuna menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pak. Hanya banyak yang kupikirkan."
Pak Surya terkekeh. "Hati-hati, Jun. Kalau kau terlalu banyak berpikir, nanti malah pusing sendiri."
Arjuna hanya tersenyum tipis. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapannya semalam bersama Kirana, serta pertemuannya dengan Nakula.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pikirannya, suara gaduh terdengar dari arah lobi utama. Seorang pria berpakaian rapi sedang berbicara dengan nada tinggi kepada salah satu pegawai resepsionis.
"Aku harus bertemu dengan direktur sekarang juga! Ini darurat!" bentaknya.
"Maaf, Pak, tapi Anda harus membuat janji terlebih dahulu," jawab resepsionis dengan sopan.
Pria itu tampak semakin frustrasi. "Aku tidak punya waktu untuk janji-janji! Aku harus bicara dengannya sekarang!"
Melihat situasi yang mulai memanas, Pak Surya melirik Arjuna. "Jun, coba lihat ke sana."
Arjuna mengangguk, lalu berdiri dan berjalan mendekati pria tersebut. Dengan langkah tegap dan tenang, ia langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya Arjuna dengan suara tenang namun tegas.
Pria itu menoleh dan menatap Arjuna dengan wajah kesal. "Kau siapa? Aku tidak perlu bantuanmu! Aku harus bertemu dengan direktur sekarang!"
Arjuna tetap tenang. "Saya mengerti, tapi seperti yang sudah dijelaskan, Anda harus memiliki janji terlebih dahulu. Jika ada hal penting, saya bisa membantu menyampaikannya kepada manajemen."
Pria itu mengepalkan tangannya, tampak marah, tetapi saat ia melihat tubuh tegap dan postur Arjuna yang dominan, ia ragu sejenak. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mendengus kesal dan berbalik pergi tanpa berkata apa-apa.
Arjuna menghela napas dan kembali ke pos keamanan. Pak Surya tertawa kecil. "Kau memang punya aura yang bikin orang segan, Jun. Bahkan tanpa harus berbuat banyak, mereka sudah mundur sendiri."
Arjuna hanya tersenyum tipis, tetapi pikirannya masih jauh dari situasi tadi. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di luar sana. Dan cepat atau lambat, ia harus menghadapinya.
Suasana kantor yang sebelumnya tenang mendadak berubah menjadi kacau. Dari dalam pos keamanan, Arjuna dan Pak Surya mendengar suara teriakan dan langkah kaki yang berlari tergesa-gesa. Beberapa karyawan yang baru saja masuk kembali keluar dengan wajah panik.
Pak Surya langsung berdiri, alisnya berkerut. "Ada apa ini?"
Arjuna tak perlu menunggu jawaban. Ia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dengan langkah cepat, ia keluar dari pos keamanan dan melihat ke arah luar gedung. Di jalan depan kantor, orang-orang berhamburan ke segala arah. Beberapa mobil berhenti mendadak, pengemudi membunyikan klakson dengan panik, dan di tengah kekacauan itu, seorang pria berdiri dengan angkuhnya.
Andi Wijaya.
Arjuna mengenali pria itu dari berita. Mantan pejabat korup yang kini memiliki kekuatan misterius dan telah menyebabkan kekacauan di Jakarta dalam beberapa hari terakhir. Andi berdiri dengan senyum bengis, tangannya yang kini tampak bersinar dengan aura berwarna merah tua melayang di udara. Dengan satu ayunan tangannya, sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan melayang dan terlempar menghantam toko di seberang. Ledakan kaca yang pecah memenuhi udara, disertai teriakan orang-orang yang berusaha menjauh.
Arjuna mengepalkan tinjunya. Kekuatan Andi bukan kekuatan biasa—ini bukan kekuatan manusia. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.
Pak Surya menarik lengan Arjuna, suaranya cemas. "Jun, kita harus mundur! Itu bukan orang biasa!"
Tapi Arjuna tetap diam, matanya terkunci pada Andi Wijaya. Ini bukan saatnya untuk mundur. Ini adalah ujian. Kekuatan dalam dirinya mulai bangkit perlahan, meskipun baru sebagian kecil dari kemampuannya yang kembali.
Andi tertawa puas, menikmati kepanikan yang ia ciptakan. "Dengar baik-baik, semua orang!" teriaknya. "Mulai sekarang, kota ini adalah milikku! Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, dan kalian semua hanyalah semut yang bisa kuinjak kapan saja!"
Arjuna melangkah maju. Orang-orang yang berlari menjauh melirik ke arahnya dengan bingung—seorang pria biasa tanpa senjata, tanpa perlindungan, justru berjalan mendekati bahaya.
Andi akhirnya melihatnya dan menyipitkan mata. "Hah? Kau siapa?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Arjuna berhenti beberapa meter darinya. "Aku seseorang yang tidak akan membiarkanmu berbuat semaumu di sini."
Andi tertawa terbahak-bahak. "Oh? Kau mau menantangku? Dasar bodoh!"
Tanpa peringatan, Andi mengangkat tangannya, dan dengan sekali hentakan, gelombang energi merah menyapu ke arah Arjuna.
Arjuna melompat ke samping, menghindar dengan gesit. Ia merasakan semburan angin panas saat energi itu menghantam tanah, menciptakan kawah kecil di aspal.
Mata Arjuna menyala dengan determinasi. Jika ia harus bertarung, maka ia akan bertarung.
Ini bukan hanya tentang melindungi orang-orang di sekitarnya. Ini tentang membuktikan sesuatu—bahwa dirinya bukan lagi dewa yang sombong dan angkuh. Ini tentang menghadapi dunia manusia dengan tangan terbuka dan hati yang telah berubah.
Jeritan warga yang tak berdaya menggema di udara. Arjuna mengepalkan tangannya, dadanya terasa sesak melihat penderitaan mereka. "Kenapa manusia harus selalu hidup dalam ketakutan?" pikirnya. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk bertindak. Tanpa ragu, tubuhnya bersinar dengan cahaya keemasan. Pakaian manusia biasa yang ia kenakan seketika berganti menjadi baju perang merah dengan ornamen emas yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Pelindung bahu dan lengan yang kokoh menambah wibawanya.
Para wanita yang sebelumnya terpukau oleh ketampanannya kini menatap dengan keterkejutan dan kekaguman yang lebih dalam.
Tanpa menunggu lebih lama, Arjuna melangkah maju. Meski kekuatannya baru pulih lima persen, ia tidak gentar. Dengan kecepatan luar biasa, ia menerjang Andi Wijaya, mengandalkan kekuatan fisiknya yang tersisa. Tinju pertamanya menghantam perut Andi dengan keras, membuat pria itu sedikit terpental. Namun, Andi hanya menyeringai.
"Hahaha... kau pikir bisa menghentikanku dengan itu saja, Dewa?" ejeknya.
Arjuna menyipitkan mata, tubuhnya merendah, bersiap untuk melanjutkan serangannya. Ia tahu, pertarungan ini tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan manusia tak bersalah menjadi korban lagi.