"Dasar brengsek! Kadal burik! Seumur hidup aku gak mau ketemu kamu lagi. Bahkan meskipun kamu mati, aku doain kamu susah menjemput ajal."
"Siapa yang sekarat?" Kanya terhenyak dan menemukan seorang pria di belakangnya. Sebelah tangannya memegang kantung kresek, sebelah lagi memasukan gorengan ke dalam mulutnya.
"Kadal burik," jawab Kanya asal.
"Kadal pake segala di sumpahin, ati- ati nanti kena tulah sumpah sendiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Keputusan
"Hai, tetangga. Makasih kuenya, ya. Kue kamu memang yang terlezat."
Kanya mengepalkan tangannya dengan erat. Jadi tetangga barunya adalah Alan?
Kadal burik, buaya buntung! Pria itu benar-benar!
Hebatnya lagi Alan mengucapkan itu dengan wajah biasa saja, hanya tersenyum di sudut bibirnya, namun tidak nampak kesombongan. Matanya tetap menatap dengan lembut, membuat Alan terlihat berwibawa, juga penuh kasih sayang. Kanya yakin di balik tembok Alan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan berdiri dengan santai.
Sial! Kenapa dia masih saja memujinya?
"Onti ayo matan!" Kanya menghentikan lamunannya saat mendengar teriakan Dilan dari dalam rumah, dan bergerak untuk masuk.
Setelah menemani Dilan makan, Kanya menidurkan Dilan di kamarnya, sebelah tangannya menepuk pantat Dilan agar segera tidur.
Setelah memastikan Dilan benar-benar tidur, Kanya bangkit dan duduk di depan meja rias. Membuka kancing piyamanya, Kanya melihat dadanya yang tadi terbentur stang membiru, lalu mengambil salep dan mengoleskannya secara perlahan. Setelah memastikan semuanya merata Kanya meraih ponselnya untuk menghubungi Arga.
"Bang, kamu kapan jemput Dilan?"
Disebrang sana Dirga terkekeh. "Kamu, Dek. Tanya dulu kek, 'Abang apa kabar?' gitu. Bukan main seruduk aja kaya banteng." Kanya memutar matanya malas, saat Arga tertawa.
"Abang apa kabar? Sehat kan. Kak Mily juga sehat, kan?"
"Abang sehat. Tapi, gini Kan. Abang lagi nungguin Mily di rumah sakit. Mily udah pembukaan empat."
Kanya mengerjapkan matanya. "Tapi, kak Mily baik- baik aja kan?" Kenapa Abangnya terdengar santai padahal Kanya mulai panik.
"Baik? Tapi, Abang beneran gak bisa jemput Dilan. Bolehkan kamu pulang anterin Dilan. Ambil cuti sekalian. Jarang- jarang kan, bisa pulang." Di seberang sana terdengar suara Mily mengeluh beberapa saat lalu kembali diam.
"Tapi, Kak Mily beneran gak papa?"
"Enggak. Cuma lagi ngerasain kontraksi aja, makanya Abang juga lagi nemenin ini."
Kanya mengangguk. "Ya udah, aku pulang Jumat sore. Jagain kakak iparku loh, Bang!"
Kanya mematikan teleponnya lalu menghela nafasnya. Ya, dia harus pulang. Lagi pula orang yang selama ini dia hindari justru ada disini. Dan juga seperti apapun dia menghindar, jika Tuhan berkehendak untuk mereka bertemu, sejauh apapun itu, mereka juga akan bertemu.
Kanya pergi juga bukan hanya untuk menghindar dari orang-orang itu. Namun Kanya menghindar karena perasaannya. Kesakitan yang tak mudah. Di tinggal menikah bukan hal biasa yang bisa di lupakan begitu saja. Pernikahan adalah hal sakral, impian semua gadis. Dan Kanya rasa seperti apapun penjelasan Alan. Dia tak bisa menerimanya. Jadi sampai kapanpun Kanya tak membutuhkan penjelasan apapun. Yang dia inginkan adalah lepas dari trauma ini. Menjalani hidupnya dengan baik. Tak peduli menikah atau tidak. Jadi sudah saatnya Kanya menghadapinya juga, kan?
Kanya bergerak ke arah ranjang, berbaring di sebelah Dilan, lalu memejamkan matanya untuk tidur.
....
"Kamu mau ambil cuti?" Kanya mengangguk. "Terus ini gak salah? Satu bulan?" Kanya kembali mengangguk. "Kamu mau cuti libur, apa melahirkan?
"Begini, Pak, mempertimbangkan dalam beberapa tahun ini saya juga jarang cuti, bahkan hari libur saya, saya gunakan untuk lembur, jadi bisa dong?"
"Ya gak bisa lah. Satu bulan kelamaan. Satu minggu, boleh, lah. Gak lebih dari itu. Lagian nasabah baru kita juga belum selesai di proses, kan?"
Kanya tersenyum manis lalu menatap managernya dengan mata berbinar. "Bapak ini, saya tahu loh, dia kerabat Bapak. Jadi saya bisa laporkan ini ke atasan loh, Pak." Pak Wayan terdiam. "Jadi kasihlah, pak."
"Tetap tidak bisa satu bulan juga dong, Kanya. Kamu pikir bank ini punya bapak kamu."
Kanya tahu. Jadi dia hanya memancing bosnya saja, dan ternyata benar dia dan Alan memang bersekongkol.
"Oke deh, Pak. 10 hari." Kanya tersenyum lebar. Sepuluh hari cukup untuk menghabiskan waktu di rumah. Apalagi dia bisa bebas cuti panjang sekarang. Satu hal yang baru dia ketahui, ternyata Alan benar-benar merencanakan pinjaman hanya karena ingin bertemu dengannya. Jadi Alan pasti tidak akan menyerah dengan mudah.
....
Hari ini di sore hari saat Kanya dan Dilan sedang bermain di halaman rumah, Kanya di kejutkan dengan kemunculan kepala Alan yang melongok di tembok penyekat rumah mereka.
"Hai, lagi apa?" Kanya berdecih kesal melihat Alan yang sepertinya baru saja pulang sebab memang beberapa saat lalu mobilnya lewat. Entah apa yang dia kerjakan sebenarnya, dan apakah Alan benar-benar pindah ke Bali. Lalu bagaimana dengan pekerjaan dan anak istrinya di Jakarta?
Masa bodoh, apa urusannya dengannya.
"Ladi, main Om," jawab Dilan.
"Oh, asik dong. Boleh ikutan gak?"
"Enggak!"
"Boeh, Om." Dilan dan Kanya berkata berbarengan, hingga Alan menyeringai.
"Ian, gak boleh main sama orang asing," ucap Kanya.
"Kata siapa Om orang asing. Kan waktu itu udah kenalan sama, Dilan?" Dilan mengangguk.
"Pokoknya gak boleh!"
"Anya aku mau main sama Dilan. Kok kamu yang larang, sih?" Alan menarik dirinya dan berjalan ke arah pagar. Hingga saat Alan mendekati pagar rumah Kanya, dia melihat Kanya berlari ke arah pagar untuk menguncinya.
"Kami gak menerima tamu orang brengsek!" desisnya.
Alan terkekeh. "Dilan, padahal Om mau main loh sama kamu. Tapi Onti kamu larang, gimana nih?" dia memiringkan wajahnya ke arah Dilan dengan wajah memelas. Wajah yang jarang nampak di wajah temboknya.
Dilan menatap Alan, lalu pada Kanya. "Onti, ndak boeh begitu." Dilan menggerakkan jari telunjuknya ke arah Kanya.
Kanya mengerutkan keningnya lalu menatap tajam pada Alan. "Ian, tahu gak. Dia itu orang jahat. Kalau Ian deket- deket sama dia, Ian bakalan sakit hati."
"Atit ati tuh apa, Onti?" Kanya terdiam.
"Anya, gak baik loh, mempengaruhi anak kayak gitu." Kanya berdecih. "Memang begitu kok kenyataannya."
"Harus ya kita buka- bukaan di depan Dilan? Kamu hanya perlu dengerin penjelasan aku aja kok," ucap Alan tanpa beban.
Brengsek emang nih kadal! Lagi, Kanya hanya bisa memaki dalam hati.
"Terserah. Kalau bisa masuk aja." Kanya pergi tanpa berniat membuka kunci pagarnya.
"Beneran nih, aku masuk, ya?" Kanya menoleh saat mendengar suara lompatan. Alan masuk lewat pagar lalu melompat turun.
"Kamu!" geramnya.
"Katanya boleh masuk," ucap Alan tanpa rasa bersalah sama sekali. Dengan kesal Kanya memasuki rumah membiarkan Dilan bermain dengan Alan.
Kanya mendengus kesal dengan berjalan ke arah dapur lalu menuangkan air kedalam gelas untuk dia teguk hingga habis.
Di saat yang sama Kanya merasakan ponselnya di saku bergetar. Saat melihat nama 'Mama' disana, Kanya segera menerima panggilan tersebut.
"Ya, Ma?"
"Apa kabar, Nak?"
"Baik, Ma. Mama sama Papa gimana?"
"Kami baik. Oh, ya ... kapan kamu pulang. Mily udah lahiran semalam."
"Aku tahu, semalam aku telepon Bang Arga." Setelah menelpon semalam tak lama setelah Kanya tertidur, Arga mengirimi pesan jika Mily sudah melahirkan bayi perempuan.
"Jumat sore ini aku pulang. Dilan juga katanya mau pulang."
Terdengar suara helaan nafas lega dari Mamanya membuat Kanya cemberut.
"Bagus deh, Mama juga mau kenalin kamu sama anak temen Mama, yang minggu lalu mama bilang, kamu inget kan?" Kanya melihat dari jendela dapur saat terdengar tawa Dilan. Ternyata Alan dan Dilam sedang bermain bola bersama.
"Inget," jawab Kanya masih dengan menatap Alan, hingga Alan pun menoleh dan tersenyum ke arahnya barulah Kanya memalingkan wajahnya.
"Mama harap kamu benar-benar pikirkan ini, ya?"
"Kalau cocok, aku mau," jawab Kanya. Hingga Kanya bisa mendengar Mamanya itu antusias. Kanya rasa dia langsung mengatakan kesetujuannya pada Papanya, bahkan dia tak peduli meski sambungan telepon masih menyala.
Kanya menghela nafasnya lalu mematikan telepon. Benar, harusnya dia lakukan ini sejak dulu. Dan sekarang sudah waktunya untuknya bertindak. Bukan hanya untuk membuka hati tapi untuk menyingkirkan Alan agar tak terus menganggunya. Bagaimana pun saat pria itu mendekat, di bayangan Kanya hanya terasa luka.
semangat..
semangat..💪
alan sj blm cerai kasian kanya bs di blng pelakor wlu pernikahan alan tnpa cinta.
bisa laku tinggi, gk lama lg kan idul adha/Silent/
wlu sekrng kanya tau tetap aja kanya dpt bekas alias duda apalagi blm resmi cerai lg sm sonya.
bikin greget si alan ini,makan tuh rs kasihanmu