Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Kunjungan Yang Menghangatkan
Matahari pagi menyinari halaman rumah Angel dan Saka yang kini mulai dipenuhi mainan-mainan kecil. Amara, yang kini berusia empat tahun, sibuk memilih boneka kesayangannya untuk dibawa. “Mama, boleh bawa yang ini juga?” tanyanya sambil mengangkat boneka kelinci lusuh.
Angel tersenyum sambil memakaikan jaket pada putrinya. “Boleh, tapi cuma satu, ya. Kita mau main ke rumah Tante Arumi dan Om Damian, bukan pindahan.”
Saka muncul dari dapur dengan termos berisi teh manis dan camilan kecil. “Kita bawain sesuatu, ya? Biar gak dateng tangan kosong.”
“Mereka tuh kayak keluarga sendiri, Mas. Tapi iya, kayaknya Arumi pasti seneng dikirimin roti keju bikinan kamu.”
Setelah semua siap, mereka berangkat. Amara duduk di car seat sambil bernyanyi pelan, Angel menyetel playlist favoritnya, dan Saka menyetir sambil sesekali melirik ke kaca spion menatap putri kecil mereka.
Rumah Arumi dan Damian masih sama seperti terakhir kali mereka berkunjung, hanya saja kini lebih ramai. Dari luar sudah terdengar suara anak-anak berlarian. Begitu mobil mereka berhenti di depan pagar, Damian langsung keluar menyambut.
“Wah, akhirnya dateng juga! Amara, sini peluk Om!”
Amara langsung berlari, memeluk Damian yang langsung mengangkatnya tinggi-tinggi. “Wah, udah makin berat ya kamu. Makan nasi padang terus, ya?”
Angel dan Saka tertawa. Dari balik pintu, Arumi muncul mengenakan daster panjang berwarna pastel, perutnya tampak membulat. Senyumnya merekah.
“Angel, Saka… selamat datang di rumah kami yang sekarang isinya bocah semua.”
Angel menatap perut Arumi, lalu menganga. “Kamu hamil lagi?!”
Arumi tertawa. “Iya, Masya Allah… anak ketiga. Gak direncanain sih, tapi disayang banget.”
Mereka berpelukan hangat. Saka menyalami Damian, lalu menatap anak-anak yang berlarian di ruang tamu. “Ini pasti Arsha dan adiknya?”
“Iya. Arsha udah enam tahun, yang kecil namanya Aidan, umur dua tahun. Nih, si bocil kalau udah lari kayak roket.”
Angel dan Saka dipersilakan duduk. Rumah Arumi kini penuh dengan karya anak-anak—gambar-gambar tempel di dinding, rak mainan, dan tumpukan buku cerita. Meski ramai, rumah itu terasa hangat.
“Aku masih gak nyangka kamu udah punya tiga anak, Rum,” ujar Angel sambil menyentuh ringan perut Arumi.
Arumi nyengir. “Aku juga gak nyangka. Tapi ya gitu, hidup itu penuh kejutan.”
Mereka duduk di teras belakang, tempat favorit Arumi dan Damian. Sambil menyeruput teh dan ngemil roti keju, mereka bertukar cerita.
“Kamu masih ngajar, Angel?” tanya Arumi.
“Iya. Ngisi kelas menulis dua kali seminggu. Tapi kebanyakan waktu aku tetap di rumah. Saka juga ambil proyek freelance, jadi kita bisa gilir jagain Amara.”
Damian mengangguk. “Wah, keren. Aku inget banget waktu kalian masih di fase tarik-ulur. Sekarang udah jadi tim solid banget.”
Angel menatap Saka, tersenyum. “Gak mudah sih, tapi kita saling jaga. Kayak kalian juga.”
Saka lalu menengok ke arah anak-anak yang sedang bermain. Arsha dengan sabar membacakan buku ke Amara dan Aidan yang anteng duduk di sampingnya.
“Anak-anak kalian sopan banget. Kapan ngajarin, sih?”
Damian tertawa. “Sopan kalau ada tamu aja. Nanti kalo gak ada yang liat, rebutan mainan juga.”
“Normal banget,” sahut Arumi. “Kita belajar tiap hari. Bahkan sekarang, aku belajar lagi cara ngatur waktu dengan dua anak aktif dan satu di perut.”
Setelah makan siang, anak-anak tidur siang di kamar depan. Angel dan Arumi duduk berdua di ruang keluarga, sementara Damian dan Saka ngobrol di taman kecil.
“Gimana rasanya hamil ketiga kalinya?” tanya Angel.
Arumi memijat kakinya perlahan. “Lebih santai. Dulu anak pertama aku panikan, yang kedua masih emosional. Yang ketiga ini… ya, pasrah tapi penuh syukur.”
“Kamu hebat, Rum.”
“Enggak juga. Aku cuma bertahan. Kadang ngerasa gak cukup juga. Tapi Damian selalu bilang, ‘Rum, kamu tuh rumahnya anak-anak kita. Dan rumah gak harus sempurna, cukup jadi tempat pulang yang aman.’ Itu ngena banget buat aku.”
Angel mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sering ngerasa gitu. Apalagi pas pertama kali ninggalin Amara buat kerja lagi. Rasanya bersalah setengah mati.”
“Tapi kamu butuh itu. Kita bukan cuma ibu. Kita juga perempuan yang punya impian. Dan gak salah punya dua dunia.”
Di taman, Damian dan Saka duduk di bangku kayu, dikelilingi tanaman hias yang tertata rapi.
“Jadi lo sekarang handle proyek luar negeri dari rumah?”
Saka mengangguk. “Untungnya timnya fleksibel. Gue tetap bisa kerja dari sini, tapi harus pinter atur jam dan nyolong waktu.”
“Gue salut sama lo. Bisa kompromi antara idealisme sama realita.”
“Dulu gue ngotot harus semua sesuai rencana. Tapi makin ke sini, gue sadar—hidup itu bukan soal kontrol. Tapi adaptasi.”
Damian tersenyum. “Lo udah berubah banyak.”
Saka mengangguk. “Angel juga. Dulu dia keras kepala. Sekarang… tetap keras kepala, tapi lebih tenang.”
Mereka tertawa bersama. Persahabatan mereka tak banyak kata, tapi terasa kokoh. Seperti fondasi rumah yang sudah melalui banyak musim.
Menjelang sore, anak-anak terbangun dan minta bermain lagi. Arsha mengajak Amara dan Aidan bermain puzzle di ruang tengah. Sementara itu, Angel dan Arumi duduk di depan TV sambil menonton tayangan dokumenter parenting.
“Kadang aku iri lihat hidup orang lain yang keliatannya gampang,” ujar Angel pelan.
Arumi menoleh. “Semua orang punya capeknya sendiri, Gel. Yang kelihatan tenang, belum tentu gak berjuang.”
Angel mengangguk. “Iya. Tapi lihat kamu dan Damian bisa bertahan, punya anak tiga, dan tetap romantis itu… nyemangatin banget.”
Arumi tersenyum. “Cinta itu bukan soal romantis. Tapi soal memilih setiap hari. Bahkan pas lagi capek, berantem, atau ngerasa jauh. Kita milih untuk tetap ada.”
Angel menggenggam tangan sahabatnya. “Terima kasih udah jadi pengingat.”
Saat malam menjelang, mereka makan malam bersama. Menu sederhana—sop ayam, telur dadar, dan tumis sayur. Tapi hangat. Penuh tawa. Penuh cerita.
Amara duduk di samping Aidan, menyuapi dia dengan sabar. Saka membantu Arumi membagikan piring. Damian menuangkan jus ke gelas-gelas kecil.
Angel menatap sekeliling meja. Dalam hati, ia merasa… ini bukan sekadar kunjungan. Ini semacam pengingat. Bahwa kebahagiaan itu nyata. Bukan yang mewah, tapi yang dekat. Yang sederhana. Yang dibangun dari hari ke hari.
Setelah makan malam, saat mereka bersiap pulang, Arumi memeluk Angel erat.
“Terima kasih udah datang. Rumah ini lebih hangat kalau kalian ada.”
Angel membalas pelukan itu. “Kamu juga rumah buat aku, Rum. Dari dulu.”
Damian menyalami Saka. “Kapan-kapan kita nginep gantian di rumah kalian, ya. Sekalian anak-anak bisa main lebih lama.”
Saka mengangguk. “Boleh banget. Kita siapin kamar khusus buat bocil-bocil.”
Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Amara tertidur di kursi belakang. Angel menyender di bahu Saka.
“Hari ini… menghangatkan banget,” bisiknya.
Saka mencium rambutnya. “Iya. Ngeliat Arumi dan Damian… aku jadi ingat betapa jauh perjalanan kita. Tapi juga betapa banyak cinta yang kita kumpulkan.”
Angel mengangguk. “Dan aku gak sabar nambahin cerita baru di perjalanan kita.”
Mobil terus melaju, menembus malam yang mulai turun. Dan di dalamnya, ada dua hati yang saling menjaga. Dua jiwa yang terus belajar mencintai. Dua orang tua yang terus tumbuh… sambil tetap memeluk anak-anak mereka, dan satu sama lain.
***
Setelah makan malam yang hangat, Damian mengajak Saka melihat koleksi bonsai barunya di sudut taman belakang. Arumi mengajak Angel ke dapur untuk menyiapkan teh hangat, sementara anak-anak asyik bermain dengan mainan edukatif di ruang tengah.
“Tiap sore sekarang Damian suka ngurusin bonsai. Katanya buat terapi stres,” ucap Arumi sambil menuang air panas ke teko.
“Romantis banget sih. Saka tuh gak bisa taneman. Tanaman kaktus aja bisa dia matiin,” jawab Angel terkekeh.
Arumi tertawa, lalu duduk di meja dapur yang menyatu dengan ruang makan kecil. “Tapi dia kelihatan lebih tenang sekarang. Kamu juga.”
Angel mengangguk. “Kita berdua sama-sama banyak belajar. Dari ego, dari masa lalu, dari rasa takut. Tapi akhirnya sadar… rumah tangga bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling mau mengalah untuk tetap bareng.”
Arumi memandangi teh yang mengepul. “Aku relate banget. Pernikahan itu enggak kayak di film. Tapi justru di situ indahnya. Di repot-repotnya, di ribetnya. Kita tahu kita punya seseorang yang tetap berdiri di sebelah kita, bahkan waktu dunia terasa berat.”
Angel lalu membuka pembicaraan yang lebih dalam. “Kamu masih suka ngerasa sendiri gak, Rum? Maksudku, waktu anak-anak sakit, kamu kecapekan, dan Damian gak bisa bantu karena kerjaan…”
Arumi mengangguk pelan. “Masih. Tapi aku udah gak merasa kesepian seperti dulu. Aku belajar bilang kalau aku butuh bantuan. Dan Damian sekarang lebih peka juga. Kita belajar komunikasi dari nol lagi pas anak kedua lahir.”
Angel menghela napas. “Aku juga lagi belajar itu. Kadang aku ngerasa harus bisa segalanya. Tapi ternyata… gak harus.”
“Justru lebih kuat kalau kamu berani minta tolong,” jawab Arumi lembut.
---
Di taman belakang, Damian menunjukkan bonsai jenis juniper yang baru dia rawat sebulan terakhir.
“Gue pikir ngerawat bonsai tuh kayak parenting. Perlu sabar, hati-hati, dan kadang kita harus memangkas ranting yang bikin dia gak tumbuh sehat.”
Saka mengangguk. “Kadang kita harus melepaskan hal-hal yang kita pikir penting, padahal justru bikin kita gak berkembang.”
Damian menoleh. “Lo sekarang jauh lebih dewasa dari terakhir kali kita ngobrol serius kayak gini.”
“Angel ngajarin banyak hal. Gue juga belajar ngerangkul luka-luka masa lalu. Karena ternyata luka gak harus selalu disembuhkan. Ada yang cukup dipeluk aja.”
Damian tersenyum. “Itu kalimat yang dalam banget.”
Saka tertawa kecil. “Gue kebanyakan baca buku sekarang. Biar bisa ngobrol sama Angel tanpa cuma bahas bola atau kerjaan.”
Mereka tertawa bersama. Persahabatan mereka terasa lebih dalam dari sebelumnya. Bukan hanya karena kedekatan, tapi karena sama-sama pernah jatuh dan belajar bangkit.
---
Saat malam semakin larut, Angel, Saka, dan Amara bersiap pamit pulang. Anak-anak mulai mengantuk, dan Arumi mulai terlihat lelah.
“Rum, istirahat yang cukup ya. Jangan terlalu maksa. Hamil anak ketiga tuh bukan hal kecil,” ucap Angel sambil memeluk sahabatnya.
“Iya, aku juga lagi pelan-pelan banget sekarang. Biar gak terlalu ngoyo.”
Damian menyalami Saka dan memeluk Amara. “Besok-besok kita main ke rumah kalian. Gak sabar pengen ngeliat koleksi buku Angel yang katanya udah kayak perpustakaan.”
Saka mengangguk. “Pasti. Kalian selalu ditunggu.”
Mobil mereka melaju pelan di jalanan kompleks yang mulai sepi. Di dalam mobil, Amara tidur di pangkuan Angel, dan Saka menyetir sambil menyenandungkan lagu pelan dari radio.
Angel menatap ke luar jendela, lalu menoleh ke arah Saka. “Kita punya banyak yang bisa disyukuri, ya?”
Saka menatapnya sekilas, lalu mengangguk. “Banyak banget. Bahkan hal-hal kecil yang dulu kita anggap sepele, sekarang jadi berharga.”
Angel menyender di kursi. “Aku gak sabar buat terus nambahin cerita di hidup kita. Entah itu ribut karena cucian belum dilipat, atau nonton bareng Amara yang maksa nonton kartun yang sama berulang kali.”
Saka tertawa. “Kalau kita jalan bareng, semua akan jadi cerita yang indah.”
---
Di rumah, Arumi berbaring di samping Damian, tangannya mengusap perutnya yang membulat.
“Kamu capek?” tanya Damian pelan sambil memainkan rambut Arumi.
“Capek… tapi bahagia. Hari ini hangat banget. Aku seneng liat Angel dan Saka makin solid.”
Damian mencium dahi istrinya. “Aku juga. Mereka kayak ngingetin kita tentang awal-awal kita dulu. Penuh ribut, penuh adaptasi. Tapi akhirnya bisa ketawa bareng.”
Arumi tersenyum. “Aku cuma takut gak bisa adil nanti pas anak ketiga lahir. Arsha dan Aidan aja udah rebutan terus.”
“Yang penting kita terus hadir buat mereka. Bahkan kalau gak bisa sempurna, setidaknya mereka tahu… kita berusaha.”
Arumi memeluk Damian. “Mas… makasih ya. Udah jadi rumah buat aku dan anak-anak.”
Damian membalas pelukan itu erat. “Kita saling jadi rumah. Dan selama kita bareng, rumah itu gak akan pernah runtuh.”
Di luar, malam semakin tenang. Bintang-bintang bertaburan di langit. Dan di dua rumah yang berbeda, dua keluarga kecil saling menyayangi, saling menjaga, dan saling bertumbuh. Dalam kesibukan, dalam tawa, dalam lelah, dan dalam cinta yang terus dipilih setiap hari.
...****************...
ikutin yokk 🤍