NovelToon NovelToon
Trial Of Marriage

Trial Of Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Romansa / Pernikahan rahasia
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.

Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.

Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Quietly Falling Apart

Cahaya matahari sore menembus jendela kaca besar di ruangan Jae Hyun. Namun, suasana hati Jae Hyun sama sekali tidak memantulkan keindahan senja itu. Ia terduduk di kursinya, tubuh membungkuk, satu tangan menekan pelipisnya, dan napasnya berat seperti sedang menahan beban yang tak terlihat tapi terasa sangat nyata.

Pintu diketuk cepat_dan sebelum ia sempat menjawab, Ah Ri sudah masuk dengan langkah tergesa.

"Jae Hyun~a, apa kalian bertengkar?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi, seperti sahabat lama yang sudah cukup tahu bahwa pertanyaan sopan tidak dibutuhkan sekarang.

Jae Hyun tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya mengusap wajahnya yang tegang. Ada gurat frustrasi yang jelas di wajah yang biasanya tak terbaca itu_wajah yang selama ini dikenal dengan ketenangan dan kontrol emosi luar biasa.

Ah Ri memperhatikan gerak-geriknya dan mendesah pelan. "Ya Tuhan… kalian bertengkar, ya?"

Sunyi beberapa detik, sebelum akhirnya Jae Hyun bersuara lirih. "Apa dia menangis?"

Nada suaranya berat. Bukan karena marah, tapi karena menyesal. Karena mencintai. Dan karena tak tahu bagaimana caranya memperbaiki luka yang mungkin ia sebabkan.

Ah Ri mengangguk perlahan, tatapannya melembut. "Iya. Dan dia langsung pergi, meninggalkan kantor. Wajahnya… terlihat benar-benar terpukul. Kau tahu kan, Riin bukan tipe yang kabur dari pekerjaan hanya karena masalah kecil."

"Aku... kehilangan kontrol," gumam Jae Hyun, suaranya penuh penyesalan. "Pikiranku berantakan. Aku tak bermaksud menyakitinya. Tapi aku... meluapkan semuanya padanya. Aku harus mencarinya. Sekarang juga. Aku harus minta maaf."

Ia berdiri, langkahnya sudah menuju pintu, tapi Ah Ri cepat-cepat menahan lengan jasnya.

"Tunggu—kau tak bisa pergi sekarang. Kau punya rapat penting dengan klien dari Jepang, lima belas menit lagi."

Jae Hyun menahan napas, lalu kembali duduk seperti orang yang baru saja dijatuhkan paksa dari ketinggian. Ia menatap kosong ke layar monitor di hadapannya, tapi pikirannya sama sekali tidak berada di ruangan itu.

Ponselnya bergetar pelan. Di layar muncul nama manager perusahaan ayahnya.

Jae Hyun menghela napas dalam, nyaris putus asa. "Kapan semua ini akan selesai..." bisiknya hampir tak terdengar.

Ah Ri menatapnya, bibirnya terkatup. Ia mengenal pria itu_dingin, terkontrol, nyaris tak pernah menunjukkan kepanikan. Tapi kini, di hadapannya, adalah seorang suami yang dilanda panik, frustrasi, dan ketakutan kehilangan seseorang yang diam-diam menjadi pusat hidupnya.

"Jae Hyun~a, apa kau butuh sesuatu?" tanyanya pelan.

Jae Hyun hanya menggeleng lemah. "Keluarlah dulu. Aku harus angkat telepon ini."

Setelah Ah Ri pergi, Jae Hyun menatap ponsel sejenak, lalu menggeser tombol hijau, menjawab panggilan itu dengan suara datar, menyembunyikan badai yang bergolak di dalam dirinya.

***

Di salah satu sudut taman, Riin duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Bahunya naik turun pelan, napasnya berat, dan matanya yang sembab tampak menatap kosong ke arah rerumputan. Di sebelahnya, Seon Ho datang membawa sebotol air mineral dan menyerahkannya tanpa berkata banyak.

"Minumlah," ucapnya lembut, suaranya nyaris tertelan angin. "Setidaknya untuk sedikit menenangkan pikiranmu."

Riin menerima botol itu dengan tangan gemetar. Ia membuka tutupnya perlahan, meneguknya, lalu menggenggam botol itu erat-erat, seperti sedang memegang kendali terakhir atas dirinya yang rapuh. Meski air tak mampu menghapus perasaan bersalah, kecewa, dan marah yang membuncah dalam dadanya, setidaknya sekarang ia bisa bernapas sedikit lebih tenang.

Seon Ho memperhatikannya dengan pandangan yang tak bisa ia sembunyikan_pandangan seorang pria yang masih menyimpan rasa, meski tahu ia tak berhak lagi berharap. Ia duduk tak terlalu dekat, memberi ruang bagi Riin untuk merasa aman, tapi cukup dekat jika gadis itu membutuhkan bahunya.

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa,” katanya pelan. “Aku tidak ingin mencari tahu, aku di sini hanya untuk menemanimu… sampai kau merasa sedikit lebih baik.”

Riin mengangguk pelan. Hanya dua kata yang bisa ia ucapkan saat ini, tapi itu sudah cukup. “Terima kasih.”

Sejenak hanya ada keheningan di antara mereka. Angin yang menggoyang dedaunan dan langkah orang-orang yang lalu-lalang menjadi musik latar yang lembut. Tapi di kepala Riin, pikiran-pikiran berkecamuk. Ia ingin meluapkan semuanya_tentang Jae Hyun, tentang kebekuan yang tiba-tiba menyelimuti hubungan mereka, tentang rasa sakit di tubuhnya, dan rasa sensitif yang seolah datang entah dari mana. Tapi bibirnya kelu.

“Seon Ho-ssi…” panggilnya akhirnya, pelan dan ragu.

Seon Ho menoleh cepat, sorot matanya serius, tapi tetap hangat. "Ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya, meski ia sudah bisa menebak arah pembicaraan gadis itu dari ekspresinya.

“Menurutmu... apa merahasiakan sesuatu dari pasangan itu bisa dimaklumi?” suara Riin serak, tapi ada nada getir yang samar. “Terutama dalam pernikahan?”

Pertanyaan itu membuat dada Seon Ho mengencang. Ia tahu, Riin sedang berbicara tentang Jae Hyun. Tentang luka yang ditimbulkan oleh seseorang yang ia cintai.

“Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda,” jawabnya hati-hati. “Beberapa dari mereka merasa tak perlu ada rahasia, sementara yang lain mungkin punya alasan untuk menyimpan sesuatu… entah untuk melindungi atau sekadar karena takut membuat pasangannya khawatir.”

“Kalau salah satunya sudah berjanji? Bukankah janji itu seharusnya ditepati, bukan malah dilupakan ketika situasi diantara mereka tidak lagi nyaman?”

Nada suara Riin naik setengah oktaf. Ia tidak marah pada Seon Ho, tapi pada luka dalam hatinya_pada Jae Hyun, dan mungkin juga pada dirinya yang selalu bungkam dan selama ini ia pikir sebagai bentuk pengertian.

Seon Ho menarik napas panjang. Ia ingin memeluk gadis itu, tapi ia tahu batasannya. Ia hanya berkata dengan nada netral, “Mungkin… dia tak ingin kau khawatir. Atau mungkin dia terlalu terbiasa memendam semuanya sendirian.”

“Kalau dia benar-benar peduli, dia tak akan membiarkanku bertanya-tanya sendirian seperti orang bodoh,” bisik Riin, lalu menunduk. Air mata yang tadinya tertahan, kini mengalir lagi tanpa ampun.

Seon Ho tak bisa lagi menahan diri. Ia mengulurkan tangan, mengusap pipi Riin dengan ibu jarinya, menghapus air mata yang jatuh. Riin terkejut, tapi tidak menolak. Sentuhan itu terasa seperti selimut tipis di malam musim dingin_tidak cukup untuk menghangatkan sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat tubuhnya tidak menggigil kedinginan.

“Aku tahu aku bukan siapa-siapa dalam kisahmu dan Jae Hyun,” ujar Seon Ho pelan. “Tapi kalau menyimpan ini semua membuatmu sesak seperti ini... setidaknya jangan pernah ragu untuk meminta seseorang menemanimu.”

Riin mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih lunak.

“Kalau kau sudah merasa lebih baik, aku antar kau pulang,” Seon Ho menawarkan, tapi tidak memaksa. Ia tahu, Riin mungkin belum siap menghadapi rumah megah yang kini terasa dingin, meski di sanalah tempat suaminya menunggu.

Riin menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak mau pulang sekarang.”

“Kau butuh istirahat.”

“Yang aku butuh sekarang... mungkin hanya soju,” balas Riin dengan tawa pahit. “Sesuatu yang bisa membuatku lupa segalanya meskipun hanya sebentar.”

“Alkohol bukan solusi, Riin,” kata Seon Ho tegas, namun nada suaranya tetap lembut. “Kalau Jae Hyun tahu_”

“Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan hari ini,” potong Riin cepat, lalu menatap Seon Ho dengan mata penuh kelelahan. “Hari ini, aku ingin menjadi egois. Aku ingin melakukan apapun yang aku inginkan... tanpa merasa bersalah sedikitpun.”

Sejenak, Seon Ho terdiam. Rasa bersalah merayap di sudut hatinya karena ia membiarkan dirinya merasa senang bisa menghabiskan waktu dengan Riin dalam keadaan seperti ini. Tapi ia juga tahu, membiarkan Riin pergi sendirian akan jauh lebih buruk.

“Baiklah,” akhirnya ia berdiri. “Kalau begitu aku akan menemanimu. Tapi kau hanya boleh minum satu gelas. Setelah itu, kita pulang.”

Riin tersenyum samar. “Kau selalu terlalu baik.”

Seon Ho hanya mengangkat bahu. “Mungkin karena aku tahu... aku tidak akan pernah bisa berhenti menyayangimu, bahkan ketika aku sudah tidak punya hak untuk melakukannya.”

Keduanya lalu berjalan pelan, menyusuri jalan setapak taman yang diterangi lampu taman kekuningan. Malam turun perlahan, bersama dengan beban-beban yang masih menggantung dalam diam.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!