Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang menyisakan bau darah dan lelah
Kalau ada penghargaan untuk hari paling menjijikkan dalam hidup Zean, hari ini pasti menang telak. Dengan selisih mutlak. Bahkan hari saat dia tanpa sengaja masuk ke toilet umum pria yang rusak di stasiun, dan dihantam bau limbah kimia biologis kelas neraka, terasa seperti kenangan manis dibanding ini.
Mereka pulang malam itu dengan rasa pegal dan lelah. Rumah Dini menyambut mereka seperti biasa, sepi, agak menyeramkan, dan terlalu besar. Sepatu Zean meninggalkan jejak lumpur dan darah. Ia tidak tahu lagi mana lumpur, mana darah, dan mana keringat yang mengering jadi kerak. Yang ia tahu, tubuhnya pegal, pikirannya kabur, dan matanya seperti milik orang lain, tajam tapi kosong.
Pintu depan berdecit saat didorong. Dini tidak bicara sepatah kata pun, langsung berjalan ke arah kamar mandi. Langkahnya cepat, nyaris terburu-buru.
“Kalau rumah ini mulai bicara sendiri, tolong jangan bilang ke aku dulu,” gumam Zean, nyaris tanpa suara, lebih ke dirinya sendiri.
Lira masuk terakhir, menutup pintu dengan pelan, seolah masih takut sesuatu dari luar akan menyelinap masuk bersama angin.
Di ruang tengah, cahaya lampu gantung yang redup membuat wajah-wajah mereka tampak seperti topeng dari dunia lain. Zean ambruk ke sofa tanpa bicara. Ayu rebah di lantai sebelahnya, napasnya masih berat. Lira menyusul, memeluk lutut, tak lagi peduli kalau debu karpet menempel ke pipinya.
“Dimana Johan?” tanya Zean, suaranya serak.
“Mana aku tau. Mungkin lagi sama Pak Rudi” jawab Lira, terengah.
Ayu duduk pelan, menarik ranselnya, dan mengeluarkan botol minum. Ia meneguk isinya seperti orang yang baru selamat dari padang pasir.
“Kalau besok ada yang ngajak misi lagi, aku pura-pura koma,” gumamnya, lalu kembali menjatuhkan badan. “Biar realistis sekalian.”
Zean menghela napas panjang. Ruangan itu sunyi, hanya ada bunyi detak jam tua dan suara air dari kamar mandi. Ia memejamkan mata, dan untuk sesaat membayangkan dirinya di tempat lain, di dunia sebelum segalanya membusuk.
Tapi bahkan dalam imajinasi, bau darah masih ikut.
Waktu berlalu pelan. Mereka tak benar-benar bicara. Hanya duduk. Menyerap kelelahan, seperti spons yang sudah terlalu basah untuk mengering.
Lampu ruang tengah masih menyala redup saat suara langkah muncul dari arah dapur bawah. Johan akhirnya muncul, membawa 4 kaleng makanan dan sebotol air. Jaketnya kotor, matanya merah seperti habis menggosoknya terlalu keras.
"Loh Dini Dimana?" tanya Johan, membuka satu kaleng, lalu menyodorkan ke Zean. “Makan dulu. Biar nggak tumbang duluan.”
"Kayaknya lagi ke kamar mandi?" jawabnya, sembari mengambil Kareng makanan itu dan mencicipi isinya. Rasanya... tidak jelas. Seperti sarden yang kehilangan semangat hidup.
Johan duduk, menghela napas seperti baru saja ikut maraton emosional yang tak ada medali akhirnya. “Sejak kalian keluar Ayahnya Dini belum banyak ngomong. Dia kayak... patung. Tapi hidup.”
“Zombie?” tanya Zean malas.
“Manusia,” jawab Johan. “Tapi mungkin sudah lama lupa caranya.”
“Papaku memang begitu,” terdengar suara dari arah tangga. Dini muncul, rambutnya masih basah. Wajahnya sedikit lebih segar, tapi matanya tidak. “Darahnya susah banget dibersihin. Dan... bau banget.”
“Darah?” tanya Johan.
“Iya. Tadi dia malah peluk-pelukan sama zombie di ruangan lain. Sambil tiduran pula,” celetuk Zean sambil tetap makan.
“Serius? Tak kusangka... ternyata aku punya teman dengan fetish yang aneh,” gumam Johan sambil melirik Dini.
"Diam kau Zean." balas Dini ketus.
Zean hanya nyengir. “Tapi jujur, itu refleks yang bagus.”
Ayu dan Lira hanya saling pandang. Mereka memilih fokus ke kaleng masing-masing, pura-pura dunia ini masih waras. Johan, di sisi lain, hanya bisa mengerutkan dahi, pikirannya penuh tanda tanya, tapi tidak tahu dari mana harus mulai bertanya. menatap Dini seperti mencoba memahami babak baru dalam drama absurd ini.
Dini bangkit dan mulai membongkar hasil jarahan dari ransel. Ia menyebut satu per satu barang seperti menginventaris mimpi buruk: beberapa kaleng makanan, roti, mie instan, air kemasan, dua kotak kecil obat, masker, dan…
“…Pistol?” alisnya terangkat.
“Oh, itu aku nemu pas nggak sengaja nendang kardus,” sahut Ayu datar.
“Kau bisa pakai?”
“Enggak.”
Tanpa basa-basi, Dini melempar pistol itu ke Zean. “Kau bawa. Kau bisa, kan?”
“Dengan senang hati.” Zean menangkapnya, lalu melihat-lihat sebentar.
“WO-WO-WO! Jangan arahin ke aku, please!” Johan langsung menghindar, setengah panik.
“Aku harap mati nanti bukan karena ketembak kakakku sendiri,” gumam Lira.
Zean menaruh pistolnya, lalu jongkok mendekati mereka. “Kita bisa bertahan berapa lama dengan ini?”
Dini menghitung dalam diam. Jemarinya menari di udara seperti menghitung sisa hari normal.
“Kalau hemat, enam hari. Kalau Lira dan Ayu berhenti ngemil tengah malam, mungkin tujuh.”
“Aku butuh kalori,” protes Lira, lelah.
“Kita semua butuh alasan buat tetap waras,” timpal Ayu.
Zean tersenyum. Untuk pertama kalinya malam itu, dia merasa ada sesuatu yang masih utuh. Ayu mulai terlihat lebih hidup. Mungkin traumanya perlahan surut.
“Kalau kita ke villa itu… mungkin masih ada cadangan. Pamanmu kaya, kan?” Zean menatap tirai jendela yang samar-samar menampilkan langit kelam.
“Dulu,” kata Dini. “Sekarang dia mungkin kaya… zombie.” Ia menyandarkan punggung ke tembok. Ayu memperhatikannya diam-diam.
“Kita harus mikirin langkah selanjutnya,” ujar Johan. Tenang tapi tegas. “Gudang logistik udah. Tapi kita nggak bisa selamanya di sini.”
“Jangan sekarang,” potong Lira. Matanya lelah tapi mantap.
Zean mengangguk “Kalau kita bahas itu sekarang saat otak kita masih bernyanyi ‘zombie-zombie-zombie’, hasilnya bukan strategi. Tapi bunuh diri.”
Lira berdiri, menarik selimut dan melempar diri ke sofa. “Kita bahas besok aja. Aku tidur duluan. Aku capek banget.”
“Aku juga,” Ayu bangkit, menyusul ke kasur kecil di pojok ruangan.
Malam menelan suara mereka. Hanya detak jam, aroma logam, dan sisa dunia yang perlahan hilang. Tapi untuk sementara… mereka masih di sini. Masih bersama. Masih bertahan.
Semua sudah hampir tertidur ketika Zean menyadari Dini belum ikut duduk atau kembali ke kamarnya.
Ia menoleh, dan menemukannya di ambang pintu dapur, memandangi mereka dalam diam.
“Enggak tidur?” tanya Zean pelan, cukup keras agar terdengar, tapi tak sampai mengusik yang lain.
Dini menggeleng, lalu berjalan pelan ke arah jendela, berdiri dengan tangan bersedekap. Tirai agak terbuka, memandangi bayangannya sendiri di balik kaca.
Zean bangkit dari sofa, berjalan pelan menghampiri. Ia berdiri di sampingnya, tak terlalu dekat.
“Mau jagain rumah?” tanyanya.
“Enggak. Rumah ini udah dijaga... sama yang di atas.” Senyum kecil muncul di wajah Dini, samar dan letih. “Ayahku. Dia masih percaya kunci dan senapan bisa melindungi kami dari segala hal.”
Zean menatap pantulan mereka di kaca. Dini terlihat lebih dewasa malam ini. Bukan karena kejadian tadi, tapi karena diamnya. Orang yang bicara banyak biasanya menutupi sesuatu. Tapi Dini justru tampak seperti seseorang yang tahu banyak hal, tapi memilih diam.
Mereka berdiri begitu beberapa saat. Diam, tapi tidak canggung.
"Terimakasih” kata Dini tiba-tiba.
Zean menoleh. “Untuk?”
“Segalanya. Adanya kalian. Malam ini enggak terasa... segelap itu.”
Dini menatapnya, dan untuk sesaat, matanya tak berpaling.
"Seharusnya aku yang bilang seperti itu. Berkat adanya kamu, ayahmu, rumah mu, Aku jadi punya tujuan dan harus bertindak apa, yah walaupun melelahkan." balas Zean menghela nafasnya.
Dini tersenyum kecil. “Aku enggak pernah bayangin kamu bisa ngomong kayak gitu,” katanya, suara lebih pelan.
“Aku juga enggak,” jawab Zean ikut sedikit tersenyum.
Dini menatap ke depan lagi. Hening. Lalu berkata, “Zean... kamu berubah, ya.”
Zean tertawa pendek. “Jangan-jangan kamu baru pertama kali lihat aku kayak gini.”
Dini meliriknya. “Bisa jadi. Setahuku dulu itu kau cuek, malas, ga peduli apapun terhadap orang lain kecuali untuk adikmu. kayak mayat hidup, tapi sekarang malah orang di luar yang menjadi mayat hidup.
Zean tersenyum. "Aku hanya lebih banyak bergerak saja sekarang."
Mereka berdiri dalam diam lagi, saling menatap bayangan masing-masing di kaca. Dunia di luar mungkin sudah runtuh, tapi di balik tirai, ada ruang kecil di mana kata-kata masih bisa bergema dengan tenang.
“Ga mau tidur?” kata Dini akhirnya. “Besok... siapa tahu kita harus lari lagi.”
Zean tak menjawab, hanya memberi anggukan kecil. Tapi sebelum berbalik, ia bertanya, “Bagaimana dengan ayahmu nanti saat kita pindah ke villa itu, dia ikut kan?."
Dini menarik napas. “Aku juga tidak tau.”
memilih untuk tidak mengatakannya. Dengan kondisi ayahnya sekarang, dan sifatnya, dia tau mungkin ayahnya memilih untuk tetap disini.
Zean menoleh pelan, lalu menepuk sandaran kursi saat kembali ke sofa. “Kalau masih enggak bisa tidur... bangunin aku.”
Dini tidak menjawab, hanya memandangi punggungnya dari balik pantulan kaca.
“Biar aku nemenin. Dunia udah cukup sepi, jangan ditambah lagi.” Zean kembali duduk di sofa, Dini masih berdiri di jendela. Tapi kali ini, dia memejamkan mata sejenak, dan di wajahnya ada ketenangan yang baru. Seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu, atau seseorang, yang tak dia sangka masih mungkin ditemukan.
Ia berdiri di sana sedikit lebih lama, sebelum akhirnya duduk sendiri di lantai, bersandar ke dinding, dan memejamkan mata.
Di luar sana, dunia mungkin sedang terbakar. Tapi di dalam sini, setidaknya malam ini... mereka tidak sendirian.