Full Remake, New Edition 🔥🔥
Ini adalah perjalanan Iramura Tenzo, seorang pejuang yang dipanggil ke dunia baru sebagai seorang pahlawan untuk mengalahkan raja iblis.
Namun, dia gugur dalam suatu insiden yang memilukan dan dinyatakan sebagai pahlawan yang gugur sebelum selesai melaksanakan tugasnya.
Akan tetapi dia tidak sepenuhnya gugur.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali muncul, menginjak kembali daratan dengan membawa banyak misteri melebihi pedang dan sihir.
Ia memulai lagi perjalanan baru dengan sebuah identitas baru mengarungi daratan sekali lagi.
Akankah kali ini dia masih memegang sumpahnya sebagai seorang pahlawan atau mempunyai tujuan lain?
Ini adalah kisah tentang jatuhnya seorang pahlawan, bangkitnya seorang legenda, dan perang yang akan mengguncang dunia.
Cerita epik akan ditulis kembali dan dituangkan ke dalam kisah ini. Saksikan Petualangan dari Iramura Tenzo menuju ke jalur puncak dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Perbincangan
Ramez dan Deena sudah kembali, kini berdiri di hadapan Tenzo.
"Yaa, maaf ya, Tenzo. Dia ini memang agak penakut kalau bertemu orang asing," ujar Ramez dengan nada bercanda.
Tenzo hanya mengangguk ringan. "Oh, tidak masalah," katanya santai.
Namun, matanya masih tertuju ke arah Deena yang terlihat gelisah.
"Jadi, Deena..."
"Eh-!!"
Deena tersentak, tubuhnya sedikit menegang. Sepertinya dia masih belum sepenuhnya nyaman berada di dekat Tenzo. Tenzo menghela napas dan memilih untuk langsung ke intinya.
"Aku ke sini untuk mencari buku-buku tentang sejarah dan perkembangan benua ini dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir. Bisakah kamu membantuku mencarikannya?"
Deena terlihat berpikir sejenak, matanya bergerak ke rak-rak buku di sekitarnya. Sambil berusaha menenangkan diri, dia akhirnya berkata, "S-sepertinya ada di sekitar sini. Kalau begitu, ayo ikuti aku."
Tanpa menunggu jawaban, dia segera berbalik dan berjalan cepat, seolah ingin menghindari tatapan Tenzo.
Ramez terkekeh kecil melihat tingkahnya, lalu menepuk bahu Tenzo. "Jangan diambil hati. Dia memang seperti itu kalau bertemu orang yang baru dikenal."
Tenzo hanya mengangguk dan mengikuti mereka.
***
Setelah melewati beberapa rak buku, mereka akhirnya tiba di lantai dua.
"B-baiklah," ucap Deena, sedikit terengah karena berjalan cepat. "Buku-buku yang kamu cari ada di rak ini."
Dia menunjuk ke rak di belakangnya.
Tanpa ragu, Tenzo segera berjalan mendekat, matanya menyisir jejeran buku di sana.
Saat itu juga, Deena langsung menjauh dan berlindung di belakang Ramez, seolah memastikan ada penghalang antara dirinya dan Tenzo.
Ramez hanya bisa mendesah pelan. "Kau ini berlebihan..."
Tenzo, yang sudah fokus pada bukunya, tidak terlalu memperhatikan tingkah mereka.
Dia mengangkat tangan, meraih beberapa buku yang terlihat relevan. Setelah merasa cukup, dia menuju meja terdekat dan mulai membaca.
***
Detik demi menit berlalu, hingga akhirnya sudah berjam-jam Tenzo fokus membaca. Dia membuka halaman demi halaman dengan gerakan cepat namun terkontrol, matanya meneliti setiap kata dengan penuh perhatian.
Deena dan Ramez, yang awalnya hanya berdiri di dekatnya, akhirnya memutuskan untuk ikut membantu. Mereka mulai mencari buku lain yang mungkin berguna dan mengantarkannya kepada Tenzo.
Tanpa terasa, hari sudah beranjak sore.
Tenzo mengangkat kepalanya sejenak, lalu menoleh ke jendela. Cahaya jingga senja mulai menyelinap masuk, menandakan bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat.
Dia menutup buku terakhirnya, menghela napas pelan.
"Kurasa ini sudah cukup," gumamnya.
Selama tiga hari berturut-turut, dia datang ke perpustakaan, membaca dari pagi hingga sore, lalu menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan mengelilingi kota sebelum kembali ke penginapan.
Sekarang, dia akhirnya merasa puas dengan informasi yang didapatkan.
Dia menyelipkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan kartu petualangnya.
Benar, beberapa hari yang lalu, dia sudah mengambil kartu ini.
Namun, sebelum benar-benar mulai bertindak sebagai petualang, dia ingin memastikan dirinya memahami perkembangan dunia terlebih dahulu.
Kini, dengan semua informasi yang sudah dikumpulkan, waktunya untuk bergerak ke tahap selanjutnya.
***
Setelah menyusun kembali buku-buku yang sudah selesai dibaca, Tenzo berdiri dan bersiap pergi.
Deena, yang selama ini mengantarnya keluar setiap sore, kini tidak lagi terlihat canggung di dekatnya.
Setelah tiga hari melihat bagaimana Tenzo begitu serius membaca, kesan ‘penjahat’ yang awalnya dia bayangkan kini benar-benar sirna.
Malah, dia mulai berpikir bahwa Tenzo adalah seorang kutu buku yang lebih suka tenggelam dalam bacaan ketimbang melakukan hal-hal menakutkan.
"Tuan Tenzo… Dada, sampai jumpa lagi!" katanya sambil melambaikan tangan dengan senyum ramah.
Tenzo membalas dengan anggukan ringan. "Iya, sampai jumpa juga, Deena."
Kemudian, dia meninggalkan perpustakaan.
**
Di Perjalanan
Saat berjalan menuju penginapan, Tenzo melihat sosok yang familiar di kejauhan. Itu adalah Ramez, yang sedang membawa kantung besar berisi makanan. Tenzo mempercepat langkahnya, lalu menepuk pundaknya dengan santai.
"Oi, Ramez. Dari mana saja kamu?"
Mengenali suara itu, Ramez segera menoleh.
Begitu melihat Tenzo, dia tersenyum dan mengangkat kantung yang dibawanya.
"Oh, Tenzo. Kamu sudah selesai membaca ya? Seperti yang kamu lihat, aku baru saja berbelanja untuk makan malam ini."
Tenzo tertawa kecil.
"Hahaha, seperti yang kuharapkan darimu. Ayo kita pulang segera. Perutku sudah lapar nih."
"Setuju. Aku juga sudah tidak sabar makan malam."
Tanpa menunda lagi, keduanya pun berjalan bersama-sama, menuju penginapan.
Suasana di dalam penginapan terasa tenang. Lampu-lampu penerangan yang redup memberi kesan hangat, sementara di luar, angin malam berhembus pelan, menggoyangkan tirai jendela.
Tenzo dan Ramez sudah selesai makan malam. Piring kosong masih tertinggal di meja, sementara mereka bersandar di kursi dengan perut kenyang. Rasa kantuk mulai menyerang, tapi sebelum tidur, ada satu hal yang harus mereka bahas.
Tenzo menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memulai pembicaraan lebih dulu.
"Ramez, besok kita mulai mengambil misi dan meninggalkan kerajaan ini. Aku serahkan kepemimpinan Party kepadamu."
Ramez mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Hah? Kenapa aku?"
"Karena peringkatmu lebih tinggi dariku," jawab Tenzo santai. "Dengan begitu, kamu punya lebih banyak pilihan misi. Yah, aku berharap kamu memilih sesuatu yang menantang."
Ramez terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Hm, kalau itu pilihanmu, baiklah. Aku akan menurutinya saja."
Namun, sebelum pembicaraan berakhir, Ramez tampak bimbang sejenak. Matanya menatap Tenzo, ragu-ragu, sebelum akhirnya dia membuka suara.
"Tenzo, bolehkah aku bertanya sesuatu? Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku ingin bertanya, tapi kamu sibuk, jadi aku menahannya."
Tenzo menoleh padanya. "Tentu. Selama aku bisa menjawabnya, aku tidak keberatan."
Ramez menarik napas dalam sebelum mengajukan pertanyaannya.
"Sebenarnya, kamu ini berasal dari mana?"
**
Tenzo tidak langsung menjawab. Dia menatap ke arah jendela, matanya sedikit menyipit, seakan sedang menimbang kata-kata.
Akhirnya, dia berkata, "Aku yakin kamu pernah mendengar salah satu kerajaan bernama Inavosta."
Ramez mengerutkan kening, mencoba mengingat.
"Inavosta...? Hmm... aku rasa aku pernah mendengarnya. Bukankah itu kerajaan yang terletak di ujung barat?"
Tenzo mengangguk. "Benar. Aku berasal dari sana. Lebih tepatnya, aku adalah bagian dari tim pahlawan yang dibentuk oleh kerajaan itu."
Mata Ramez membelalak. "Tunggu... kamu seorang pahlawan?!"
Tenzo tersenyum kecil. "Bukan lagi."
Dia menyandarkan kepalanya ke kursi, lalu melanjutkan, "Aku sudah mengatakannya sebelumnya, bukan? Aku tidak lagi mengakui diriku sebagai pahlawan. Selain karena statusku yang telah tiada, ada alasan lain yang lebih besar."
"Alasan apa?"
Tenzo menarik napas pelan sebelum menjawab.
"Karena aku dulunya yang paling lemah di tim itu."
Kata-kata Tenzo membuat Ramez terdiam.
"Serius?!"
"Ya," jawab Tenzo dengan nada datar. "Ketika tim pahlawan pertama kali dibentuk, aku hanya bisa menggunakan sihir angin tingkat menengah. Selebihnya, aku mengandalkan teknik pedang dan daya tahanku sebagai karunia ku yang sudah ada dari lahir. Sedangkan rekan-rekanku? Mereka semua adalah orang-orang luar biasa dengan kekuatan yang jauh melebihi diriku. Bisa dibilang, aku ini hanyalah beban."
Ramez menatapnya tidak percaya.
Orang yang sekarang ada di hadapannya ini adalah petarung yang mampu mengalahkannya dengan mudah, bahkan tanpa terlihat berusaha. Tetapi, dulu ia adalah yang terlemah?
Sebuah kontradiksi yang sulit dipercaya.
"Tapi sekarang, aku bukan lagi diriku yang dulu," lanjut Tenzo. "Aku ingin memulai semuanya dari nol. Kali ini, bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai petualang."
Ramez masih mencoba mencerna cerita itu, tetapi ada satu pertanyaan lain yang mengganggunya.
"Tenzo, ada hal lain yang ingin kutanyakan."
"Apa?"
Ramez sedikit menegang sebelum melanjutkan. "Saat kita pertama kali bertarung, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah ada yang menebasku meski kamu tidak menyentuhku langsung. Apa itu salah satu teknikmu?"
Senyuman kecil muncul di wajah Tenzo.
"Oh, yang itu?"
Dia menyilangkan tangannya dan menutup matanya sebentar.
"Itu adalah teknik yang kukembangkan setelah aku ‘dinilai telah tiada’. Aku menamakannya Soul Slash."
Ramez merinding. "Soul Slash...?"
Tenzo mengangguk. "Tekniknya simpel. Aku hanya perlu membayangkan tubuhku sebagai pedang, kemudian membayangkan posisiku sudah siap menyerang. Setelah itu, aku melancarkan serangan. Targetku tidak akan menerima luka fisik, tetapi jiwa mereka yang akan merasakannya."
Ramez membatu.
"Jadi... saat itu, kau menebas jiwaku?"
"Bisa dibilang begitu," kata Tenzo santai. "Dan lebih menarik lagi, teknik ini tidak menggunakan sihir."
Ramez terbelalak.
"T-Tanpa sihir?!"
Sebagai seorang petualang yang sudah berpengalaman, Ramez tahu betapa tidak masuk akalnya teknik itu. Sihir umumnya adalah sumber utama kekuatan di dunia ini, tetapi Tenzo baru saja mengatakan bahwa dia bisa melukai seseorang hanya dengan niat serangan.
Bahkan lebih buruk lagi, tanpa perlu menyentuh mereka.
"Itu... teknik yang mengerikan..." Ramez menelan ludah.
Namun, Tenzo hanya terkekeh kecil.
"Kamu baru mendengar seperti itu saja sudah ketakutan?" katanya dengan nada menggoda. "Jika aku meningkatkan kekuatan Soul Slash, aku bisa melukai tubuh target, bukan hanya jiwa mereka. Bahkan, aku tidak perlu bergerak sama sekali untuk membunuh mereka."
Ramez terdiam, ngeri.
"Jadi..." katanya dengan suara bergetar. "Saat kita bertarung dulu, serangan yang kau gunakan... itu belum apa-apa?"
Tenzo hanya tersenyum tipis.
"Anggap saja... aku hanya sedang menyapamu."
Ramez langsung membatu.
Menganggap serangan yang membuatnya hampir kalah total sebagai salam perkenalan?
Tenzo benar-benar bukan orang biasa.
Setelah itu, mereka terus berbincang, mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang semakin dalam. Ramez ingin tahu lebih banyak, dan Tenzo tidak keberatan menjawabnya.
Mereka membicarakan masa lalu, teknik bertarung, serta rencana ke depan. Tanpa sadar, malam telah semakin larut.
Kantuk yang sebelumnya terasa kini menghilang, tertutup oleh rasa penasaran yang terus membakar.
Dan akhirnya, pembicaraan mereka berlanjut hingga tengah malam.