Nyatanya, cinta sepihak itu sangat menyakitkan. Namun, Melody malah menyukainya.
Cinta juga bisa membuat seseorang menjadi bodoh, sama seperti Venda, dia sudah cukup sering disakiti oleh kekasihnya, namun ia tetap memilih bertahan.
"Cewek gak tau diri kayak lo buat apa dipertahanin?"
Pertahankan apa yang harus dipertahankan, lepas apa yang harus dilepaskan. Jangan menyakiti diri sendiri.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Kenapa, Nda?" Melody tengkurap dan menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah Venda.
"Gue harus gimana ya, Mel?"
"Kenapa lagi? Serangga?" tebak Melody.
Venda cemberut dan mengangguk. "Gue lagi marah sama dia, terus gue blok nomornya. Tapi dia malah balik marahin gue, Mel."
"Biarin aja. Biar dia kapok."
"Mana bisa gitu!"
"Ya terus mau gimana? Emang dia bilang apa ke lo?"
Venda terdiam, tapi beberapa detik kemudian Melody menerima sebuah foto dari Venda. Tanpa menunggu lama, Melody langsung membuka foto tersebut. Ternyata berupa screenshot chat.
Danu
Buka blok nya, sialan!
Lo berani sama gue, hah?
Buka blok nya bangssat!
Biar apa lo begitu? Lo pikir gue bakal bujuk lo gitu?
Cepat buka blok nya atau gue samperin lo ke rumah sekarang!
Melody berdecak kesal membaca chat tersebut. Chat itu sama sekali tidak dibalas oleh Venda, karena itu pasti Rangga yang meminjam ponsel Danu.
"Terus gimana? Dia nyamperin lo?" tanya Melody kembali fokus pada Venda.
"Belum. Gue takut dia marah-marah nanti kalau ke sini. Gue sendirian di rumah, Mel. Mama sama papa pergi ke acara."
"Ya udah, gue otw ke sana. Jaga-jaga kalau si Serangga nyamperin lo." Melody bangkit dari ranjangnya dan mengambil sweater lalu memakainya untuk melapisi piyama.
"Serius? Lo naik apa ke sini? Mau gue jemput gak?"
"Naik motor lah!"
"Ngerepotin gak, Mel?"
"Apa sih? Kayak sama siapa aja lo! Udah dulu, gue otw."
Tanpa menunggu balasan Venda, Melody menutup panggilannya.
"Awas aja lo Serangga!" gumam Melody. Dia keluar dari kamar.
"Mau ke mana, Mel?" tanya Hadinata yang sedang nonton TV sambil duduk di sofa bersama Airani.
"Ke rumah Venda bentar, Pa. Dia sendirian, takut katanya," jawab Melody. Dia menyalami tangan kedua orangtuanya.
"Mau Papa antar?"
"Nggak usah. Aku naik motor."
"Hati-hati, sayang. Itu motornya susah," ucap Airani.
Melody mengangguk. "Aku berangkat dulu."
"Iya."
Melody melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Angin malam yang dingin tak ia hiraukan. Hingga beberapa menit kemudian, Melody sudah sampai di depan pagar rumah Venda. Dia berdecak kala melihat motor Rangga sudah terparkir di sana.
Gadis itu buru-buru masuk ke dalam halaman rumah Venda tanpa melepas helm nya.
"Lo berani sama gue?" Rangga mencengkram lengan Venda.
"Gak usah kayak gini, Ngga. Lepasin tangan aku, sakit!" Venda berusaha memberontak, namun Rangga malah semakin mengeratkan.
Bugh!
Helm pink Melody menghantam punggung Rangga dengan keras, membuat cowok itu langsung berbalik. Venda terbelalak melihat keberanian Melody.
"Lo cowok apa bukan?" tanya Melody. Tatapannya terlihat datar.
"Lo berani sama gue, hah?" Rangga mendorong tubuh Melody hingga gadis itu mundur beberapa langkah.
"Rangga—"
Rangga langsung menepis tangan Venda yang memegang lengannya. Tatapannya lurus ke arah Melody.
"Gue lihat-lihat, lo makin berani. Jangan kira selama ini gue diam karena gak bisa ladenin lo." Ia melangkah mendekati Melody. "Gue bisa aja bunuh lo detik ini juga."
Venda semakin panik. Dia takut Melody kenapa-kenapa, oleh sebab itu Venda nekat menghubungi Gian, karena hanya si ketos yang bisa menyelamatkan Melody.
"Kalau gitu, bunuh gue sekarang. Dasar banci, berani sama perempuan!" Melody berdecih.
Brugh!
Melody jatuh tersungkur karena dorongan keras dari Rangga. Venda semakin kalang kabut, dia segera membantu Melody berdiri.
"Mel, lo pulang aja, ya?"
"Nanggung," jawab Melody.
"Nanggung pala lo! Dia cowok, Mel. Emang lo bisa bela diri, hah?" bisik Venda. Dia geram sekali melihat Melody yang sangat santai.
"Minggir. Gue mau kasih dia pelajaran," gertak Rangga pada Venda yang berada di depan Melody.
Venda berbalik dan memasang wajah memelas. "Rangga, please... Sejak kapan kamu jadi kasar gini? Oke, aku buka blokir nya, tapi kamu pulang sekarang ya?" bujuknya.
"Udah ya?" Venda memberanikan diri untuk memegang tangan Rangga. Dia berusaha untuk meredakan amarah yang menguasai cowok itu.
"Minggir, Nda. Gue mau tempeleng kepala dia yang keras kayak batu itu," celetuk Melody. Namun Venda buru-buru berdiri di depan Rangga dan merentangkan kedua tangannya.
"Jangan ngada-ngada, Mel. Mending lo pulang sekarang, gue udah telpon si ketos buat jemput lo," ujar Venda membuat Melody melotot ke arahnya.
"What?! Maks—"
"Melody."
Belum sempat Melody menyelesaikan ucapannya, suara Gian sudah menginterupsi. Sontak saja ia menoleh ke arah Gian. Cowok itu memakai kaos putih dan celana jeans berwarna hitam.
"Tolong antar Melody pulang, ya. Sorry ngerepotin lo," kata Venda dan Gian hanya mengangguk.
"Sana, Mel. Hati-hati, ya!" Venda menarik tangan Rangga untuk masuk ke dalam rumah.
Melody menatap kedua manusia itu dengan tatapan tak percaya. Apa-apaan ini?! Bahkan dia belum mengeluarkan jurus andalannya untuk memberi Rangga pelajaran.
"Ayo. Gue antar." Gian hendak menarik tangan Melody, namun dia malah menghindar. Melody memilih mengambil helm nya yang terjatuh.
"Aku bisa pulang sendiri," balasnya. Dia sama sekali tak mau menatap wajah Gian.
Gian mengamati Melody yang naik ke motornya. Sampai Melody mulai menjalankan motornya, barulah Gian segera menyusul dan membuntuti Melody dari belakang.
Apapun yang Melody katakan, Gian tak menghiraukannya, karena dia akan tetap mengantar Melody sampai tujuan.
****
Pagi harinya, Melody berjalan malas menyusuri lorong koridor. Dia berdecak kala mengingat pesan yang dikirim oleh Venda tadi pagi.
Hari ini gue izin gak masuk, Mel. Gue mau ke luar kota.
Hampa rasanya kalau tidak ada Venda. Padahal mereka baru cek-cok tadi malam. Bahkan Melody tak yakin jika itu adalah alasan Venda tidak masuk. Bisa jadi karena Rangga. Melody memang se sensi itu jika berhubungan dengan Rangga.
Sebelum masuk kelas, Melody melipir lebih dulu ke loker untuk mengambil seragam olahraga nya, karena jam pelajaran pertama adalah olahraga.
Masih terlalu pagi sebenarnya, tapi Melody sengaja datang lebih awal karena dia ingin menghindari Gian.
"Tau gitu gue gak sekolah juga tadi," gumamnya seraya berdecak. Dia memutar kunci loker lalu membuka pintunya.
Ceklek
"Akkhhhhh!"
Brak!
Melody menutup lokernya kembali dengan kencang, dia memegangi dadanya yang berdegup kencang.
Hampir 2 tahun bersekolah di sini, baru kali ini dia mendapati lokernya berisi bangkai tikus.
Tangannya gemetar, dia melangkah mundur hingga tubuhnya terpojok oleh dinding yang dingin. Dia memejamkan matanya dengan erat. Bayangan tikus mati itu terus berputar dalam benaknya. Melody adalah tipe orang yang gampang teringat sesuatu buruk, jika dia memejamkan mata, pasti akan teringat.
"Kenapa, Mel?" Cindy yang hendak masuk kelas pun mengurungkan niatnya ketika melihat Melody seperti ketakutan.
Melihat Melody yang masih takut, Cindy pun menatap loker Melody yang tertutup. Gadis itu hendak melangkah, namun tangannya dicekal oleh Melody.
"Jangan dibuka. Gue mual," lirihnya.
Kening Cindy mengerut. Dia semakin bingung dengan apa yang terjadi.
"Ada apa?" Suara seseorang membuat keduanya menoleh bersamaan.
"Kebetulan ada Kak Laut di sini. Kayaknya di dalam loker Melody ada sesuatu, bisa tolong cek kan?" kata Cindy meminta tolong. Dia merangkul pundak Melody yang masih menunduk.
Laut melirik Melody sebentar lalu berjalan menuju loker tersebut.
"Yang itu, Kak." Cindy menunjuk pintu loker milik Melody.
Tanpa ragu Laut pun membukanya. Tapi, baru satu detik dia langsung menutup pintunya kembali.
"Kenapa?" tanya Cindy.
"Bangkai tikus," jawab Laut. Dia mengibaskan tangannya di depan wajahnya.
"Kok bisa?!" Cindy menatap Melody dengan tatapan terkejut. Untung saja dia tidak membuka loker itu tadi.
"Gue panggil petugas kebersihan dulu. Kalian masuk kelas aja," kata Laut.
Laut adalah wakil ketua OSIS. Dia lebih sering memantau bagian gedung kelas daripada bagian luar, seperti Gian.
"Ayo, Mel."
Melody menurut saja saat Cindy menuntunnya pergi dari sana.
"Kenapa tuh?" Jaka yang menoleh ke arah Melody dan Cindy, dia mengurungkan niatnya untuk menuju kelasnya.
"Paling galau lagi," sahut Lutfi. Dengan malas dia mengikuti langkah Jaka.
"Masa sih? Kayaknya gak mungkin," kata Jaka.
"Hai girls," sapa Jaka seperti biasa.
"Pindah kelas lo?" tanya Cindy. Dia memberikan sebotol air pada Melody.
"Yakali gue kelas Bahasa, yang ada makin puyeng kepala gue." Jaka beralih menatap Melody yang sedang minum, lalu kembali menatap Cindy sambil mengangkat kedua alisnya seolah bertanya.
"Ada yang taruh bangkai tikus di loker Melody. Sekarang lagi diberesin sama Kak Laut," jawab Cindy.
"Bangkai tikus? Kok bisa?" tanya Lutfi.
Cindy mengendikkan bahunya acuh. Dia menunduk menatap Melody yang duduk. "Mau ke UKS aja, Mel? Muka lo pucat btw," tawarnya.
"Nah iya tuh, mending ke UKS aja kalau kata gue mah, daripada lo makin lemes," sahut Jaka.
"Nanti gue izinin lo deh," lanjut Cindy.
Melody terdiam sebentar. Kalau ke UKS dia tidak akan belajar, kan? Ini kesempatan bagus.
Gadis itu mengangguk. "Gue ke UKS aja kalau gitu."
"Bagus. Ayo, gue antar," kata Cindy. Namun Melody segera menolaknya.
"Nggak perlu. Gue masih bisa jalan."
Cindy mengangguk dan membiarkan Melody beranjak dari sana.
Setelah memastikan Melody keluar, Jaka langsung menatap Cindy. "Lo tau siapa yang taruh bangkai tikus itu?"
"Nggak lah! Orang gue baru sampai tadi," jawab Cindy.
"Mungkin itu tikus yang kejebak di dalam loker Melody," sahut Lutfi berusaha berpikir positif.
"Gak mungkin," kata Jaka.
"Mungkin aja."
"Ya lo pikir aja sendiri, loker itu selalu dikunci, gak ada bagian yang bolong. Terus gimana tikus bisa masuk?" sinis Jaka.
Lutfi mengendikkan bahunya acuh. Dia memilih pergi dari sana daripada ikut memikirkan yang bukan urusannya.
bersambung...