Althea hanya ingin melupakan masa lalu.
Tapi takdir membawanya pada seorang Marco Dirgantara ,CEO Dirgantara Corp sekaligus mafia yang disegani di Eropa.
Kisah cinta mereka tidak biasa. Penuh luka ,rahasia dan bahaya.
Bab 28 - Keputusan Althea
Udara di ruang kerja itu masih menyimpan aroma tegang dari pertemuan mereka. Althea berdiri terpaku, jemarinya bergetar, napasnya belum sepenuhnya teratur. Marco sudah melangkah keluar tanpa menoleh, menyisakan dentum langkahnya yang berat.
Di lorong mansion, ponselnya berdering. Suara sang Momy terdengar tajam, tak memberi ruang untuk penolakan.
> “Persiapkan dirimu. Besok kita umumkan pertunanganmu dengan Patricia. Media sudah menunggu.”
Marco hanya menanggapi dengan gumaman rendah. Tidak ada kata setuju, tapi juga tidak ada penolakan. Ia tahu, melawan orang tuanya di depan publik hanya akan menimbulkan badai yang lebih besar.
---
Ke esokan harinya, layar-layar besar di pusat kota, siaran televisi, dan trending di media sosial dipenuhi satu gambar ,Marco Dirgantara dan Patricia Brown. Mereka berdiri berdampingan. Patricia, dengan gaun satin putih gading dan senyum manis, menggenggam tangan Marco yang terlihat sangat tampan dibalut jas hitam elegan. Momy dan Dady Marco juga kedua orang Patricia berdiri di belakang mereka, dengan wajah penuh kebanggaan.
“Pasangan sempurna dan Fenomenal yang sama-sama berasal dari keluarga terpandang,” begitu kata pembawa acara.
Flash kamera berkilat tanpa henti. Marco memandang Patricia sekilas, dingin tapi cukup untuk ditangkap kamera sebagai tatapan “hangat”.
Di ruang latihan MuseVibe, suasana seketika hening. Semua mata menatap layar TV yang dipasang di sudut ruangan. Althea, yang baru saja selesai mengambil napas setelah latihan vokal, ikut memandang. Dan saat matanya menangkap gambaran Marco menggenggam tangan Patricia ,seluruh dadanya seperti diremas.
Keringat di pelipisnya terasa dingin. Tenggorokannya mengering. Tidak ada suara ,hanya dentuman jantung yang menggema di telinganya. Foto-foto itu, senyum Patricia, tangan Marco yang begitu... terlihat tulus bagi orang lain ,semuanya menusuknya dari segala arah.
Jay menoleh, menyadari perubahan di wajahnya.
“Althea…”
“Aku... keluar sebentar,” jawabnya lirih, lalu berjalan meninggalkan ruangan sebelum ada yang bisa menghentikannya.
---
Di tempat lain, Leon berdiri di tepi balkon gedung kantornya, memandang layar iklan raksasa yang menampilkan wajah Patricia tersenyum bahagia di samping Marco.
Seharusnya ia senang karena Patricia pernah menjadi dunianya. Namun setiap senyum Patricia untuk Marco adalah luka yang mengupas kenangan mereka ,tawa di bangku kuliah, tangan yang dulu erat menggenggamnya. Ia menarik napas panjang, menekan rasa sakit itu dalam-dalam.
---
Ke esokan hari nya ,selesai acara konferesi Pers di media lain ,Marco menolak mengantar Patricia pulang dengan alasan pekerjaan. Namun yang sebenarnya terjadi ,hatinya merasa tidak tenang. Dari kemarin ia belum bertemu Althea ,dan perasannya diliputi rasa bersalah dan cemas , “Althea pasti sudah melihatnya.” ucapnya lirih.
Beberapa saat kemudian pintuk diketuk pelan, Reno masuk membawa tabletnya.
“Tuan ,adik anda masih belum bisa dihubungi sejak kemarin. Semua jejaknya menghilang. Saya sudah kirim orang untuk melacak.”
Marco hanya mengangguk pelan, rahangnya mengeras. Luke menghilang di tengah pusaran ini menandakan sesuatu yang lebih dari sekadar kabur.
Jam makan siang ,Marco datang menemui Althea yang terlihat masih menatap layar komputer dengan serius.
Mendengar suara pantofel mendekat ke arah nya ,Althea menoleh. Ia sedikit terkejut namun kembali melanjutkan pekerjaan nya.
Marco berjalan mendekat ,dan berhenti tepat di belakang kursi kerja Althea. Marco mengehela nafasnya berat ,kemudian memecah kesunyian...
"Aku tahu ini berat bagimu. Namun aku belum bisa memutuskan apa-apa ,maaf kan aku.”
Tanpa menunggu Althea menjawab ,ia berbalik badan melangkah keluar ruangan meninggalkan wangi parfume maskulin dan rasa sakit yang kembali menyentuh hati Althea.
Air mata Althea menggenang di pelupuk mata. Namun segera ia usap. "Tapi aku sudah memutuskan Marco ,3 hari lagi aku akan pergi sejauh yang aku bisa." Ucapnya lirih.
---
Malam mulai turun. Headline media terus mengulang-ulang:
> “Marco & Patricia – Ikatan Dua Keluarga Besar yang Mengguncang Dunia Bisnis.”
“Chemistry Mereka di Panggung Konferensi Pers Bikin Netizen Meleleh.”
Althea membaca itu semua dari layar ponselnya, sembari duduk di sudut kamar yang gelap. Ia memeluk lututnya sendiri. Setiap kata dari media seperti pisau yang menusuknya lambat.
Foto-foto itu.. tatapan Marco pada Patricia... semuanya seperti mengkonfirmasi bahwa selama ini, dirinya hanyalah bayangan. Ia tak ingin menangis. Ia hanya ingin marah, berteriak, tapi suara itu terjebak di tenggorokannya.
Tiga hari... Ya! Hanya tiga hari lagi ia akan menyandang status Isteri Marco Dirgantara. Setelah itu semuanya akan berubah. Besok ia masih akan kembali latihan di sore hari ,sementara pagi harinya ia akan menyeleseikan beberapa proposal kerja sama. Lusanya gladi resik. Dan pada malam konser, setelah lagu terakhir, ia akan menghilang bersama Ares.
Siang tadi ia sudah diam-diam pergi ke kantor notaris. Gugatan cerai sudah siap. Tinggal tanda tangan terakhir tepat siang hari sebelum konser. Tidak ada satupun yang tahu, bahkan Jay.
---
Ke esokan harinya ,ketika ia baru selesai latihan ,tanpa ada seorang pun menyadari , langkahnya membawanya ke rooftop kantor MuseVibe. Angin malam menusuk kulit, tapi justru membuat dadanya sedikit lega.
Pemandangan kota di bawahnya berkilau, kontras dengan hatinya yang suram. Air matanya akhirnya jatuh ,diam-diam, tapi deras. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah ingin menahan pecahnya seluruh perasaan yang ia sembunyikan selama ini.
Suara langkah pelan terdengar di belakang.
“Althea...” suara itu hangat dan lembut.
Jay.
Althea tidak menoleh. Ia tidak ingin dilihat saat rapuh seperti ini. Tapi Jay tidak bertanya. Ia hanya mendekat, lalu berdiri di sisinya. Saat bahunya mulai bergetar, Jay begerak memeluknya. Bukan pelukan posesif, bukan pelukan penuh tuntutan. Namun pelukan yang seolah ingin mengatakan 'Kamu aman di sini.'
Althea menutup mata. Untuk sesaat, ia bisa menghirup aroma cologne Jay yang lembut, dan merasakan ketulusan yang tidak pernah ia temukan di rumah besar itu.
Ketika Jay menarik sedikit jarak, ia menatapnya ,wajah Althea masih basah oleh air mata, bibirnya bergetar, matanya terlihat sayu.
“Jay Kenapa kamu... ” suaranya terhenti ketika Jay mengangkat tangan mengisyaratkan untuk tidak perlu bicara ,kemudian menyentuh pipinya dengan jemari yang hangat.
Sentuhan itu membuat napas Althea tercekat. Ada detik singkat di mana ia ingin mundur ,menarik batas. Tapi Jay tiba-tiba menunduk, bibir Jay menyentuh bibirnya lembut, dan penuh kesabaran.
Althea membeku. Matanya terpejam tanpa sadar.
Ciuman itu bukan untuk membakar, tapi untuk meredakan. Bukan untuk menuntut, tapi untuk menghibur. Dan di antara dinginnya angin malam, bibir Jay terasa seperti api kecil yang menghangatkan bagian terdalam dirinya yang hampir mati.
Saat Jay menarik diri, jarak di antara mereka hanya sehelai napas. Althea membuka mata perlahan, menatapnya ,dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa dilihat sebagai seorang perempuan... bukan sekadar istri di atas kertas, atau boneka di pangkuan pria berkuasa.
Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, rasa bersalah tetap mengendap. Karena meski ciuman itu menenangkan, bayangan Marco masih menahan separuh jiwanya.
Kakak Reader ,jangan lupa vote like dan komen yaaa.. mohon dukungan nya kak🥰
ko bisa ingat Jay apa benar akan kembali ke jay Thor
peran utama kalah dengan peran pembantu
kata NK mulai ini masih Marco yg di atas angin