NovelToon NovelToon
Misteri Desa Lagan

Misteri Desa Lagan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu / Tumbal
Popularitas:522
Nilai: 5
Nama Author: rozh

Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3. Tidur Di Rumpun Tebu

Setelah bermain ponsel beberapa saat, Saddam bangkit dan mengambil pakaian dan handuknya, serta peralatan mandi seperti odol, sikat gigi, sabun, dan sampo.

“Kau mau mandi, Dam?” tanya Diro.

“Enggak, mau taraweh,” balas Saddam asal. "Udah jelas bawa handuk, ya mandilah!" ketus Saddam.

“Tunggu Dam, kita mandi bareng, ya!” seru Diro.

“Ogah!” Saddam berjalan keluar kamar untuk segera mandi.

Diro mengambil sampo dan handuk dengan terburu-buru, dia pun mengejar Saddam yang berjalan ke kamar mandi. Setelah memastikan Saddam masuk ke dalam kamar mandi, dia juga masuk ke kamar mandi di sebelahnya. Bergegas mandi, menggosok tubuh dengan cepat, sambil bersorak.

“Dam, kau masih di dalam kamar mandi 'kan?” tanyanya takut. Berteriak dari kamar mandi sebelah.

Saddam tak menyahut, dia hanya diam saja. Diro mendengarkan air yang mengalir membuktikan Saddam sedang mandi, terdengar air mengguyur di kamar mandi sebelah.

Setelah mandi dengan bersih. Diro melilitkan handuk di pinggangnya, kemudian menggosok giginya dengan tangan saja, karena tadi buru-buru tak sempat mencari alat-alat mandi. Hanya sempat membawa sampo dan handuk saja.

Tak lama, terdengar suara kamar mandi di sebelah hening, mungkin saja Saddam sedang memakai pakaian di dalam kamar mandi itu. Diro segera keluar, masih menggunakan handuk yang melilit di pinggang.

Dia berdiri di depan pintu menunggu Saddam sambil memanggil-manggil, membuat Saddam berdecak kesal.

“Payah punya teman lebih pengecut dari cewek!” ejek Saddam yang baru membuka pintu kamar mandi, dia sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk.

Diro membuntuti Saddam di belakang. Di sepanjang jalan mereka hendak masuk ke dalam kamar, Viko dan Agung juga keluar dari kamar mereka, sambil membawa handuk dan pakaian masing-masing, sehingga mereka berselisih jalan di lorong kamar.

Sepertinya, Agung sama takutnya dengan Diro. Dan ... ingin mandi serempak dengan Viko.

***

Adzan Maghrib berkumandang. Nek Raisyah muncul menggunakan mukenanya, mengagetkan Diro dan Agung yang sampai memanjat Saddam dan Viko.

“Apa kalian ingin ke Mesjid? Nenek hendak ke Mesjid, mau jalan bersama,” ajaknya.

“Iya Nek. Kami juga ikutan, biar sekalian kenal daerah dan bisa cari-cari teman baru,” sahut Viko dengan tersenyum ramah.

“Ya udah, ayuk,” ajak Nenek.

Mereka berempat pun jalan mengiringi Nek Raisyah. Lumayan lama sampainya, mungkin karena Nek Raisyah jalannya pelan dan bungkuk. Hingga orang sudah iqamat, barulah mereka sampai, untung saja mereka semua sudah berwudhu dari rumah, hingga bisa langsung berdiri dan sholat Maghrib berjamaah.

Letak Mesjid ada diantara salah satu jalan simpang tiga. Orang-orang yang sholat berjamaah cukup ramai jika magrib begini.

Setelah sholat, imam memimpin do'a, lalu saling bersalaman. Tak banyak pemuda yang sholat, hingga empat pemuda itu hanya berbincang-bincang ringan dengan para bapak-bapak.

“Oh, urang Padang mah, Bahaso Minang sajo lah kalau baitu. Kami banyak nan indak lancar Bahaso Indonesia ko — Oh, dari Kota Padang, bahasa minang saja kalau begitu, kami tidak lancar bahasa Indonesia,” ujar salah satu Bapak di sana protes, agar mereka menggunakan bahasa Minang, jika mereka dari kota Padang, karena ke-empat pemuda itu memakai bahasa Indonesia. Sedangkan Bapak-bapak di sana tidak lancar menggunakan bahasa Indonesia.

“Kami mengerti Pak, tapi tidak lancar dan fasih mengucapkannya, terdengar jelek jika kami ucapkan. Sebenarnya kami campuran, di rumah lebih sering memakai bahasa Indonesia juga,” terang Diro. "Tapi teman saya yang ini, dia pandai." Diro menunjuk Viko yang tersenyum ramah. “Ibu Bapaknya asli dari Padang," lanjut Diro lagi.

“Oh, baitu — Oh, begitu.” gumamnya.

“Iya, Pak,” jawab Diro dan Viko santun.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, bahkan sampai sholat isya datang. Mereka kembali pulang bersama Nek Raisyah, setelah sholat Isya berjamaah di Masjid.

Di sepanjang perjalanan, bulu kuduk Diro dan Agung merinding. Apalagi setelah mereka sadari, di setiap rumah warga, pasti ada kuburan.

“Nek,” terdengar Suara Saddam memecah keheningan yang sejak tadi hanya terdengar irama sendal. Biasanya anak itu hanya diam saja.

“Iya, Nak,” sahut Nenek.

“Apa di desa Lagan ini tidak ada kuburan masal, ya? Seperti tanah hibah atau waqaf dari seseorang atau pemerintah?” tanyanya. Membuat semua bulu remang di tubuh Diro dan Agung berdiri, mereka memegang ujung baju Saddam dan Viko erat sambil mengelus tangan yang merinding.

“Oh, ada, kuburan masal ada di daerah Jiraik dan Timadang namanya,” jawab Nenek.

“Oh jauh ya Nek, soalnya aku perhatikan, hampir setiap rumah ada kuburan, Nek. Aku pikir karena tak ada kuburan masal,” gumam Saddam mengelus dagunya.

“Tidak terlalu jauh juga, perihal kuburan di setiap rumah itu karena keinginan pribadi saja, di desa 'kan masih luas tanah, bisa membuat kuburan di tanah pribadi, berbeda dengan kota, tanah sejengkal saja di hitung, kalau di desa satu sampai dua meter di kasih saja.”

“Ooh, begitu.” Saddam mengangguk paham.

“Iya,” jawab Nenek mengangguk.

Akhirnya, mereka sampai di rumah.

“Aaaaa!” Diro berteriak dan melompat saat melihat empat cahaya dari dalam rumah yang gelap.

Nenek langsung masuk ke dalam rumah, setelah membuka pintu, beliau menghidupkan lampu, tampaklah dua ekor kucing hitam. Rupanya, itu hanya peliharaan Nek Raisyah.

“Ngucap, makanya banyak-banyak sebut nama Allah! Kucing aja takut!” ucap Viko menepuk pundak Diro.

Nek Raisyah hanya terkekeh kecil. “Ini namanya Rina dan Roni, kucing ini yang menjaga Nenek dan rumah Nenek. Jika ada apa-apa, mereka selalu mengeong.”

“Pernah kala itu, saat musim hujan, ada seekor ular tikus masuk ke dalam rumah. Penglihatan dan pendengaran Nenek tidak begitu jelas, ditambah mati lampu, penerangan nenek hanya dama (lampu bersumbu dari minyak tanah). Rina dan Roni mengeong, bahkan mereka berdua bertarung melawan ular itu sampai mati.” Nek Raisyah bercerita sambil menghidupkan semua lampu dan duduk di sofa ruang tengah.

Saddam menutup pintu dan menguncinya rapat, memeriksa jendela juga dan kembali duduk bersama tiga teman dan nenek Raisyah di ruang tengah.

“Apa kalian mau tidur atau menonton dulu? Kalau menonton hidupkan saja TV. Televisinya sedikit rendah karena nenek sudah tua, jadi susah untuk mematikan dan menghidupkannya jika diletakkan tinggi di atas sana!" tunjuk Nenek ke atas bekas bingkai TV gantung.

"Itu karena punggung Nenek bungkuk, maklum sudah tua.” Nek Raisyah tersenyum, memperlihatkan gigi emasnya yang terlihat goyang-goyang karena pipi dan bibir keriputnya.

Nek Raisyah memberikan remot pada Viko, kemudian kembali duduk di sofa.

“Ini foto siapa, Nek?” tanya Viko yang melihat ada foto dua wanita muda tersenyum terletak di meja televisi.

“Yang besar anak bungsu saya, yang kecil cucu pertama saya,” jawab Nek Raisyah.

“Oh, mereka sekarang lagi sekolah di luar daerah ya, Nek?” tanya Diro menimpali. Soalnya, Nenek hanya sendirian di rumah besar ini, pastilah anak bungsu dan cucunya sekolah di luar daerah.

“Enggak, mereka lagi tidur,” jawab Nenek.

“Tidur?” tanya Agung bingung. “Di kamar sebelah kami, apa di kamar Nenek?” tanya Agung penasaran.

“Mereka tidur di sana, tuh di rumpun tebu,” tunjuk Nenek. Membuat Diro dan Agung melompat ke dalam pelukan Saddam dan Viko. Sebab, di rumpun tebu itu ada tiga buah kuburan.

“Shit!*” umpat Saddam kesal, karena jarinya sempat terjepit oleh Diro yang melompat ke dalam pelukannya.

“Hehehe, 'kan dalam kuburan kita semua ditidurkan, Nenek nggak salah 'kan?” ucap Nek Raisyah terkekeh melihat tingkah laku Diro dan Agung.

“Inalillahi wa innailaihi raji'un,” ucap mereka berempat bersama, karena baru saja paham, apa yang dimaksud Nek Raisyah.

“Maaf ya, Nek. Kami tidak tahu,” tutur Viko kemudian.

“Iya, nggak apa-apa Nak. Mereka mengalami kecelakaan mobil bersama teman-temannya. Nenek punya anak dua orang, cewek keduanya. Anak pertama nenek sekarang di bawa merantau ke Aceh oleh suaminya, karena jika dikampung, putri Nenek selalu termenung dan mengigau.”

“Putri Nenek susah hamil, jadi itu adalah putri satu-satunya dari program hamil bayi tabung. Dia sangat terguncang sekali.” Nek Raisyah bercerita, membuat empat pemuda itu simpati.

...***...

1
Ubii
Sebenarnya gadis di foto itu siapa ya? kok muncul terus/Speechless/
Ubii
rarww /Skull/
Ubii
merinding, gak bisa bayangin /Sweat/
Ubii
keren ceritanya, dari sekian banyak yang aku baca, ini sangat menarik /Angry/ aku tunggu kelanjutannya ya!
Rozh: Oke, terimakasih, semoga suka dan terhibur sampai cerita ini tamat 🌹
total 1 replies
Ubii
lagi tegang-tegangnya malah di bikin ngakak/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!