Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tugas bantuan
Suatu malam, saat Lily sedang berjuang menyelesaikan tugas Radit yang lain di rumah Melisa. Wajah Melisa tampak serius.
"Lily, aku nggak bisa diam aja lagi. Kamu kelihatan makin tertekan dan capek banget. Kamu nggak bisa terus begini," kata Melisa dengan nada tegas.
Lily berhenti mengetik dan memandangi sahabatnya. "Aku nggak apa-apa, Mel. Beneran. Aku cuma perlu sedikit waktu untuk menyelesaikan semuanya."
"Sedikit waktu?" Melisa menatap Lily dengan tatapan tajam. "Kamu udah begadang hampir setiap malam buat ngerjain tugas-tugas Kak Radit, dan sekarang tugas kamu sendiri mulai terbengkalai. Apa kamu nggak sadar kalau dia cuma memanfaatkan kamu?"
Lily terdiam, merasa terluka oleh kenyataan yang disampaikan oleh sahabatnya. "Dia nggak memanfaatkanku, Mel. Dia butuh bantuan, dan aku seneng bisa bantu."
Melisa menghela napas, berusaha menahan emosi. "Lily, dia udah dewasa. Dia bisa ngerjain tugasnya sendiri. Kamu nggak perlu ngerjain semuanya untuk dia. Aku tau kamu sayang sama dia, tapi ini udah nggak sehat. Cinta nggak harus bikin kamu ngorbanin semuanya."
Kata-kata Melisa terasa menohok, dan Lily mulai menangis. Ia tahu Melisa benar, tapi sulit baginya untuk mengakui bahwa ia telah membiarkan cinta membutakannya.
Malam itu, Ezra sedang berjalan melewati kamar Melisa untuk menuju dapur. Langkah kakinya terhenti sejenak saat mendengar suara isak tangis yang lembut dari balik pintu kamar. Ia mengenali suara itu—itu suara Lily. Penasaran dan merasa khawatir, Ezra memutuskan untuk mendekat dan mengetuk pintu pelan.
“Mel, itu kamu?” tanya Ezra dengan lembut dari luar.
Melisa membuka pintu, menampakkan wajahnya yang sedikit terkejut melihat kehadiran kakaknya. “Kak Ezra? Ada apa?” tanyanya dengan nada pelan, mencoba menjaga privasi Lily.
Ezra menatap Melisa dengan cemas. “Aku dengar ada yang nangis. Lily baik-baik aja?”
Melisa menoleh ke arah Lily yang duduk di kasur, matanya merah dan basah karena air mata. Melisa menghela napas, lalu mengangguk pelan ke arah kakaknya, seolah memberi isyarat bahwa ia bisa masuk.
Ezra masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi di dekat tempat tidur, melihat Lily yang berusaha mengusap air matanya dengan punggung tangan. Perasaannya bercampur antara khawatir dan sedih melihat gadis yang dulu ceria sekarang terlihat begitu rapuh.
"Lil, kamu kenapa?" tanya Ezra dengan suara lembut, mencoba menenangkan.
Lily menundukkan kepala, malu karena ketahuan menangis. "Aku... nggak apa-apa, Kak," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Ezra memandanginya dengan penuh perhatian, tak percaya dengan jawaban itu. "Lil, kalau kamu nangis, itu artinya ada sesuatu yang nggak baik. Kamu bisa cerita sama aku, apa pun itu."
Lily menatap Ezra, matanya berkilat dengan sisa-sisa air mata yang belum sepenuhnya kering. Ada kehangatan di mata Ezra, sesuatu yang selama ini selalu membuatnya merasa aman. Akhirnya, Lily tak sanggup lagi menahan perasaannya dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi.
“Aku... aku terlalu banyak bantuin Radit,” katanya pelan. “Aku sayang sama dia, Kak, tapi aku juga tahu kalau yang aku lakuin ini salah. Aku ngerjain tugas-tugasnya sampai aku lupa sama tugasku sendiri. Melisa bener, aku terlalu buta karena cinta.”
Ezra mendengarkan dengan seksama, tangannya mengepal di atas lututnya saat mendengar nama Radit. Hatinya geram mendengar bahwa Radit memanfaatkan Lily, tapi ia berusaha tetap tenang agar tidak memperburuk suasana.
“Lily, kamu nggak bisa terus kayak gini,” Ezra berkata dengan nada yang lembut namun tegas. “Kalau dia bener-bener sayang sama kamu, dia nggak akan biarin kamu ngerjain semua tugasnya. Cinta itu seharusnya saling mendukung, bukan membebani.”
Lily menatap Ezra dengan mata berkaca-kaca. “Tapi Kak Radit bilang dia sibuk, dan aku pengen bantu dia. Aku pikir, ini cara aku buat nunjukin kalau aku peduli.”
Ezra menghela napas panjang dan menatap Lily dengan tatapan penuh pengertian. “Aku ngerti kamu mau bantuin, Lil. Tapi bantu itu ada batasnya. Kamu juga punya hidup sendiri, tugas sendiri, dan mimpi-mimpi yang harus kamu kejar. Kamu nggak bisa terus-terusan mengorbankan diri buat seseorang yang bahkan nggak mikirin dampaknya buat kamu.”
Melisa, yang sejak tadi mendengarkan di sudut ruangan, mendekat dan duduk di samping Lily. “Kak Ezra bener, Lil. Kamu harus mikirin diri kamu sendiri dulu. Jangan biarin perasaan kamu ke Radit bikin kamu lupa sama prioritasmu.”
Lily terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Ezra dan Melisa. Ia tahu mereka berdua benar, tapi perasaan cintanya kepada Radit membuatnya sulit melepaskan diri. Namun, di dalam hatinya, ia sadar bahwa ia tak bisa terus begini. Radit seharusnya tidak membebani dirinya dengan cara seperti ini.
Ezra kemudian berdiri dan menatap Lily dengan tatapan penuh kehangatan. “Lil, kamu kuat. Kamu bisa ngelewatin ini. Tapi yang pertama harus kamu lakukan adalah memikirkan apa yang benar-benar baik buat kamu. Kalau Radit nggak bisa menghargai usahamu, mungkin kamu harus mempertimbangkan ulang hubungan ini.”
Lily memandang Ezra dalam-dalam, merasakan kekuatan dan kepedulian yang terpancar dari kakak Melisa itu. Hatinya bimbang, tetapi kata-kata Ezra seolah menyadarkannya dari kabut cinta buta yang selama ini menutupi pandangannya.
Setelah beberapa saat, Lily mengangguk pelan. “Aku akan coba, Kak. Aku harus pikirin ini baik-baik.”
Ezra tersenyum lembut, merasa lega bahwa Lily mulai memahami apa yang harus ia lakukan. “Kalau kamu butuh bantuan atau cuma mau cerita, aku dan Melisa selalu ada buat kamu.”
Lily tersenyum tipis, meski masih lelah dan penuh dengan perasaan yang berkecamuk, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, keputusan besar harus segera ia buat antara tetap bertahan dengan Radit atau melepaskannya dan mulai fokus pada dirinya sendiri.
Setelah Ezra keluar dari kamar, Lily menatap Melisa dengan tatapan berterima kasih. “Makasih, Mel, udah selalu ada buat aku.”
Melisa merangkul sahabatnya dengan erat. “Aku akan selalu ada buat kamu, Lil. Kita bisa lewatin ini sama-sama.”
Malam itu, setelah percakapan yang penuh emosi dengan Ezra dan Melisa, Lily berbaring di kasurnya, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya tak bisa tenang. Satu hal yang terus menerpa hatinya adalah bagaimana Ezra begitu peduli padanya, memperhatikannya dengan lembut dan bijak, sesuatu yang jarang ia rasakan dari Radit.
Sejak dulu, Lily memang menyimpan perasaan khusus terhadap Ezra. Saat kecil, kekagumannya pada sosok kakak Melisa itu hanya seperti rasa kagum anak kecil pada seseorang yang lebih dewasa. Namun, malam ini, perhatian Ezra membuat perasaan lama yang telah ia kubur perlahan-lahan kembali muncul ke permukaan. Lily merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
Pikirannya terus melayang, mengingat bagaimana Ezra mendekatinya, menghiburnya, dan memberikan kata-kata yang menenangkan. Berbeda dengan Radit yang akhir-akhir ini lebih sering menuntut, Ezra justru hadir dengan ketulusan yang membuat Lily merasa aman dan dihargai.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪