Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Perburuan Hari Kedua.
Bab 05. Perburuan Hari Kedua. Pahlawan Ordo Cahaya
Fajar di Atherion tidak pernah bergerak dengan kelembutan. Ia datang seperti pedang yang merobek langit, memuntahkan cahaya ungu kemerahan yang menusuk kanopi hutan belantara Pegunungan Pemangku Dunia.
Dedaunan kristal bergetar dalam resonansi magis, memantulkan sinar yang memecah kegelapan dalam ribuan serpihan berwarna. Angin dingin mengalir seperti napas naga kuno, membawa aroma lembap dari tanah yang dipenuhi embun sihir, embun itu berkilau seperti permata cair, menetes dari ranting-ranting yang terbuat dari mineral langka.
Di antara kabut pagi yang menggulung-gulung seperti roh penasaran, suara raungan memecah keheningan sakral pegunungan.
"GRAAAAAHHH!!!"
Troll Api Bertanduk Dua, makhluk legendaris berperingkat B yang namanya saja cukup membuat petualang veteran berkeringat dingin, berlari liar menerjang pepohonan raksasa. Tubuhnya yang sebesar rumah kecil bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan, otot-otot yang terbungkus kulit berbatu menyala seperti bara api. Kedua tanduknya yang melengkung memancarkan api magma yang melelehkan segala yang dilaluinya, dan tongkat batu raksasa di tangannya berpijar dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya bergelombang panas.
Di belakangnya, lima petualang muda berlari terbirit-birit dengan wajah pucat seperti mayat hidup. Nafas mereka tersengal-sengal, kaki mereka tersandung-sandung di atas akar-akar pohon yang melilit seperti ular raksasa.
Yang paling mengenaskan adalah seorang gadis bertelinga serigala yang terjatuh, lututnya berdarah, merangkak sambil berteriak dalam kepanikan yang mencabik-cabik jiwa.
"T-Tolong! Siapa pun! Tolooooong!"
Suaranya bergema di antara tebing-tebing batu, memantul dengan gema yang menyayat hati.
Dari atas tebing batu yang menjulang seperti altar para dewa, Jeno Urias berdiri dengan tangan menyilang di dada dan ekspresi yang lebih dingin dari es abadi. Matanya mengamati tanpa simpati. Hanya kehampaan yang menghuni sorotnya, kehampaan yang lebih dalam dari jurang tak berdasar.
Ia melirik langit yang mulai terang dengan pandangan yang penuh kalkulasi. "Skill Kebetulan Ajaib… belum masuk waktu aktif. Tsk." Suaranya seperti angin yang bertiup di makam kosong.
Satu napas panjang lolos dari bibirnya, membentuk kabut putih di udara dingin. "Berisik banget pagi-pagi begini…"
Tanpa berkata banyak, Jeno melangkah turun dari tebing. Setiap langkahnya seperti tarian kematian yang tersembunyi, setiap gerakan tubuhnya mengandung kekuatan yang bisa menghancurkan gunung, namun terkontrol sempurna. Tubuhnya yang berbalut mantel kusam dan celana sobek-sobek membuatnya tampak seperti pengembara kelas bawah, atau lebih tepatnya seperti pengemis dari kota mati yang terlupakan oleh sejarah.
Namun saat langkahnya menginjak tanah, sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Troll Api Bertanduk Dua, makhluk yang bahkan bisa membuat singa muda berpikir dua kali, tiba-tiba berhenti mendadak. Seluruh tubuh raksasa itu bergetar hebat seperti daun di tengah badai. Mata merahnya yang berkobar seperti api neraka menatap Jeno dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dan seketika, dalam momen yang akan diingat kelima petualang itu sepanjang hidup mereka, makhluk itu berbalik arah dan kabur.
Dengan kepanikan yang lebih besar dari yang pernah ditunjukkannya kepada mangsa mana pun, Troll itu berlari memecahkan pohon-pohon raksasa berusia ribuan tahun, melarikan diri ke hutan seolah melihat kematian itu sendiri berjalan dalam wujud manusia.
[Sistem Deteksi: Aura Eksistensimu menyebabkan Efek Ketakutan Mutlak terhadap binatang dan monster tingkat rendah.]
Jeno sekilas melihat layar sistemnya, ia memperhatikan kelima petualang muda itu terpaku dalam keheningan yang mencekam. Mata mereka menatap Jeno yang lewat tanpa menoleh, pandangan lurus mengikuti pergerakan Troll yang kabur. Udara di sekitar mereka terasa berubah, seolah realitas itu sendiri menunduk hormat pada kehadiran pria misterius itu.
"D-dia… membuat Troll kabur hanya dengan menatap?" bisik salah satu pria, suaranya nyaris tak terdengar, bergetar seperti dedaunan yang akan gugur.
Gadis bertelinga serigala, yang masih berlutut di tanah dengan lutut berdarah, menatap Jeno dengan mata membulat kagum. Dalam pandangannya, ada sesuatu yang lebih dari sekedar kekaguman: ada kerinduan akan kekuatan, ada harapan akan keselamatan, ada cinta pada pandangan pertama terhadap sosok yang bisa memberikan perlindungan mutlak.
"K-Kau… pahlawan dari ibu kota? Dari Ordo Cahaya?" Suaranya bergetar dengan campuran takjub dan harapan yang putus asa.
Jeno menoleh dengan tatapan yang datar seperti permukaan danau yang membeku. "Aku cuma pengangguran yang kelaparan. Dan aku bukan pahlawan."
Kata-kata itu menggantung di udara seperti mantra yang bisa mengubah takdir. Lalu ia berjalan pelan, namun yang mengejutkan, setiap langkahnya seperti angin yang bertiup, dan dalam sekejap mata menghilang dari pandangan mereka, seolah ia tidak pernah ada di sana.
Kelima petualang itu terdiam dalam keheningan yang penuh dengan seribu pertanyaan. Gadis itu, yang tampaknya adalah pemimpin kelompok, segera berseru dengan suara yang memecah keheningan. "Dia bukan orang biasa. Dia mungkin… petualang peringkat A!"
Mereka menoleh satu sama lain dengan cemas, mata mereka berkilau dengan campuran takut dan ambisi.
"Kalau kita bisa membujuknya masuk tim kita… kita bisa naik peringkat! Kita bisa berburu monster besar tanpa takut mati!"
"Gila kau, mana mungkin petualang selevel itu mau masuk tim kita?"
"Tapi dia bilang dia lapar… mungkin dia butuh uang!"
Perdebatan mereka berlangsung dengan sengit, namun akhirnya mereka memutuskan mengejar Jeno. Berlari menyusuri jalan yang dilalui pria misterius itu, mengikuti jejak yang hampir tak terlihat, dipandu oleh naluri yang mengatakan bahwa takdir mereka terkait dengan sosok yang baru saja mereka temui.
Namun baru setengah jam kemudian, mereka membeku di balik semak-semak besar. Mulut mereka terbuka dalam keterkejutan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Empat Troll Api Bertanduk Dua, makhluk-makhluk seukuran rumah kecil yang masing-masing bisa menghancurkan desa, kini tergeletak mati di tanah. Tubuh mereka yang dahsyat itu kini hanya daging tak bernyawa, penuh luka aneh seperti terkena gelombang kekuatan yang tidak masuk akal. Tidak ada darah. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Mereka mati dalam sekejap, seolah jiwa mereka dicabut oleh sang maut itu sendiri.
Jeno berdiri di tengah-tengah kematian itu, menguap kecil sambil meregangkan punggung seperti orang yang baru bangun tidur. "Lumayan buat dijual."
Tanpa mengucapkan mantra apa pun, tanpa mengeluarkan senjata apa pun, ia menyentuh tubuh para Troll itu satu per satu. Dalam sekejap, makhluk-makhluk besar itu menghilang dalam kabut ungu yang berkilauan, tersimpan dalam Item Box Sistem.
Kelima petualang itu menatapnya dengan wajah pucat dan tak percaya. Mereka merasa seperti menyaksikan dewa kematian yang sedang membereskan mainannya.
"Dia punya… Item Box... atau aku tidak salah lihat?"
"Mungkin… kau lihat ukuran Troll itu? Itu empat makhluk besar sekaligus!"
"S-sistemnya pasti sistem langka… ini bukan sistem biasa. Luar biasa."
Gadis bertelinga serigala memberanikan diri melangkah mendekat. Setiap langkahnya bergetar, namun ada tekad yang membara dalam matanya. "M-maafkan kami jika mengganggu! Namaku Rinka dari Ras Beastkin Serigala, Petarung peringkat C, sekaligus pemimpin Tim Serigala Pemburu."
Ia membungkuk dalam salam khas Beastkin, salam yang hanya menunjukkan rasa hormat yang mendalam pada sosok yang dianggap jauh lebih tinggi kedudukannya, lalu ia menoleh dengan tatapan tajam pada rekan-rekannya, memaksa mereka untuk menunjukkan sopan santun yang sama.
Dengan kikuk dan gugup, satu per satu memperkenalkan diri ketika Jeno melihat mereka.
"Ren, Perisai," Suara pria berotot yang biasanya lantang, kini bergetar seperti anak kecil.
"Kael, pemanah sihir." Mata tajam sang pemanah tidak berani menatap langsung ke arah Jeno.
"Toma, pelacak." Bahkan sang pelacak yang terlatih membaca jejak, tidak bisa memahami keberadaan Jeno.
"Doru, penyembuh sihir minor." Gadis penyembuh itu hampir pingsan karena merasakan aura kekuatan yang melampaui pemahamannya.
Jeno menatap mereka satu per satu, mata ungunya seperti jurang yang tidak berdasar. Lalu berkata singkat dengan suara yang terdengar seperti gema dari dimensi lain: "Jeno."
Kemudian ia berbalik dan mulai berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun, seolah keberadaan mereka tidak lebih penting dari rumput yang terinjak di bawah kakinya.
Namun Rinka, dengan keberanian yang lahir dari keputusasaan, buru-buru mengejar dan menyamakan langkah. Dengan nada yang berusaha terdengar ceria namun tidak bisa menyembunyikan kegugupan: "Tunggu! Um, maksudku… kau luar biasa. Kenapa tidak bergabung saja dengan tim kami? Kami serius! Kami Tim Serigala Pemburu! Kami cukup terkenal di kalangan petualang peringkat C!"
Jeno tidak menjawab. Langkahnya tetap konsisten, seolah ia tidak mendengar apa pun.
Rinka tertawa canggung, suaranya bergetar dengan nada yang hampir memelas. "Kalau ikut kami, kita bisa berbagi hasil buruan! Kau juga bisa tinggal gratis di rumah sewaan kami. Ada makanan juga! Dan... dan kami bisa jadi guide kalau kau mau ke dungeon."
"Tidak butuh," jawab Jeno pendek, setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti putusan hakim yang tidak bisa diganggu gugat.
"Tapi—"
"Aku berburu untuk diri sendiri. Aku tidak butuh tim, tidak butuh teman, tidak butuh misi heroik." Suaranya dingin seperti angin musim dingin yang mematikan.
Rinka terdiam, sedikit terkejut. Dia adalah wanita cantik yang selalu menarik perhatian para pria ke mana pun ia pergi. Kecantikannya yang eksotis, kombinasi sempurna antara keanggunan manusia dan daya tarik liar Beastkin, selalu menjadi senjata andalan dalam bernegosiasi. Tapi di sini, ia ditolak Jeno tanpa pikir panjang, seolah kecantikannya tidak berarti apa-apa di mata pria ini.
Langkah Jeno berlanjut, namun kali ini sedikit melambat. Dalam keheningan batinnya, ia tahu para petualang muda itu tidak sejahat yang terlihat. Mereka hanya bersemangat, polos, dan tidak tahu siapa yang sedang mereka dekati. Mereka tidak tahu bahwa di hadapan mereka berdiri seorang pria yang tidak takut dengan kematian.
Rinka menatap punggung Jeno dengan tatapan rumit. Ada kekaguman, ada ketakutan, ada kerinduan, dan ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tidak bisa ia definisikan dengan kata-kata. "Kalau begitu… setidaknya izinkan kami mengikutimu... mungkin ke kota. Kami akan membantumu menjual Troll itu ke Serikat Petualang! Kalau kau muncul sendirian membawa empat Troll, bisa-bisa dianggap sebagai pemburu ilegal."
Jeno berhenti sejenak. Matanya menatap Rinka dengan tajam, seolah ia bisa membaca setiap pikiran yang tersembunyi di balik mata indah gadis itu. "Jika aku ikut, mereka akan mencurigai kalian juga."
"Kami tidak takut karena memiliki identitas petualang," jawab Rinka dengan mantap, suaranya mengandung tekad. "Asalkan kami bisa ikut. Setidaknya, kami bisa belajar sesuatu darimu dan bisa membantumu juga."
Jeno Urias berpikir sejenak, mempertimbangkan undangan mereka. Di sudut pikirannya, ia mendengar suara lembut Angelina Urias, suara yang selalu menjadi kompas moralnya: meminta Jeno untuk tidak hidup dalam isolasi total. Mungkin mengikuti mereka akan mempermudah Jeno memahami kehidupan baru di dunia yang telah berubah ini.
"Baiklah. Tapi aku dalam dua hari ini masih berburu di pegunungan ini," jawab Jeno Urias sambil menatap Rinka dengan mata yang sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Ada misi sampingan yang harus diselesaikan, dan waktu tidak berpihak padanya.
Kelima petualang itu bersorak dalam hati, namun tidak berani menunjukkan kegembiraan berlebihan di hadapan sosok yang begitu misterius dan menakutkan.
Rinka mengepalkan tangan dengan mata berkilau. "Kau tidak akan menyesal telah membiarkan kami ikut!" katanya dengan semangat yang terkendali. Lalu dengan rasa ingin tahu yang tidak bisa ditahan, ia bertanya, "Apakah kau sudah terdaftar sebagai petualang? Dan… profesi apa yang kau geluti?"
Jeno geleng-geleng kepala sebagai jawaban. Ia memutuskan untuk sedikit berbohong demi menjaga identitas yang sebenarnya. "Sejak kecil aku tinggal di Veil of Eternity, dan tidak pernah mendaftar di serikat mana pun."
Pria bernama Ren yang mulai merasa sedikit lebih nyaman, bertanya dengan nada yang hati-hati: "Apakah kau tinggal bersama dengan orang tua?"
Jeno kembali berbohong, namun kali ini dengan nada yang sedikit lebih kelam. "Aku anak yatim piatu. Kedua orang tuaku tewas melindungiku saat usiaku delapan tahun." Kata-kata itu keluar secara alami, seolah ia telah menceritakan kisah ini berkali-kali.
Rinka dan teman-temannya menjadi terharu mendengarnya. Di mata mereka, Jeno bukan lagi sosok yang menakutkan semata, tetapi seorang pria yang telah mengalami tragedi dan berhasil bertahan dengan kekuatan yang luar biasa. Kagum karena Jeno bisa bertahan hidup seorang diri di hutan berbahaya selama bertahun-tahun, mereka mulai memandangnya dengan rasa hormat yang bercampur simpati.
Rinka menyarankan dengan nada yang tulus: "Sebaiknya kau terlebih dahulu mendaftar diri di Serikat Petualang, sehingga bisa menjual hasil buruan dengan legal. Tanpa identitas petualang, kau akan menghadapi banyak masalah birokrasi."
Jeno mengangguk pelan. "Akan aku pertimbangkan."
Di langit yang mulai cerah, burung-burung kristal berterbangan dengan sayap yang memantulkan cahaya seperti prisma hidup. Mereka berjalan di jalan setapak yang telah diukir oleh ribuan kaki petualang sepanjang sejarah, menuju kota petualang yang terkenal di seluruh benua: Kota Velden. Kota yang terbentang di lembah yang subur, dikelilingi oleh tembok batu yang diperkuat dengan sihir kuno, dengan menara-menara yang menjulang tinggi seperti tombak yang menusuk langit.
Namun yang aneh, sepanjang perjalanan mereka, tidak ada satu pun binatang yang terlihat. Hutan yang biasanya hidup dengan berbagai suara makhluk, kini sunyi seperti kuburan. Burung-burung tidak berkicau, serangga tidak berdenging, bahkan angin pun bertiup dengan pelan, seolah alam itu sendiri menahan napas di hadapan keberadaan Jeno.
Rinka menyadari keanehan ini dan menatap Jeno dengan pandangan yang penuh tanya. "Kenapa… kenapa hutan ini begitu sunyi?"
Jeno tidak menjawab. Ia tahu jawabannya, namun tidak ada gunanya menjelaskan bahwa keberadaannya sendiri yang membuat seluruh ekosistem hutan menjadi ketakutan. Aura kematian yang menyelimuti dirinya yang membuat setiap makhluk hidup memilih untuk menjauhinya.
Dalam keheningan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Velden, tidak menyadari bahwa langkah mereka akan mengubah takdir tidak hanya kelima petualang muda itu, tetapi juga seluruh dunia Atherion.
Situ Sehat ??!