Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yu You-Hua Xin
Caroline melambaikan tangan sebagai perpisahan sementaranya dengan Pram.
Beberapa minggu ini ia habiskan sepenuhnya bersama kedua orang tuanya. Perabotan lama yang hampir rapuh itu masing-masing menyimpan kenangan, kata mereka. Adiknya masih belum pulang, sibuk bekerja di Malaysia dan satu lagi hampir menamatkan kuliahnya di Bandung.
Dalam kesempatan ini, ia membiarkan semuanya mengalir alami.
Niat awalnya untuk mencari tahu dirinya dikesampingkan. Dia rasa lebih utama untuk menghabiskan hari bersama orang yang sudah membesarkannya dari kecil. Tidak memaksa untuk menggali ingatannya lagi.
Caroline masuk ke dapur, ia senang karena masih digunakan tungku dan alat yang sering ia pakai dulunya. Maka dia tidak lagi gagal memasak seperti sebelumnya. Ada saat dimana ia mengusili anak tetangga hingga menangis keras. Ada saatnya juga ia duduk di kamarnya, mencoba terbiasa.
“Ine, Ibu dan Bapak pergi ke kawinan orang seberang. Istirahat saja dulu.”
Dia mengiyakan. Awalnya dia memang masih sibuk membuat adonan, hingga ia selesai dan bersantai di kamar. Hingga ia tertarik pada tumpukan buku yang bertumpuk di samping nakas.
Kutu buku sekali.
Sebuah kebiasaan yang tak ia ingat—tangannya menyelip secara naluriah dan mengambil salah satu buku. Ia hanya ingin melihat isi buku sebelum menyentuh sesuatu yang keras di bawah tumpukan buku lama.
Caroline menariknya keluar. Itu adalah sebuah pigura kecil dan sebuah amplop tebal.
Ia menahan hidungnya agar tidak menghirup debu berlebihan. Tangannya mengusap bintik yang sudah memenuhi satu amplop itu. Dia membuka isinya penuh penasaran.
Apakah ini berisi nilainya dulu saat sekolah? Atau lamaran pekerjaannya? Atau justru curahan masa kecilnya?
“Agak kekanakan jika iya.”
Caroline tertawa geli. Bila yang terakhir memang benar, semoga isi suratnya tidak akan membuatnya ingin membakarnya habis karena terlalu memalukan.
Dia berkerut saat meraba kertas tebal tiga lembar di dalamnya. Gelinya menghilang dan berganti dengan kebingungan. Mata hitamnya menerjemahkan beberapa patah kata dan beberapa saat kemudian tangannya sedikit bergetar.
“Surat kontrak,” ejanya.
Bukan kontrak biasa, melainkan sebuah perjanjian hitam di atas putih yang menjabarkan detail-detail finansial, termasuk status utang keluarga, dan poin-poin yang jelas menyatakan bahwa pernikahan itu adalah bagian dari "kerja sama mitra bisnis" antara keluarga Caroline dan Pratama.
Bahkan ada klausul tentang bagaimana aset akan dibagi jika perjanjian tidak terpenuhi.
Jantung Caroline mencelos. Ia meraih pigura di tangannya. Foto dirinya, bukan dengan Pratama. Bibirnya tidak melengkung dan matanya tidak tersenyum ketika ia berdiri di samping lelaki lain yang tidak ia kenali, seorang pria dengan rahang tajam dan tatapan dingin. Di belakang mereka, sebuah bangunan besar tampak seperti kantor korporat.
Ada retakan disana, seolah pemilik asli membenci tangkapan ini. Saat melihatnya lebih jeli, foto keduanya seperti dirobek di tengah namun disatukan kembali dengan sempurna. Tetapi dia semakin diam dan takut.
Dia takut menebak lagi.
Ketenangannya hancur berkeping-keping. Ini bukan sekadar pernikahan yang bermasalah. Bahkan apa yang tertulis di dalamnya lebih menyerupai jual-beli. Bukan Pram saja yang terlibat. Perasaan jijik dan marah yang asing, namun begitu kuat, menyelimuti dirinya saat melihat lelaki di pigura itu tanpa tahu alasannya.
“Kerja sama? Pernikahan bisnis? Siapa lelaki itu?!”
Nafasnya memburu, jantungnya berdebar tak karuan. Pratama yang putus asa saat mengaku padanya, berkelebat di benaknya. Lalu kontras dengan dokumen ini. Caroline tidak tahu apakah ia merasa tercekik karena menghirup debu terlalu banyak atau karena peluang yang menjijikkan.
Di amplop juga digeletakkan kertas koran kusam namun masih agak terbaca. Sebuah berita finansial, desas-desus perusahaan, hingga nama Pratama dan nama perusahaannya. Sebuah pikiran melintas di benaknya. Dengan sisa keberanian, ia memberanikan diri mencari informasi lebih lanjut dari internet.
Fakta itu menghantamnya seperti palu godam. Perusahaan keluarganya bangkrut. Mereka memiliki utang besar pada bank dan investor. Dan Pratama, melalui perusahaannya, telah membayar lunas semua utang tersebut, menyelamatkan rumah dan aset keluarganya dari penyitaan. Asalkan mereka menikah.
Pernikahan merupakan konvensi mitra bisnis—penyamaran untuk penyelamatan finansial keluarga Caroline. Foto dengan pria lain itu kemungkinan adalah bagian dari perjodohan yang batal atau kesepakatan bisnis lain sebelum Pratama datang, mungkin jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Caroline dulu, yang idealis dan keras kepala, mungkin telah menyetujui pernikahan ini demi menyelamatkan keluarganya, menekan perasaannya sendiri hingga hancur.
Caroline yang awalnya sudah merasa pulih dan hanya membutuhkan waktu sedikit hanya agar lebih lama bersama orang tuanya, kembali ke titik dimana ia dipaksa memikirkannya ulang.
Pratama begitu ambigu menurutnya. Mengapa ia berkata "tidak baik, namun tidak buruk juga" ? Mengapa ia tidak bisa "menyerah" padanya?
Ternyata... semua karena pernikahan itu adalah sebuah transaksi, sebuah investasi, dan Pratama memiliki hak atasnya. Ia terikat, tidak hanya oleh cincin di jarinya, tetapi seluruh nasib keluarganya. Ia menolak percaya, tetapi dokumen ini sudah membuktikannya banyak hal.
"Aset?"
Caroline berbisik, lalu kata itu kembali terucap, kali ini dengan nada yang naik, berubah menjadi tawa pahit. Tawa yang tidak mengandung kebahagiaan atau geli, melainkan keputusasaan yang menusuk.
"Sama saja," gumamnya, suara seraknya disapu angin malam. "Di kehidupan sebelumnya, aku adalah properti yang dihukum mati. Sekarang aku adalah aset yang diperjualbelikan."
Kilasan memori tentang kerumunan yang menghakimi kembali terlintas, namun kali ini ia melihat benang merahnya. Dulu, ia adalah milik seseorang atau sesuatu yang melanggar batas, dan hukumannya adalah kematian. Kini, ia adalah milik Pratama, bagian dari transaksi bisnis yang menyelamatkan keluarganya. Keduanya sama-sama melucuti haknya atas diri sendiri.
Wanita sama saja, mereka akan dianggap sebagai aset yang diperjualbelikan.
Semua logika yang selama ini menjadi tamengnya hancur. Ia bisa menyusun solusi untuk masalah farmasi, ia bisa tetap tenang di tengah kepanikan, tapi untuk kenyataan dirinya sebagai "aset"? Itu adalah hal yang paling tidak bisa ia tantang. Rasanya seperti sebuah kutukan yang tak lekang oleh waktu, melintasi reinkarnasi dan dunia yang berbeda.
Ia menatap cincin di jarinya, yang kini terasa seperti rantai. Ternyata ini alasan ia yang dulu benci menggenakannya. Apa gunanya memiliki kecerdasan, ketenangan, jika pada akhirnya ia tetap menjadi pion dalam permainan yang dimainkan oleh orang lain?
Sebuah kebencian yang dingin mulai tumbuh dalam dirinya, bukan hanya untuk Pratama, tapi untuk takdir yang membelenggunya, dan untuk ia yang menyetujui hal ini.
Namun, di tengah itu, Caroline berpikir logis sejenak. Ia tidak bisa main hakim begitu saja. Dia harus meminta penjelasan pada orang tuanya ataupun suaminya nanti. Ia tidak bisa lari selamanya.
Caroline tidak bisa lagi menunda. Dengan jantung berdebar dan pikiran berkecamuk, ia menunggu kepulangan orang tuanya. Saat sore menjelang, suara motor Pak Ming terdengar di halaman. Caroline segera keluar, tangannya menggenggam erat amplop dan pigura yang telah menghancurkan ketenangannya.
Melihat ekspresi tegang putrinya, Ibu Caroline segera menghampiri. "Ada apa, Ine? Kenapa pucat begitu?"
Tanpa basa-basi, Caroline menunjukkan dokumen-dokumen itu. "…apa ini?" Suaranya bergetar, lebih karena kemarahan yang tertahan daripada ketakutan.
"Kontrak bisnis? Lalu siapa pria ini di foto?"
Pak Ming dan Ibu Caroline saling pandang, raut wajah mereka berubah dari kebingungan menjadi kecemasan. Ibu Caroline tidak tahu harus berkata apa, sementara Pak Ming menghela napas panjang, sorot matanya penuh penyesalan. Mereka tidak tahu bahwa putri sulungnya ternyata pernah meninggalkan benda seperti ini di dalam kamar miliknya.
"Duduk dulu," kata Pak Ming, menenangkan. "Biar Bapak jelaskan semuanya."
Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana. Pak Ming mulai bercerita, dengan suara berat, tentang bagaimana usaha kecil mereka terancam bangkrut karena salah urus dan utang yang menumpuk. Ditambah adanya perebutan warisan dari kakek pihak keluarga ibunya memperkeruh. Bank saat itu akan menyita segalanya.
“Kami tidak punya pilihan lain. Kami tidak memberitahu kalian, namun dari kabar luar akhirnya kamu tahu lebih dulu. Tanpa sepengetahuan Bapak, kau mencari dan berakhir dipermalukan oleh pria di pigura ini.
Dia mantan tunanganmu saat itu, dari keluarga Yudhistira, yang perjanjiannya batal setelah mereka tahu masalah keuangan kami.”
Malam itu anak gadis sulung mereka yang hampir tamat profesi datang dengan mata merah dan bersikeras putus pendidikan. Sontak Pak Ming memakinya karena terlalu labil, hingga sekarang ia tidak tahu apa yang membuat anaknya sefrustasi itu.
Di hari yang sama, Pak Ming justru menyeret anak sulungnya untuk menjalin pernikahan bisnis. Dimana Caroline tidak akan putus pendidikan walau masa mudanya dipertaruhkan.
"Kami memang buntu, namun anak sendiri seharusnya tidak Bapak lepas." jelas Pak Ming. "Ayah salah. Saat itu gegabah dan menarik putra temanku untuk diikat dalam hubungan bersamamu. Yang kupikirkan hanyalah pertukaran yang melunasi hutang dan tidak merugikanmu.”
“Maaf, Bapak dan Ibu terjepit antara keuangan dan nasib adikmu mendatang, Ine.” Ibu Lien maju dan mengambil amplop coklat itu,
“Tidak Ibu sangka bahwa ada hal ini. Ine, dimana kamu menemukannya?”
Pak Ming menahan istrinya. Berbisik seharusnya ia tidak bertanya seperti itu.
“Dalam tumpukan buku.” Caroline menjawab dengan tatapan kosong, mencerna setiap kata yang baru disebutkan. "Singkatnya, kalian tetap menukarku kan? Properti yang bisa diperjualbelikan demi aset?"
Suara Caroline meninggi, sarat dengan kepahitan.