NovelToon NovelToon
Bintang Antariksa

Bintang Antariksa

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: ajab_alit

Aku adalah anak perempuan yang memiliki nama “Upeksa Nayanika”. Aku suka buku dan hal-hal yang menakjubkan. Tapi tanpa ku sadari… aku juga salah satu dari bagian hal yang menakjubkan. Hidupku aneh setelah kejadian itu muncul. Tapi, Apakah aku akan bertahan dengan hal menakjubkan itu? Maukah kamu mengenal ku lebih dalam wahai para bintang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ajab_alit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 15

“Ternyata kamu bisa sakit juga ya?” sindir Abya yang membuat Naya membulatkan matanya kesal. Abya tertawa, lalu tersenyum. Ia menyentuh dahi Naya, merasakan panas badannya. “Badan kamu cocok deh jadi setrikaan sekarang. Ayo guling-guling dibaju, nanti aku bantu.”

Naya memukul sosok yang saat ini sedang duduk di pinggiran kasurnya. Abya tertawa lagi, di usap-usapnya rambut Naya. Naya menutup matanya menikmati sentuhan itu. “Kenapa kamu bisa demam? lalu, itu mata kenapa bisa bengkak?” tanya Abya tentang kondisi Naya yang saat ini buruk baginya. Naya saat ini sedang dalam keadaan lemah. Ia hanya bisa berbaring di Kasur, makan disuapin, matanya bengkak, dan jika ingin ke kamar mandi ia harus di tuntun, terkadang juga digendong ala tuan putri oleh ayahnya. Saat ini, kondisi Naya bagaikan nenek-nenek yang terkena stroke.

“Banyak tanya deh. Orang lagi sakit ,Abya, pusing ni,” ucap Naya lemas. Bocah itu tak mampu mengeluarkan suara tingginya. Ia memejamkan matanya, menahan sakit kepala yang hilang timbul.

“Akhir- akhir ini makan es-krim nggak?”

“Makan, tapi nggak banyak.”

“Kalau susu dingin yang pakai es kotak-kotak?”

“Ahh… hehe.” Naya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Abya mengernyit, membuat Naya keringat dingin. Abya pun menyentil lengan Naya, mengakibatkan bocah kecil itu mengaduh kesakitan. “Hei, aku lagi nggak bisa berantem, loh,” ucap Naya dengan suara pelan. Ia pun mengelus-elus lengannya.

“Lagian haha hehe haha hehe, si.” Abya menjelek-jelekkan wajahnya, mengejek bocah yang wajahnya memerah karena sakit. “Inilah akibat dari minum es. Udah tau badan lemah ama es masih juga di minum. Buat terus kek gini, biar masuk rumah sakit terus mati sekalian.”

Naya yang sedang sakit akhirnya diomeli oleh Abya. Ingin rasanya ia memukul bocah itu, mengikatnya di kembang api berukuran jumbo, lalu meluncurkannya ke luar angkasa. Naya terkekeh membayangkan hal itu di saat Abya sibuk menceramahinya. Alhasil, ia pun mendapatkan ceramahan tambahan dari Abya. Andai saja disini ada Timira, pasti ia akan meminta dijadikan kuat mendadak olehnya, lalu memukul bocah cerewet ini hingga ia masuk ke rumah sakit. Sayangnya, Timira saat ini tak ada bersamanya. Ia pergi ke ruangan panjang itu lagi. Sendirian. Katanya, ‘ada yang ingin ia bincangkan dengan Malam’. Mungkin, Naya yang sedang sakit adalah efek dari perginya Timira, karena mereka berdua terpisahkan dengan jarak yang sangat jauh, dunia ini dan dunia yang lain. Mari kita lihat kondisi penyihir kecil itu sekarang.

...###...

“Halo, nona Yale,” sapa Malam yang saat ini sedang berdiri tepat di depan Timira. Lelaki itu tersenyum. Timira menatap sosok itu dingin, ia sudah tau kehadiran laki-laki itu sebelumnya, jadi, ia tak perlu memasang wajah kaget, lalu berteriak bagaikan bocah bodoh. Lima detik kemudian, Timira membalas senyum itu, ia membalas senyum itu bukan dengan senyum ramah, tapi dengan senyum mengejek.

“Kau menunggu ku, ya? Malam.”

“Tentu saja saya sedang menunggu anda, tidak mungkinkan saya berdiri disini karena iseng. Tapi, saya berterima kasih karena anda menyebutkan panggilan saya, jadi saya tak perlu memperkenalkan diri lagi.”

“Tak perlu berterimakasih,” ucap Timira masih dengan senyumnya. Kali ini, bukan senyum mengejek tapi senyum yang penuh misteri. “Ada gerangan apa anda menunggu saya, Malam?”

“Saya hanya ingin menyambut anda yang hendak berbincang dengan saya. Tapi, bisakah anda jauhkan belati yang saat ini sedang menusuk leher saya.” Malam menunjuk lehernya. Disana terdapat belati yang terbuat dari es, belati itu tajam, bisa membunuh seseorang. Terdapat darah juga yang mengalir disana, tak mengalir deras, benda itu hanya membuat malam meneteskan darahnya saja.

“Benda itu tak bisa saya jauhkan dari anda, Malam. Benda itu dapat membuat saya aman jika ia terus berada disana.” Timira masih tersenyum, ia membuat Malam mengeluarkan satu tetes darah lagi melalui belati kecilnya.

Malam hanya bisa merespon perkataan itu dengan senyum khasnya. Ia memaklumi sosok anak keci yang saat ini sedang berdiri di depannya, menghina dirinya dengan senyum menyebalkan itu. “Baiklah, saya akan menuruti anda. Mari ikuti saya. Kita akan berbicara di tempat yang layak.”

“Baiklah.”

Mereka berdua pun berjalan, menuju ke tempat yang layak untuk berbincang. Timira berjalan dibelakang Malam sambil melihat ke sekelilingnya. Ia masih berjalan dilorong yang sama, bedanya lorong itu tidak sepanjang yang sebelumnya, lalu pintu yang seharusnya berukir jam pasir, kini berukir ikan koi. Pintu ini terlihat normal, tapi kita tak tahu apa yang ada di dalam sana, jadi mari kita sembunyikan kata normal itu.

Pintu besar itu terbuka, memperlihatkan ruangan yang bagaikan ruang kerja, namun di dindingnya terdapat banyak jam yang kehilangan dua jarumnya. Di dalam sana juga terdapat banyak bintang dan satu orang dengan mahkota yang terdapat di kepalanya, lelaki itu memiliki badan yang tinggi, mungkin setinggi malam. Ia memiliki postur yang gagah, kemeja putih yang ia kenakan bersih tak bernoda. Lelaki itu menghadap ke rak buku yang diisi oleh buku. Ketika mendengar pintu terbuka, ia mengubah pandangannya ke pintu, lalu melihat Malam dan Timira dengan senyuman.

Timira menelan ludahnya kasar, jantungnya berdetak cepat. Timira mengenali sosok itu, sosok yang sempat muncul dihidupnya saat ia berusia delapan tahun. Sosok tampan itu berjalan ke meja, lalu duduk di kursi yang ada disana. Ia mempersilahkan kedua sosok yang sedang berdiri di pintu untuk duduk.

Rasanya saat ini Timira ingin berlari, menghilang di hadapan mereka berdua. Tapi, itu bukanlah sikap yang seharusnya di lakukan oleh dirinya kepada putra mahkota dari kerajaan Orion, kerajaan cahaya. Malam sudah duduk di kursinya, sementara Timira masih berada di pintu besar itu, memikirkan hal lain.

“Kenapa terus berada di sana, Lady. Ayo kemari, kita berbicara bersama sambil mengenal masa lalu, Dame Timira.” Timira tersentak ketika mendengar panggilan itu, panggilan yang sudah lama tidak ia dengar. Ia pun melangkah, menuju ke tempat mereka berdua duduk, lalu ikut duduk bersama.

“Jadi, apa yang ingin anda bicarakan, Dame Timira? ,” ucap putra mahkota, ia membuka pembicaraan, memecahkan hening yang akan datang. “Aku bingung, bagaimana aku harus memanggilmu, ‘Dame’ atau ‘Lady’ menurutmu yang mana cocok?”

“Anda bisa memanggil saya, Timira, cukup Timira, jangan tambahkan ‘Lady’ atau ‘Dame’ di nama saya.”

“Bukankah itu terdengar tak sopan.”

“Tapi, waktu kita sama-sama berumur delapan tahun anda memanggil saya dengan nama, tak ada kata ‘Lady’ atau ‘Dame’ yang anda sisipkan di nama saya waktu itu.”

Putra mahkota menaruh tangannya di dagu. “Itu kan waktu kita masih kecil, tentu saja sekarang berbeda. Seorang bangsawan harus memanggil orang lain dengan gelarnya. Itu pelajaran di kelas tata krama, Lady. Bukankah anda pernah mempelajarinya?” ucapnya lembut namun terdengar menusuk. Ya, sejak dulu mereka memang seperti ini, Berdebat karena hal kecil. Tapi sekarang Timira tak suka berdebat dengan orang ini, sekaligus tak ingin berhubungan lagi dengannya.

“Baiklah, anda bisa memanggil saya Lady Yale, walaupun saya tak suka dengan panggilan itu, tak apa. Yang penting kita hentikan perdebatan ini sekarang dan lanjutkan ke hal yang harus kita bincangkan.” Timira mengangkat kedua tangannya. Ia menyerah dengan perdebatan ini, lebih tepatnya mengalah.

“Terima kasih karena telah memilih. Kalau begitu saya akan memanggil anda, Timira. Tak masalahkan?” putra mahkota tersenyum jahil. Ia menyukai saat-saat dimana ia bisa menjahili seorang ‘Lady’ yang ada di depannya. Walaupun sebuah belati saat ini sedang berada di lehernya, ia masih tetap mempertahankan senyumnya.

Timira mengepalkan tangannya. Walaupun saat ini ia sudah menempelkan belati di leher lelaki itu, kekesalan masih mengelilinginya. Kalau sosok itu bukan putra mahkota, pasti ia sudah menebas lehernya saat ini.

“Bagaimana kabarmu saat ini, Timira?” ucap putra mahkota hendak berbasa-basi.

“Langsung ke topik saja, yang mulia.”

Senyum putra mahkota menghilang. Ia memperbaiki posisi duduknya, duduk dengan tegap. “Panggil aku, Ranianta. Jangan tambahkan putra mahkota atau apapun di namaku. Jadi, ayo kita mulai pembicaraan penting kita. Apa yang ingin kau bahas, Timira?”

“Elang bermahkota. Bagaimana kabarnya? saya dengar ia ada di sangkar emas.” Ucap timira to the point.

Ranianta memasang wajah masam, ia meraup wajahnya, tak suka dengan topik yang sedang dibahas. “Bisa kita membahas hal lain? aku tidak ingin membicarakan apa pun tentang adikku.”

“Tidak bisa. Saya ingin mendengar kabarnya. Bagaimana kabarnya?” Timira membuat Ranianta meneteskan darahnya. Ia semakin mendekatkan ujung belati itu pada lehernya. Membuat darah sedikit mengalir dari lehernya.

“Dia baik, namun penampilannya tidak sama seperti dulu. Ia… terkena kutukan setelah kau di eksekusi.”

1
apayaaaa
bagus bet, seruu fantasi nya
ajab_alit: makasih atas komentarnya kakak
total 1 replies
Yusup Muzaki
terasa kdunia pantasi ...walw ceritanya masih blom dpahami
ajab_alit: nanti lama-lama juga ngerti kok, kak.
total 1 replies
Shinn Asuka
Setting ceritanya memang hebat banget! Bener-bener dapet jadi mood baca di dunia fiksi ini. ❤️
ajab_alit: terimakasih
total 1 replies
XVIDEOS2212
Gak sabar lanjut baca!
Debby Liem: tuiiooooo
ajab_alit: untuk kelanjutan akan saya up besok. di tunggu saja ya/Smirk/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!