NovelToon NovelToon
Kembalinya Sang Pendekar

Kembalinya Sang Pendekar

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Kelahiran kembali menjadi kuat / Pusaka Ajaib
Popularitas:114.6k
Nilai: 4.7
Nama Author: biru merah

Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.

Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.

Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.

Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 17. Desa Terpencil

Di sebuah pesisir pantai yang sunyi, ombak bergulung lembut menghantam karang dan pasir putih. Seekor burung camar terbang rendah, mengitari sosok seorang pemuda yang tergeletak di tepi pantai dalam kondisi sekarat.

Pakaian lusuh, tubuh penuh luka, dan napas yang nyaris tak terdengar. Pemuda itu adalah Lin Yan.

Tubuhnya terdampar setelah terbawa arus sungai dari pertempuran melawan Kelabang Darah. Air asin perlahan membasahi wajahnya yang pucat. Cahaya matahari menyinari wajahnya hingga kelopak matanya sedikit bergetar.

“Ugh… Di mana aku?” gumam Lin Yan pelan. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dari tempatnya. Namun rasa sakit segera menyambutnya begitu ia menggerakkan tubuh.

"Aaakhh…!" erangnya keras.

Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ketika menoleh ke lengan kirinya, Lin Yan melihat tulangnya masih bengkok. Lengan itu patah—dan untuk sementara tak bisa digunakan. Luka-luka lain di dada dan kakinya juga mulai terasa perih.

“Sial… semua ini gara-gara Kelabang Darah itu…,” umpatnya lirih, menggertakkan gigi.

Ia menatap sekeliling. Hanya ada bentangan pantai luas, lautan biru tanpa batas, dan bukit karang di kejauhan. Tak tampak tanda-tanda peradaban. Sejenak ia merasa sendirian, terdampar di ujung dunia.

Dengan tertatih, Lin Yan berjalan menyusuri bibir pantai. Setiap langkah seperti menyayat otot-ototnya yang terluka. Namun dia tak punya pilihan. Bertahan di tempat hanya akan membuatnya mati pelan-pelan.

Beberapa saat kemudian, saat ia sedang bersandar di balik batu besar untuk beristirahat, terdengar suara gaduh tak jauh dari tempatnya. Suara pertarungan—lenguhan binatang dan teriakan manusia.

Lin Yan menegakkan kepala, mencoba menguping lebih jelas. Ada yang sedang bertarung? Ini kesempatan! Jika ada manusia, mungkin aku bisa tahu di mana aku sekarang.

Dengan langkah pelan, Lin Yan mengikuti arah suara. Dia berjalan menyusuri bukit batu kecil dan akhirnya tiba di sebuah dataran berumput tak jauh dari pantai.

Di sana, ia melihat seorang pria paruh baya sedang bertarung sengit melawan seekor serigala besar. Pria itu tampaknya hanya orang biasa—bukan pendekar, apalagi seorang pemburu berpengalaman. Wajahnya dipenuhi keringat, napas tersengal, dan langkahnya mulai goyah.

“Kalau terus begini, pria itu akan mati,” bisik Lin Yan dalam hati.

Ia mencabut Pedang Merah Membara dari balik jubah lusuhnya. Dengan cepat ia merunduk, bergerak tanpa suara seperti seekor bayangan. Setelah mencapai jarak lempar yang pas, ia memegang pedang itu seperti sebuah tombak.

“Semoga ini cukup…” gumamnya.

Dengan sisa tenaga dalam yang masih tersisa, Lin Yan mengalirkan sedikit kekuatan ke pedangnya. Tidak banyak, hanya secukupnya agar pedang itu mampu menembus tulang serigala, tapi tidak sampai membuat dirinya kembali pingsan karena kehabisan tenaga.

Serigala itu, yang memiliki insting tajam, tiba-tiba menoleh ke belakang. Namun sudah terlambat.

Zzzzzzzt—DUAKK!

Pedang Merah Membara melesat cepat dan menghantam tepat di kepala serigala itu. Binatang buas itu jatuh seketika, mati di tempat dengan darah mengalir membasahi tanah.

Pria paruh baya itu terkejut bukan main. Ia menoleh dan melihat Lin Yan berjalan pelan menghampirinya, langkahnya masih terseok namun matanya tajam.

"Terima kasih, Nak! Kau… menyelamatkanku," ucap pria itu dengan napas terengah.

Lin Yan hanya mengangguk kecil.

“Namaku Zhi Lao. Aku adalah pemimpin Desa Batu Laut, desa yang terletak tak jauh dari sini,” lanjut pria itu memperkenalkan diri.

“Lin Yan,” jawab pemuda itu singkat.

Zhi Lao memperhatikan tubuh Lin Yan yang penuh luka, terutama lengan kirinya yang tergantung tak berdaya.

“Kau berasal dari mana, anak muda?” tanya Zhi Lao.

"Aku juga tidak yakin… tempat ini bukan wilayah yang kukenal. Dimana aku sekarang?” tanya Lin Yan langsung ke pokok persoalan.

Zhi Lao tampak kebingungan. “Apa kau… kehilangan ingatan?”

“Aku hanya bertanya, bukan berarti aku lupa semuanya,” ujar Lin Yan datar. “Jadi, di mana tempat ini?”

Zhi Lao tersenyum kaku. “Ini wilayah pesisir barat dari Kerajaan We. Kita berada di ujung barat daya, cukup jauh dari ibu kota.”

Lin Yan menghela napas dalam. Berarti aku masih berada di wilayah Kerajaan We… syukurlah, tidak terlempar terlalu jauh.

“Kalau berjalan kaki, berapa lama untuk sampai ke ibu kota?” tanyanya lagi.

“Empat belas hari jalan kaki, tapi hanya lima hari kalau menggunakan kereta kuda,” jawab Zhi Lao.

“Kalau begitu,” ucap Zhi Lao sambil menatap luka di tubuh Lin Yan, “apa kau bersedia mampir ke desaku? Sebagai bentuk balas budi karena telah menyelamatkanku, izinkan aku mengobati lukamu.”

Lin Yan berpikir sejenak. Tubuhnya masih terlalu lemah. Perjalanan panjang dalam kondisi begini sama saja mencari mati.

“Aku terima tawaranmu,” jawabnya.

Zhi Lao tersenyum lega dan memapah Lin Yan menuju desa.

Desa Batu Laut berada di balik tebing batu, tersembunyi dari pandangan luar. Meski hanya sebuah desa kecil, suasananya ramai dan damai. Penduduknya hidup sederhana—memancing, bertani, dan berdagang kecil-kecilan. Tak tampak satu pun pendekar, apalagi tanda-tanda sekte.

Lin Yan diberikan sebuah rumah kayu kecil di tepi desa. Di sana, ia segera membersihkan luka-lukanya dan membalutnya dengan perban dari cadangan obat-obatan yang disimpannya di dalam cincin penyimpanan.

Malam harinya, Zhi Lao datang membawakan makanan dan ramuan herbal.

“Ini untukmu, Nak Lin,” ucapnya sambil tersenyum.

Lin Yan membuka pintu dan menyambutnya. “Panggil saja aku Lin, Paman.”

“Baiklah, Nak Lin,” balas Zhi Lao.

“Kalau kau butuh apa pun, tinggal katakan saja.”

“Tak ada, Paman. Aku sudah sangat berterima kasih atas bantuanmu.”

Zhi Lao menepuk pundaknya lembut. “Kalau bukan karena kau, mungkin aku sudah mati digigit serigala itu. Ini hanya balas budi yang sepantasnya.”

Keesokan harinya, meski lengan kirinya masih belum bisa digerakkan, Lin Yan sudah bisa berjalan pelan. Ia keluar rumah dan mengelilingi desa.

Anak-anak berlarian, tertawa, dan bermain lempar batu di tanah lapang. Salah satu dari mereka tak sengaja menabraknya.

BUG!

Anak itu terjatuh ke belakang, namun segera bangkit dan meminta maaf sebelum kembali berlari dikejar teman-temannya.

Lin Yan sempat mengira mereka sedang menindas anak itu, tapi melihat tawa di wajah mereka, ia sadar—ini hanya permainan anak-anak. Senyum kecil terbit di wajahnya.

Saat itulah Zhi Lao kembali datang menghampiri.

“Nak Lin, kau sudah bisa jalan-jalan? Seharusnya kau masih istirahat.”

“Aku bosan, Paman. Diam di dalam rumah membuatku gila,” kata Lin Yan sambil tersenyum tipis.

Zhi Lao mengangguk pelan. “Aku paham. Tapi tetaplah berhati-hati.”

“Paman… aku penasaran. Desa ini terlihat begitu tenang. Tapi mengapa aku tak melihat satu pun pendekar? Apakah desa ini tak pernah bersentuhan dengan dunia luar?”

Zhi Lao menarik napas panjang.

“Desa ini memang sengaja dijauhkan dari dunia luar. Itu sudah jadi wasiat para leluhur kami. Mereka percaya bahwa dunia luar hanya membawa kekacauan dan penderitaan.”

“Lalu kenapa Paman mengajakku ke sini? Bukankah aku juga orang luar?”

Zhi Lao tersenyum hangat.

“Di desa ini, sudah menjadi hukum tak tertulis: siapa pun yang menolongmu, harus kau balas dengan kebaikan. Itu tradisi kami sejak dahulu kala. Dan lagi, aku tak merasa bahwa kau orang jahat.”

Lin Yan menatap pria tua itu beberapa saat. Mungkin memang dunia belum sepenuhnya gelap. Masih ada tempat seperti ini… dan orang seperti Zhi Lao.

1
Nanik S
Gaaaas Pooool
Nanik S
Apakah Lin Yang bisa keluar dari dalam jurang
Nanik S
Air Panas... siapa tau bisa menyembuhkan luka
Nanik S
Apa Lin Yang akan selamat
Nanik S
Apakah Mata Naga
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Kabut dimanapun berbahaya
Nanik S
Lanjut terus Tor
Nanik S
Mantap sekali Tor
Nanik S
Bantai saja wanita Iblis rambut perak
Nanik S
Tidak adalah penolong untuk sekte Es
Nanik S
Alurnya bagus Tor
Nanik S
Cepat sampai tujuan... sekte Naga Hitam sudah mengincsr
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Harusnya pulihkan dulu Lin Yan
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Cuuuuuust
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Murid Aneh
Nanik S
Keren.... dan mantap Lin Yan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!