Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Aku Bertemu Lagi dengan Kaivan
Tidak terasa tahun ini sudah menjalani 5 semester. Hari-hari yang terasa berat dan pastinya tugas juga sangat banyak. Dua tahun terlewati tanpa berkomunikasi dengan Elvareon.
Langit pagi itu mendung, tapi suasana di Lunaria Beauty Institute justru ramai dengan antusiasme. Para mahasiswa berkumpul di depan gedung utama, bersiap untuk melakukan kunjungan ke Crystal Valley University. Achazia berdiri di antara kerumunan, mengenakan blazer hitam rapi, tas make-up di genggaman. Hari ini mereka bukan hanya datang untuk memamerkan dunia kecantikan, tapi juga untuk menyampaikan sisi lain dari profesi mereka — tata rias jenazah (forensic make-up).
“Zia, kamu kelihatan tegang,” ujar Ciara, sambil menyenggol pelan.
Achazia tersenyum tipis. “Bukan soal presentasinya. Aku… cuma berharap bisa ketemu Kaivan dan Brianna.”
Ciara mengangguk, mengerti. “Semoga mereka sempat datang, ya.”
Sesampainya di Crystal Valley University, suasana kampus terasa jauh lebih besar dan megah dibanding Lunaria. Aula utama dipenuhi dengan stand-stand jurusan, dari farmasi, kesehatan masyarakat, sampai teknologi medis. Di salah satu sudut, stand Lunaria sudah disiapkan, lengkap dengan meja rias dan mannequin.
Achazia mengambil posisi di depan, menatap mahasiswa yang mulai berdatangan. Hari ini, ia tidak akan berbicara tentang make-up untuk kecantikan sehari-hari. Ia akan berbicara tentang memberikan wajah damai terakhir bagi orang yang telah tiada.
“Selamat siang. Kami dari Lunaria Beauty Institute. Hari ini, kami ingin memperkenalkan sisi lain dari tata rias yang mungkin belum banyak diketahui yaitu Post-Mortem Make-Up,” ujar Achazia, suaranya tenang namun tegas.
Beberapa mahasiswa saling berbisik. Ada yang terlihat penasaran, ada yang tampak agak kaget.
“Tata rias jenazah bukan sekadar soal estetika. Ini tentang penghormatan terakhir. Tentang membuat keluarga yang ditinggalkan bisa mengucap perpisahan dengan damai, melihat orang terkasih mereka untuk terakhir kalinya dalam kondisi terbaik.”
Achazia menunjuk mannequin di hadapannya. Ia mulai mendemonstrasikan teknik riasan untuk menyamarkan luka dan perubahan warna pada jenazah.
“Bayangkan, ketika seorang tenaga medis berhasil menyelamatkan hidup, kalian dianggap pahlawan. Tapi, saat nyawa tak tertolong, kami berperan memastikan perpisahan tetap bermartabat.”
Mahasiswa mulai serius memperhatikan. Bahkan beberapa dari jurusan farmasi mencatat poin-poin penting.
Setelah sesi presentasi usai, Achazia berjalan pelan ke arah lorong kampus, matanya mencari seseorang. Dan tak butuh waktu lama, ia melihat Kaivan sedang berdiri di dekat vending machine.
“Van!” sapa Achazia.
Kaivan menoleh, wajahnya cerah. “Zia! Gila, kamu keren banget tadi di depan. Aku gak nyangka kamu bakal ngomong tentang forensic make-up.”
Achazia tersenyum. “Aku juga gak nyangka bakal ngomong seberani itu, jujur.”
Mereka berjalan berdua menuju taman belakang kampus, mencari tempat yang lebih tenang.
“Brianna ke mana?” tanya Achazia.
“Dia lagi sibuk di stand farmasi. Niat banget pengen nyamperin kamu, tapi tadi dia di-keep sama dosennya. Kayaknya dia bakal marah banget kalo tahu aku udah ngobrol duluan sama kamu,” ujar Kaivan sambil terkekeh.
Achazia tertawa kecil, namun matanya memudar, berubah serius.
"Van... soal Elvareon…” suaranya melembut.
Kaivan langsung paham, ia menghela napas pelan. “Aku tahu, Zia. Aku juga mikirin dia terus.”
Achazia menunduk, jemarinya meremas ujung scarf di lehernya. “Tadi saat aku bicara tentang rias jenazah… aku kepikiran hal yang bodoh, Van. Aku… gak mau Elvareon jadi salah satu orang yang aku rawat wajahnya. Sebelum waktunya.”
Kaivan terdiam, hatinya ikut tercekat. Ia tahu, di balik ucapan itu, ada rasa takut dan kecemasan yang sudah terlalu lama dipendam.
“Kamu tahu Elvareon, Zia. Dia keras kepala setengah mati. Tapi aku janji, aku dan Brianna gak akan diam. Kita harus bikin dia sadar, dia gak sendiri.”
Achazia mengangguk pelan. “Aku mau bantu, Van. Aku gak mau lagi cuma nunggu.”
Namun, percakapan mereka terpotong saat suara panitia memanggil.
“Mahasiswa Lunaria, harap menuju ke bus. Kita akan berangkat dalam lima menit.”
Achazia menoleh, wajahnya menegang. “Aku harus pergi…”
Kaivan menepuk bahunya. “Gak apa. Nanti kita lanjut obrolannya. Aku bakal ceritain ini ke Brianna.”
Achazia menarik napas panjang, mencoba menahan keinginan untuk tetap tinggal. “Sampai ketemu lagi, Van.”
“Sampai ketemu, Zia. Kita belum selesai bicara,” jawab Kaivan.
Di dalam bus, Achazia duduk di dekat jendela. Kampus Crystal Valley perlahan menjauh dari pandangannya, namun hatinya terasa berat, seolah meninggalkan sesuatu yang belum selesai.
Ia merogoh ponselnya, membuka galeri, dan memutar ulang video singkat presentasinya tadi.
“Elvareon, aku ingin kamu tahu… aku tetap berjalan di jalanku. Tapi aku ingin kamu juga berjalan di jalanmu. Jangan berhenti, El. Jangan sendirian.”
Dari kejauhan, Kaivan berdiri di antara kerumunan, matanya tak lepas dari sosok Achazia. Ia tersenyum tipis, kagum melihat bagaimana gadis itu kini tampil begitu dewasa dan profesional.
Sesampainya dikampus, dia langsung masuk ke kelas tapi dikelas kosong tidak ada orang. Kebetulan Ciara lewat dari depan kelas.
"Zia, kamu lupa? Hari ini karena kita kunjungan, kelas ditiadakan"
"Oh iya, aku lupa."
Ciara mengajak Achazia keluar dari kelas. Mereka berjalan bersama.
"Zia, kamu kenapa? Tadi kamu bagus banget lho presentasinya. Kok sekarang jadi murung sih?" tanya Ciara
"Aku hanya kepikiran Elvareon." ucapnya lirih
"Hah? Dia lagi? Zia, dengar! Elvareon mu itu akan baik-baik saja, okay?"
Mendengar itu, Achazia lalu mengangguk.
"Zia, aku mau main ke asrama kamu boleh ga?"
"Ya, tentu. Ayo"
Mereka lalu berjalan bersama ke asrama. Asrama itu mewah. Mata Ciara terbelalak. Dia dengan hati-hati masuk ke kamar Achazia. Kamarnya juga elegan dilengkapi dengan peralatan make up, catokan, dan lain-lain.
Ciara terkagum-kagum dengan Achazia. Dia anak orang kaya tapi dia rendah hati. Tidak memandang teman. Dia berteman dengan siapa saja bahkan dia mencintai Elvareon yang tidak sebanding dengannya.
"Hhh dia benar-benar gila ya." ucap Ciara dalam hatinya
Sekilas Ciara melihat foto keluarganya dengan papa, mama dan Achazia di tengahnya. Dia juga melihat fotonya selfie berdua dengan Elvareon. Dia memegang foto itu dan melihatnya dari dekat
"Bahkan tanpa make up Achazia tetap cantik sama seperti hatinya" ucapnya dalam hati
"Mewah benar asrama mu"
Achazia tersenyum dan mengangguk
"Kalau kamu lapar bilang aja ya, biar aku pesan dari bibi kantin"
"Iya"
Achazia duduk dikasurnya memperhatikan pergerakan Ciara. Dia mungkin sudah terbiasa hidup mewah dan bahkan asrama ini bukan apa-apa baginya. Tetapi, bagi Ciara ini adalah suatu kemewahan dan pasti harganya mahal.
Sore harinya, Ciara pulang dari asrama Achazia. Dia tidak berani memesan makanan karena pastinya sangat mahal baginya. Padahal Achazia sudah bilang kalau dia akan mentraktirnya tapi Ciara menolak.
Achazia mengantarkannya ke halte bus yang ada didekat asramanya. Saat busnya datang, dia naik dan melambaikan tangan pada Achazia lalu dia kembali ke kamarnya.
Dia membenamkan wajahnya di bantal
"Semester 5 ya? Tidak terasa ya secepat itu. Semester depan udah mikirin judul skripsi. Kata orang-orang kalau udah skripsian pasti tidak ada teman bahkan yang paling dekat pun akan menjauh. Apa Ciara akan seperti itu?"
Achazia berharap saat skripsian nanti dia ditemani oleh Ciara walau dia berharap besar Elvareon ada disisinya dan menulis namanya diskripsinya. Tapi apalah daya, sejak papanya memberontak, dia tidak berani melawan dan bahkan surat itu sudah dua tahun tak tersampaikan. Kenapa waktu berjalan sangat cepat? Dipikirannya hanya Elvareon. Atau pun mungkin sudah punya pacar baru dikampusnya dan sesama dokter, Achazia tak tahu. Dia hanya berharap suatu hari nanti dia bisa bertemu lagi denga Elvareon.