Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 17
Bagai sudah jatuh, tertimpa tangga, inilah yang Amar rasakan saat ini. Di saat Aliyah terkapar tak berdaya dengan berbagai selang di tubuhnya, lalu atasannya menghubungi meminta laporan yang sebenarnya sudah ia kerjakan tapi tiba-tiba menghilang, dan kini Gaffi mengalami panas tinggi hingga hampir kejang-kejang.
Amar sontak saja khawatir. Belum lagi sepeninggal tetangganya tadi, Amri kembali meraung-raung mencari sang ibu. Ditambah jarum jam sudah menunjukkan hampir tengah hari tapi mereka belum makan sama sekali membuat Amar pusing tujuh keliling.
"Na, kamu bisa masak nggak? Minimal masak nasi sama goreng telur. Kan masaknya juga mudah, tinggal masukin ke dalam penanak nasi aja berasnya terus goreng telur. Jadi kalo ayah nggak sempat pulang, kamu kamu bisa masak dan makan," ujar Amar pada Nana.
Ia sedang terduduk sambil memijat pangkal hidungnya. Padahal ia berjanji pulang sebentar pada perawat yang ia titipi Aliyah, tapi sudah 3 jam lebih ia belum juga kembali ke rumah sakit.
Nana mencebikkan bibirnya, "Nana nggak bisa, Yah. Nana aja nggak tau gimana cara masak nasi. Apalagi gunain penanak nasi, Nana nggak bisa. Kalau goreng telur, Nana takut gosong sama kepercik minyak."
Sontak saja Amar menghentikan kegiatannya memijat pangkal hidungnya.
"Kamu beneran nggak bisa masak nasi?" tanya Amar memastikan.
Nana pun menggeleng.
"Emangnya kamu nggak pernah liat ibu masak nasi?"
Nana lagi-lagi menggeleng. Mana pernah dia memerhatikan cara ibunya memasak. Setiap ibunya memasak, pasti Nana akan memilih masuk kamar dan menguncinya agar ibunya tidak meminta dibantu ataupun memintanya menjaga adik-adiknya.
"Ya ampun Nana. Kamu itu udah kelas 8 lho, mana anak perempuan juga, seharusnya umur segitu udah bisa masak. Minimal masak nasi sama goreng telur. Masa' masak sepele kayak gitu aja nggak bisa," omel Amar kesal mengetahui anak perempuannya tidak bisa apa-apa.
Tapi mau bagaimana lagi, memang selama ini Nana tidak pernah memperhatikan apalagi membantu Aliyah sama sekali. Kalau Aliyah meminta bantuannya sedikit saja, pasti Nana memilih kabur atau pura-pura tidak tahu.
Melihat Nana tak merespon sama sekali membuat Amar kesal.
"Tapi masak mie bisa kan?"
Nana mengangguk. Kalau masak mie sih bisa. Itupun bisa karena pernah masak mie bersama-sama temannya.
Amar menghela nafas panjang.
"Nanti ayah belikan lauk makan siang. Terus sisanya kamu simpan di kulkas untuk makan malam. Nanti ayah beli nasinya yang banyak juga. Nanti ayah beli mie juga. Jadi kalau kamu lapar lagi, bisa masak mie."
"Tapi yah, kalau ibu belum bangun juga, gimana sekolah Nana?"
Amar menghela nafas panjang, "kita lihat besok lah. Ayah juga bingung. Ayah juga mesti bekerja. Tapi gimana dengan ibu dan adik-adik kamu?"
"Ayah ... Mbu ... Hua ... Hua ... Hua ... " Lagi terdengar tangisan Amri untuk kesekian kalinya. Terdengar helaan nafas kasar dari bibir Amar. Mau tak mau, Amar pun akhirnya beranjak untuk mendiamkan Amri yang sedang menangis.
Setelah Amri tenang dan memastikan Gaffi makan dan minum obat, Amar pun segera kembali ke rumah sakit. Tapi sebelum itu, ia mampir ke kantor terlebih dahulu untuk mengambil laporan dan menyerahkannya pada atasannya.
"Heh loe, bro, kenapa baru datang?" tegur Budi saat melihat kedatangan Amar yang tergesa-gesa.
"Istri gue sakit," jawab Amar singkat. Ia lantas segera menuju meja kerjanya untuk mencari laporan yang ia buat sore kemarin.
"Tumben bini sakit loe nggak kerja. Manja amat bini loe, bro. Tinggal aja kenapa sih? Entar juga sembuh sendiri. Tuh, gara-gara loe nggak datang, bos jadi marah-marah nggak jelas," ucap Budi.
Entah mengapa, bila biasanya Budi membicarakan istrinya ia biasa saja, tapi beda kali ini. Ia mendadak kesal dengan ucapan Budi. Apalagi ia mengatai istrinya manja dan seharusnya ia tinggal saja. Amar tidak sadar kalau Budi merupakan teman yang toksik. Tanpa ia sadar, semenjak berteman dengan Budi lah rumah tangganya jadi kisruh karena Budi sering mendoktrin Amar untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Bahkan karena Budi lah, ia sampai jadi makin acuh tak acuh pada keluarganya.
"Loe kalau nggak tau apa-apa mending diem," sentak Amar kesal. Ia makin kesal karena tidak menemukan laporannya.
Budi dan beberapa karyawan di sana sampai terkejut melihat Amar membentuk Budi. Padahal biasanya mereka tanpa akrab tapi kali ini justru berbeda.
Baru saja Budi ingin menimpali tapi Amer sudah lebih dahulu beranjak masuk ke dalam ruangan bosnya.
"Ada apa kamu kemari?" tanya atasan Amar datar.
"Pak, saya hanya ingin mengatakan kalau kemarin saya sudah benar-benar membuat laporan itu dan menyimpannya di laci meja kerja saya. Tapi entah kenapa, laporan itu tiba-tiba hilang," tukas Amar sejujurnya.
"Tak usah berbohong. Kalau memang ada, sudah pasti sudah sejak tadi laporan itu ada di meja saya. Saya sudah meminta yang lain mencari, tapi tidak ada. Tak usah berkelit. Kalau memang belum buat, jujur saja."
"Tapi aku tidak bohong, Pak. Bahkan kalau bapak tidak percaya, saya bisa mengirimkan salinan filenya. Sebab filenya masih saya simpan di komputer."
"Tidak perlu. Saya tidak butuh lagi."
Jelas saja Amar tiba-tiba bingung, kenapa berkas sepenting itu bisa tidak diperlukan lagi.
"Kau bingung kenapa aku tidak butuh lagi?" tanya sang atasan pada Amar. Amar lantas mengangguk. "Karena saya sudah meminta Budi untuk membuatkannya yang baru."
Terkejut. Amar jelas saja terkejut. Kenapa pekerjaannya justru diberikan kepada Budi?
"Tapi pak, itu kan pekerjaan saya?"
"Memangnya aku harus terus menunggu sampai kapan? Kau pikir pekerjaan saya hanya itu-itu saja? Bukankah kau paham kalau setiap divisi itu saling berhubungan satu sama lain. Bila satu saja tidak berfungsi sebagai mana mestinya, maka akan mempengaruhi divisi yang lain. Kau ingin menghancurkan perusahaanku, hah?"
Amar menunduk dalam. Tak ada niatnya melakukan itu.
"Maaf, pak. Saya tahu saya salah."
Akhirnya, daripada bosnya makin marah, Amar memilih meminta maaf.
"Kalau begitu, saya permisi, pak. Maaf, hari ini saya tidak bisa bekerja sebab istri saya sedang kritis di rumah sakit."
Setelah meminta izin, Amar pun kembali ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, ternyata dokter yang menangani Aliyah telah menunggu kedatangannya.
"Ada yang ingin saya sampaikan tentang keadaan istri Anda," ujar sang dokter membuka pembicaraan.
Melihat ekspresi sang dokter, membuat jantung Amar berdegup kencang.
"Ada apa dengan istri saya, dok? Dia baik-baik saja kan?" tanya Amar khawatir.
Sayangnya dokter itu menggeleng membuat jantung Amar kian tak terkendali.
"Istri Anda ... koma."
Duar ...
Dunia Amar seakan terhenti seketika. Ia tidak menyangka akibat perbuatannya sampai membuat Aliyah koma seperti ini. Rasa bersalah membuatnya linglung sendiri.
"Ada kabar yang lebih buruk."
Mendengar penuturan sang dokter, makin membuat Amar ketakutan.
"Setelah melakukan CT scan, kami menemukan sesuatu yang tak terduga. Hal ini juga yang kemungkinan besar membuat kondisi istri Anda makin memburuk." Amar terus memasang telinga dengan perasaan was-was.
"A-ada apa dengan istri saya, dok?" tanya Amar gugup.
"Dari hasil CT scan, kami menemukan kalau istri Anda mengalami kanker otak stadium lanjut," ujar dokter tersebut.
Jeduar ...
Bagaikan petir di siang bolong, Amar benar-benar terkejut.
"A-apa, dok? Istri saya ... "
"Iya, pak. Oleh sebab itu, kami meminta persetujuan bapak untuk melakukan observasi lebih lanjut. Entah mengapa, saya merasa kalau istri Anda bukan hanya mengidap kanker stadium lanjut, tapi ada penyakit lainnya. Terlihat dari tangan dan kaki yang membengkak. Biasanya hal tersebut berkaitan dengan penyakit di ginjal. Tapi semoga saja ini hanya dugaan saya saja. Oleh sebab itu, kami meminta persetujuan Anda untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk memastikannya."
Bingung, terkejut, kalut, khawatir, takut, semua rasa bercampur menjadi satu. Amar terlalu abai dengan anak dan istrinya. Bahkan saat Aliyah mengeluh sakit pun, Amar tak pernah peduli. Bagaikan ada beban ribuan ton jatuh tepat di atas kepalanya, Amar benar-benar bingung. Mengapa ia tidak pernah berpikir sejauh itu tentang keluhan istrinya? Bila benar istrinya mengidap berbagai macam penyakit, betapa dzalim dirinya karena selalu mengabaikan Aliyah selama ini?
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧