Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Selalu untuk Selamanya
Anggi
Usai sarapan Rendra mengajaknya untuk bertandang ke rumah Pak Suhaimi. Saat ia sedang menyisir rambut sekaligus memberi sentuhan terakhir pada bibir dengan lip balm, Rendra mengangsurkan sebuah amplop putih panjang, "Tolong titip di tas kamu."
Ia hanya mengangguk tanpa bertanya.
Sepanjang perjalanan Rendra banyak bercerita tentang siapa Pak Suhaimi, masa-masa sekolah, hingga menunjukkan tempat-tempat bersejarah di masa lalunya.
"Disini dulu kalau malam sepi," ujar Rendra saat mereka melewati sebuah gerbang perumahan yang megah. "Jalan baru pula. Salah satu tempat favorit buat bali," tambah Rendra sambil tersenyum sendiri.
"Apaan bali?" ia mengernyit.
"Balap liar."
Membuatnya mencibir.
"Jelek-jelek gini aku dulu rider yang nggak ada obatnya," kali ini sambil membusungkan dada. "Marquez lewat."
Ia kembali mencibir namun sambil tertawa, "Kamu nggak takut kecelakaan?" tanyanya ingin tahu.
Kini giliran Rendra yang tertawa, "Tiap Papa datang ke rumah selalu maki-maki sambil bilang, 'udah bosan hidup kau?!'," sambil geleng-geleng kepala.
"Masih SMP kan kamu waktu itu?" ia mencoba mengingat-ingat kisah hidup Rendra di masa lalu.
"Iyap," Rendra mengangguk. "Ada sih beberapa rider temanku yang lewat," sambil matanya menerawang. "Kebanyakan human error jadi adu kebo."
"Maksudnya?"
"Tabrakan motor yang hadap-hadapan."
Ia mendesis ngeri. "Kamu pernah jatuh?" ia mendadak ingin tahu.
"Bukan jatuh lagi," Rendra kembali tertawa. "Pernah hampir lewat."
"Begitu malah bangga," ia jadi kembali mencibir.
"Di depan sana," tunjuknya saat mereka melewati jalan protokol yang lurus dan lebar, tak jauh dari sebuah Mall. "Ditabrak dari belakang, sampai nyium aspal 10 meter."
"Tapi masih hidup sampai sekarang," desisnya dengan wajah ngeri.
Membuat Rendra terbahak, "Allah sayang sama aku. Ngasih kesempatan buat ketemu sama kamu."
All right, ia hanya bisa memutar bola mata. Namun hatinya dipenuhi oleh luapan rasa bahagia. Rendra memang paling bisa membuat dirinya merasa sangat diinginkan.
Dan rasa bahagianya semakin membuncah ketika Rendra dengan suara tenang menyampaikan maksud kedatangan mereka di ruang tamu rumah Pak Suhaimi yang sederhana.
"Terima kasih banyak atas bimbingan bapak selama saya menjadi murid. Saya bisa seperti sekarang salah satunya berkat jasa bapak."
"Tanpa mengurangi rasa hormat, tolong diterima bingkisan dari kami berdua," sambil menyerahkan amplop putih yang tadi dititipkan padanya.
Pak Suhaimi yang terkena stroke sejak dua tahun silam hanya bisa menyalami tangan Rendra sambil menggumamkan kalimat yang kurang jelas dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih, Ren, terima kasih banyak," istri pak Suhaimi turut berterima kasih sembari menepuk-nepuk lengan Rendra.
"Bingkisan rutin tiap bulan yang kamu berikan untuk bapak saja sudah lebih dari cukup, ini masih ditambah lagi," sambung istri pak Suhaimi sambil tak kuasa menahan haru.
"Semoga Allah balas dengan kebaikan yang berlipat, Ren. Kamu dan istri sehat 'afiat, panjang umur berkah, bahagia selalu," tambah istri pak Suhaimi tulus, yang langsung diaminkan dengan suara mantap oleh Rendra.
Dan di tengah perjalanan menuju makam Mama, ia mencoba menuntaskan rasa ingin tahu yang sejak tadi mengganggu, "Mm....tadi....kata istri pak Suhaimi, kamu suka ngasih bingkisan tiap bulan....."
Rendra tersenyum namun matanya menatap lurus ke depan, tetap berkonsentrasi ke jalan raya, "Jadi....tiap bulan pak Suhaimi harus mengkonsumsi beberapa jenis obat yang kalau di rupiahkan jumlahnya nggak sedikit," lalu menengok ke arahnya sambil menatap lembut. "Aku lobby Papa buat acc voucher ambil obat di apotik rumah sakit. Minimal bisa cover setengahnya."
Ia pun tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya bisa membalas tatapan lembut Rendra dengan senyum penuh kekaguman.
"Kalau amplop tadi...," lanjut Rendra, "Isinya tabungan."
"Kata Jeki, pak Suhaimi ingin umroh."
"Jadi tadi....tabungan umroh?"
Rendra menggeleng, "Bebas, bisa dipakai apa aja. Karena kondisi kesehatan beliau makin menurun. Nggak memungkinkan untuk ibadah sejauh umroh."
"Di dalam udah kukasih catatan dan nomor telepon Puput. Kalau mau dipakai umroh, nanti semua diurus sama kantor."
"Tapi kalau mau dipakai yang lain juga bisa, udah kukasih tahu Jeki soal ini. Nanti dia yang in charge."
Kalimat terakhir yang Rendra ucapkan langsung membuahkan ucapan terima kasih darinya. Sangat berharap semoga kehangatan ini selalu untuk selamanya.
Seperti kemarin, saat pertama mengajaknya mengunjungi makam, kali ini Rendra juga mampir lebih dulu ke toko florist, yang sepertinya sudah menjadi langganan. Dan tanpa harus menunggu lama, Rendra kembali dengan seikat bunga Aster warna ungu yang cantik, yang langsung disimpannya di kursi belakang. Lalu mengangsurkan seikat bunga Peony warna merah muda yang tak kalah cantik kepadanya, "For our happy marriage."
"Makasih."
Di makam, seperti biasa, usai berdoa Rendra mulai membicarakan banyak hal. Seolah Mama benar-benar sedang berada diantara mereka. Setelah dirasa puas, Rendra mengajaknya bertemu pengelola makam yang sedang bertugas. Memperkenalkannya sebagai istri, menitipkan makam Mama karena kemungkinan besar dalam beberapa waktu ke depan Rendra tak bisa sering berziarah kemari, tak lupa memberi sedikit bingkisan. Membuatnya kembali teringat cerita Salsa tentang betapa setia kawannya Rendra, dan tak pernah melupakan kebaikan siapapun orang yang telah berjasa padanya.
"Kamu pernah bilang kalau kamu merasa sangat beruntung akhir-akhir ini," ujarnya saat mereka menyeberangi danau menuju pintu keluar.
"Aku memang beruntung."
"Nggak ada orang yang tiba-tiba beruntung," ujarnya yakin. "Menjadi orang beruntung itu nggak bisa dengan cuma-cuma."
Rendra mengernyit. "Sebentar....aku masih perlu adaptasi dengan gaya komunikasi kamu yang mendaki gunung lewati lembah....," kekeh Rendra sambil menyanyikan kalimat terakhir dengan nada OST Ninja Hatori.
Membuatnya mencibir, yeah, mengakui dalam hati jika ia memang tipe berbelit. Sementara Rendra tipe straight to the point.
"Kamu sendiri yang memantaskan diri untuk dinaungi keberuntungan," ujarnya yakin sambil mengangguk.
"Cara kamu memperlakukan teman dan orang lain, salah satu hal yang mungkin membuat keberuntungan mendatangimu...."
"Terlihat kecil dan sepele sih," lanjutnya lagi. "Tapi aku yakin, kebahagiaan yang kamu berikan membuat mereka juga bahagia dan itu mengetuk pintu langit."
"Kamu beruntung karena memberi keberuntungan pada orang lain."
"Sama seperti kamu bahagia karena memberi kebahagiaan pada orang lain."
"Karena sejatinya kebaikan itu nggak akan pernah berhenti."
"Karena kebaikan akan menghasilkan kebaikan yang lain."
"Well," Rendra tersenyum sambil menghembuskan napas. "Kenapa kamu bilang sekarang? Kalimat Adek bikin hati Abang meleleh," ujar Rendra penuh arti sambil memegang dada dengan gaya berlebihan.
Membuatnya melotot. "Kamu ini!"
Di dalam mobil, saat wajahnya masih memerah karena menahan malu, usai menyalakan mesin dan AC sekaligus mengecek seat belt yang dipakainya, Rendra bertanya pelan, "Kamu mau tahu nggak?"
"Apa?!" salaknya dengan defensif.
"Satu sisi aku setuju sama kamu tentang keberuntungan yang kita dapat itu nggak gratis. Tapi sisi lain, aku bisa bilang, itu tadi.... pandangan tentang dunia yang ideal dari orang naif."
"Kamu mau bilang kalau aku naif?!" salaknya lagi.
Rendra tersenyum, "Iya."
Membuatnya mengkerut.
"Karena aku yang seperti ini, memang harus diimbangi dengan orang seperti kamu, biar balance."
Ia pun hanya bisa menatap Rendra, tak mampu berkata apa-apa.
Membuat Rendra tersenyum penuh arti, kemudian berkata, "Tapi kamu....nggak bisa pukul rata nerapin pandangan kamu ke orang lain."
"Karena banyak di dunia ini yang bahagia justru karena merampas kebahagiaan orang lain."
"Atau boro-boro kebaikan berlanjut, tak pernah berhenti. Yang ada, kebaikan dibalas keburukan."
"Itu sudah sangat biasa terjadi di sekitar. Kita nggak bisa tutup mata."
"Aku tahu," sahutnya cepat. "Aku tahu maksud kamu."
"Tapi yang aku tahu.....semua yang kamu omongin itu sifatnya semu."
"Bahagia karena merebut kebahagiaan orang lain itu jelas bahagia semu."
"Dan kebaikan dibalas keburukan pasti meninggalkan bekas rasa bersalah yang bahkan lebih buruk dari luka manapun."
"Agree to disagree," Rendra mengangguk setuju namun kemudian menggeleng.
"Semu jika orang tersebut menyadari kesalahannya."
"Tapi yang biasanya terjadi adalah......menyadari kesalahan itu barang langka."
"Saking tebalnya dinding yang menutupi hati."
"Atau malah punya hati tapi udah mati."
"Jangan tanya sebab hati bisa mati," Rendra tersenyum. "Banyak hal di sekeliling kita berpotensi membunuh hati seseorang."
Ia menatap Rendra tak percaya, "Aku nggak nyangka kalau kamu ternyata enak diajak ngobrol."
Membuat Rendra terkekeh panjang.
"Banyak hal yang sebenarnya bukan hal baru dan aku udah tahu, tapi baru terbuka sekarang."
Rendra menangkup pipinya dengan sebelah tangan.
"Tapi anehnya kenapa dulu waktu awal-awal kamu ngeselin banget kalau diskusi. Udahlah nyolot, nggak pernah mau kalah, nyebe...."
"Kalau sekarang masih ngeselin nggak?" tanpa menunggu jawaban darinya, Rendra kembali bertanya.
Ia menggeleng seraya tersenyum.
Pukul 13.05 WITA, pesawat yang mereka tumpangi sudah tinggal landas menuju Soetta. Dan mendarat tepat pukul 14.30 WIB. Kemudian Rendra langsung mengajaknya pergi ke hotel transit yang akan mereka tempati selama menunggu jadwal penerbangan selanjutnya ke Doha, Qatar, di jam 00.40 WIB. Sebelum nantinya terbang ke tujuan utama, Barcelona.
Sengaja memilih beristirahat sementara di hotel yang masih terletak di kawasan bandara Soetta ini karena selain dekat dengan bandara, juga menyediakan free shuttle setiap 90 menit, hingga mereka tak perlu khawatir akomodasi ke bandara dini hari nanti.
Begitu masuk ke dalam kamar, ia langsung menuju wastafel berniat mencuci muka untuk menyegarkan diri. Penerbangan 1,5 jam dari Balikpapan setelah sebelumnya mereka sempat berkeliling kota ternyata lumayan menimbulkan penat.
Setelah merasa segar, ia pun mengeringkan diri dengan handuk, dan tersenyum mendapati Rendra sudah terlelap dengan pulasnya. Hmm, sepertinya Rendra juga merasa penat.
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu