Always Gonna Be You
Rendra
Tatapan wanita muda di belakang counter check in itu jelas tertuju padanya, bahkan sejak ia masih berada di baris antrian paling belakang.
Kini setelah hanya berjarak 3 meter, tangan wanita muda itu memberi kode dengan menunjuk sesuatu yang sedang dipegangnya.
"Bang!" panggilnya dengan jari telunjuk membuat gestur meminta, padahal masih ada tiga calon penumpang lain yang antri di depannya.
Ia pun menyerahkan KTP sambil mengangkat layar ponsel yang menunjukkan e-tiket. Padatnya antrian pasti menjadi alasan utama para petugas di belakang counter check in ini untuk bekerja seefektif dan seefisien mungkin.
Namun ada sedikit kejanggalan, ketika dua orang di depannya mendapat pemeriksaan kilat, wanita muda itu masih saja memeriksa KTP nya.
Kini, setelah orang di depannya berlalu, wanita itu lantas mengembalikan KTP dan memberikan boarding pass sambil tersenyum penuh arti.
"Masih ingat aku nggak, Bang?"
Pertanyaan penuh jebakan membuatnya langsung berpikir keras. Siapa ya? Anak kampus? Sekre? BEM? Klien ManjoMaju? Mantan? Fans?
"Siapa ya?" ia masih belum menemukan jawaban. Otaknya mendadak buntu.
"Yang waktu di Pitaloka, kamar sebelah Frida."
Ia masih mencoba mengingat. Baginya Pitaloka is so yesteryear.
"Keisha," ujar wanita itu sambil menahan senyum. "Kok bisa lupa sih?"
"Oh ya, Keisha," ia tertawa sambil masih berusaha mengingat yang mana gerangan yang bernama Keisha. Meski sering datang ke Pitaloka, tapi ia tak pernah mengenal penghuninya satu persatu.
"Apakabar, Bang? Lama nggak kelihatan."
Ia tertawa. "Baik...baik. Disini sekarang?" tanyanya basa-basi.
Keisha mengangguk. "Udah insyaf Bang, mau kerja yang bener."
Ia manggut-manggut sambil mengacungkan jempol.
"Mudik nih?" Keisha melirik tujuan yang tertera di boarding passnya.
"Nengok orangtua sebentar," jawabnya sambil terkekeh.
Keisha masih ingin bertanya, namun karena antrian di belakang mulai gelisah, membuat Keisha segera menyudahi sesi reuni sesama mantan penghuni dan pengunjung tetap Pitaloka.
"Yuk, Sha," ia melambaikan tangan sok akrab.
Keisha tersenyum mengangguk sambil melanjutkan tugasnya. Tapi masih kena semprot juga, "Mba kalau kerja yang bener dong, jangan ngobrol!" gerutu seorang ibu sambil menyerahkan kartu identitas dan e-tiket, sepertinya kesal karena antrian sempat mengalami delay saat mereka ngobrol barusan.
"Maaf ibu," ia masih mendengar Keisha berusaha meminta maaf.
Sebelum berjalan masuk ke arah kanan. Lalu menuju ke seberang pintu masuk ruang tunggu, executive lounge. Ia pun menyerahkan kupon akses kepada CS yang sudah menunggu di meja penerima tamu.
"Silahkan," ujar CS tersebut penuh keramahan standar.
Ia hanya tersenyum mengangguk.
Siang ini lounge lumayan ramai, bagian tengah dan sisi kanan telah dipenuhi orang. Membuatnya memilih berjalan ke sisi kiri. Lalu mendudukkan diri di sofa merah, memandang jendela kaca lebar yang mengelilingi sisi kiri lounge, menampilkan pemandangan landasan pacu.
Ia melihat pergelangan tangan kanan, jam 12.45, masih ada 30 menit lagi sebelum boarding. Lalu memilih membuka ponsel, memeriksa email masuk, menjawab beberapa pesan penting, saat itulah alarm ponselnya bergetar, mengingatkannya tentang sesuatu.
"Halo, Put? Pesanan gua beres?"
"Beres, Bang. Udah dikirim tadi. Udah saya cek ricek."
"Ok," ia tersenyum. "Buat seterusnya aman? Minggu ini jadwal padat, gua nggak bisa sering ngecek."
"Aman, Bang. Nanti saya kirim tiap progressnya."
"Proaktif ya Put. Jangan nunggu gua nanya."
"Siap, Bang, siap."
"Suwun Put."
"Masama Bang."
Ia tersenyum membayangkan wajah lembut seseorang yang sudah tiga bulan lebih tak ditemuinya. The one he will never forget.
***
Anggi
Bus yang ditumpanginya bersama 29 teman satu unit KKN, Dosen Pembimbing Lapangan, dan beberapa orang staf rektorat yang ikut menjemput di Bandara, telah melewati Fly Over Janti, dalam kondisi lalu lintas pagi yang lumayan padat. Bus terus melaju membelah Jl. Laksda Adisucipto yang tak kalah padat.
Dilihatnya beberapa teman tertidur nyenyak dengan mulut setengah terbuka, bersandar ke jendela bus atau kursi, saking capeknya melalui perjalanan pulang dari Talaud menuju Jogja yang memakan waktu hampir 4 hari perjalanan.
Semua pasti ingin langsung pulang ke kost atau rumah masing-masing, lalu melemparkan diri ke atas kasur, siap menebus rasa kantuk dan lelah di pulau kapuk.
Namun masih ada satu acara lagi yang harus mereka ikuti, yaitu upacara penerimaan kembali mahasiswa KKN di halaman Balairung. Baru setelah itu mereka bisa istirahat sepuasnya.
Tak terasa bus telah memasuki boulevard, melaju membelah Jl. Pancasila, melewati lapangan GSD yang dipenuhi oleh mahasiswa baru sedang melakukan gladi bersih Ospek.
"Indonesia
Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu
Indonesia
Debar jantungku, getar nadiku
Berbaur dalam angan-anganmu
Kebyar-kebyar pelangi jingga"
(Gombloh, Kebyar-kebyar).
Suara koor ribuan maba dipandu panitia Ospek mampu menembus ke dalam ruang bus yang mereka tumpangi. Membuat beberapa orang terbangun kaget, "Wih, uwis tekan to (wih, udah sampai ya)?"
Beberapa bahkan berdiri untuk bisa melihat situasi lapangan dengan lebih jelas. Ia yang duduk di sisi kanan bus tak harus berdiri, cukup memasang mata baik-baik sudah bisa merekam keseluruhan suasana lapangan.
Terlihat ribuan maba yang begitu antusias berlatih lagu dan anthem, panasnya matahari tak menghalangi keceriaan wajah mereka.
Lalu ratusan panitia Ospek yang hilir mudik memastikan gladi bersih berjalan sesuai rundown acara. Tak ketinggalan suara raungan pesawat tempur dan puluhan penerjun payung yang menghiasai langit lapangan.
Tanpa sadar ia tersenyum melihat semua pemandangan yang terekam dari balik kaca jendela bus. Ternyata satu tahun telah berlalu, rasanya seperti baru kemarin.
"Pakai topi, nanti pingsan."
Kalimat maut itu kini kembali terngiang. Membuatnya tersipu.
Sementara bus terus melaju meninggalkan lapangan yang sarat kisah. Membuatnya berpikir, apakah di antara ratusan panitia itu ada yang bernasib sama seperti dirinya tahun lalu. Bertemu dengan orang paling tak disangka. Yang berhasil merubah kehidupan aman tenteramnya menjadi jungkir balik tak karuan.
Usai seremonial, foto bersama, ngobrol-ngobrol tentang format dan waktu pengumpulan laporan KKN, sedikit makan-makan, finally ia bisa sampai di gerbang Raudhah.
Suasana sepi karena ditinggal para penghuninya pulang kampung liburan semester, hanya ada Nila dan Ira yang sedang sibuk mencuci barang bawaan KKN.
Nila dan Ira yang memilih KKN di daerah Banyuwangi, sudah pulang sejak seminggu lalu. Namun sampai sekarang belum selesai beberes. Wah, kebayang kan berapa lama waktu yang kelak diperlukannya untuk beberes? Hmmm.
"Wah, Nggi, lo kurus amat," komentar Ira begitu melihatnya. "Item lagi."
Ia tertawa.
"Emang jauh banget ya desa nya?" Nila ikut penasaran. "Kata si Mika mesti naik kapal lagi."
"Empat hari perjalanan," ujarnya sambil meletakkan backpack ke lantai untuk membuka kunci pintu kamar.
"Wah, mantap!" Ira geleng-geleng kepala. "Kalau kutaksanggup lah ya."
"Tapi seru loh, Ir. Bener-bener pengalaman tak terlupakan."
"Pastinya sih. Gavin tuh sering banget apdet status sosmed. Kalau dilihat dari kontennya seru juga."
"Gavin koordinator, sering pergi ke kota. Kalau kita cukup menikmati sinyal yang lap lep tiga hari sekali," ujarnya tertawa mengingat betapa sulitnya sinyal di sana. Membuat Papah Mamah khawatir karena sering tak bisa menghubunginya.
"Misi....pakeeeet....," suara teriakan membuat mereka bertiga menoleh kearah pintu. Membuatnya segera beranjak ke depan, karena ia yang berdiri paling dekat dengan pintu.
"Mba Anggi?" tanya Mas Ojol begitu ia membuka pintu.
"Ya?"
"Ini ada kiriman," sambil menyerahkan sebuket bunga mawar merah segar dan sebuah paperbag.
"Buat saya?" ia mengernyit. Siapa kira-kira orang yang salah kirim.
"Iya, betul," Mas Ojol ikut bingung. "Mba Anggi, Rahayu Anggiantisa kan?" malah balik bertanya.
"Iya itu nama saya."
"Silahkan diterima Mba," Mas Ojol kembali mengangsurkan dua barang tersebut. Membuatnya tak punya pilihan untuk menerima sambil mengucapkan terima kasih.
Sambil berjalan menuju kamar, ia masih bertanya-tanya siapa gerangan orang yang salah kirim. Begitu masuk ke kamar, dilihatnya secarik kertas ucapan tersembunyi di balik kelopak bunga.
'Welcome home, Sweetie.'
-Ur biggest fan no. 1, R-
Ia memutar bola mata, tapi sambil tersenyum malu. Mendadak ingatannya melayang pada malam hari setelah wisuda.
"Rahayu Anggiantisa...once again....Will you marry me?"
Ia, yang sudah lebih berpengalaman dalam menghadapi si jago sepik, hanya bisa tersenyum grogi sambil melepas cincin yang telah disematkan ke jari manisnya.
"Kenapa dilepas?" Rendra mengkerut.
Ia berusaha tersenyum tenang, padahal hatinya takut luar biasa. Takut salah membuat keputusan.
Ia harus menelan ludah sebelum berkata, "Aku mau nurut sama orangtua. Kata Papah, kita temenan aja dulu sampai aku lulus," sambil menggenggamkan cincin berkilau itu ke tangan Rendra.
Ia memberanikan diri memandang Rendra yang semakin mengkerut, "Ada banyak hal penting yang harus aku lakuin. Minggu depan udah berangkat KKN, abis KKN mesti intern, terus skripsi. Aku perlu ruang biar bisa konsentrasi."
"Kamu juga kan lagi banyak kerjaan. Banyak rencana yang belum kelar. Banyak...."
Rendra meraih kedua tangannya dalam genggaman hangat sambil tersenyum lembut, "Apapun yang kamu mau. It's gonna be you. Always you."
Ia lebih dulu mencium wanginya bunga mawar sebelum meletakkan di dalam tall square yang telah diisi air dari dispenser. Lalu menyimpannya di atas meja belajar.
Setelah itu ia beralih membuka paperbag, yang ternyata berisi sekotak donat almond, lunch box berlogo katering sehat, dan dua buah kaleng Bear Brand yang salah satunya ditempeli post it warna kuning bertuliskan,
'Stay healthy, i'm still here.'
-R-
Ia tersenyum sambil memandang sebuah kotak kaca kecil yang terletak di atas rak buku, berisi cincin rumput teki yang sudah kering kerontang dan menghitam.
Seminggu kemudian saat ia masih sibuk mengerjakan laporan KKN, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Rendra sudah berdiri di teras Raudhah lengkap dengan senyum miringnya.
Hampir 5 menit lamanya mereka hanya diam mematung di tempat masing-masing sambil saling berpandangan menahan tersenyum.
"How i miss you...," Rendra lebih dulu bersuara, sambil tangannya terangkat keatas memasang gestur ingin memeluk.
Ia yang juga masih tersenyum mundur selangkah sambil menggeleng.
Membuat Rendra mengernyit, "Come on," sambil matanya melirik ke dalam kost. "Udah nggak ada Salsa kan? Udah aman," kali ini sambil tersenyum menggoda.
Namun ia masih menggeleng.
"Siapa ketua sukunya sekarang?" Rendra mengernyit. "Saklekkan mana sama Salsa? Pelukan doang nggak masal...."
Sambil masih tersenyum ia buru-buru mendudukkan diri ke kursi teras. Membuat Rendra pura-pura memasang wajah kesal, namun kemudian mengikuti langkahnya duduk di teras.
"Kamu hobi banget nyiksa aku," Rendra menggerutu, tapi sambil menatapnya lembut. Lalu berkata serius, "Mulai besok tiap hari kukirim katering ya, no debat."
"Kenapa?" kali ini ia tak mampu menahan tawa. "Aku kurus banget ya? Pulang KKN jadi kurus trus item."
Rendra menggeleng serius. "Bukan karena itu," lalu tersenyum penuh arti.
"Menurut artikel yang kubaca, persiapan kehamilan itu idealnya dilakukan 6-12 bulan sebelumnya. Nah, mulai sekarang kamu mesti makan makanan bergizi demi mempersiapkan bu...."
"Ish!" ia buru-buru mencibir sambil mengkerut. Membuat Rendra terkekeh.
"Kita mesti maksimal mempersiapkan masa depan. Proker hima aja digodok mati-matian sampai rela begadang nggak tidur. Sampai berantem sama teman yang beda visi. Sementara....."
"Iya...iya...," ia buru-buru memotong kalimat Rendra sebelum makin ngaco. "Tapi kamu tahu nggak apa yang lebih penting dalam mempersiapkan kelahiran seorang anak?"
"Apa?" mata Rendra membulat antusias.
"Memilih ayah yang tepat untuk sang anak," jawabnya mantap sambil mengulum senyum.
Kali ini Rendra yang mendecak, "Waduh, aku lagi yang kena," lalu garuk-garuk kepala.
"Iya nak, iya nak, mulai sekarang Papi akan bergaya hidup sehat. Demi kamu apa sih yang enggak, " seloroh Rendra, membuat mereka akhirnya tertawa berdua.
Namun yang paling mengejutkan dari kedatangan Rendra sore ini adalah, ia membawa sebundel kertas yang telah dijilid rapi berisi,
"Ini apa?" ia mengernyit membaca tulisan yang tertera di halaman paling depan, Prenuptial Agreement. What?
"Don't get mad," Rendra menatapnya serius. "Ini hanya usaha maksimalku buat ngelindungin kamu."
"Tolong dibaca baik-baik. Kalau ada yang nggak sreg bisa langsung hubungi aku, nanti kita diskusikan."
"Kalau kamu mau ada yang ditambahin, langsung aja tulis disana, coret-coret pakai bolpen nggak papa, nanti kalau udah fixed kita buat yang baru."
"Kamu...," ia mendadak murung. Apa-apaan Rendra sampai membuat perjanjian pra nikah segala.
Rendra mencondongkan badan lalu meraih tangannya lembut, "Aku sayang banget sama kamu, cewek paling susah buat didapat. Harus jatuh bangun dulu," sambil tertawa kecil.
"Aku yang sekarang...nggak mau nyakitin kamu. Tapi, belajar dari kasus kemarin, dengan masa laluku yang....yah...begitu...kita nggak tahu ke depannya bakal seperti apa," Rendra menghela napas.
"Ini...salah satu cara buat ngelindungin kamu. Aku harap kamu mau ngerti."
Ia masih memandang Rendra masygul.
"Masih banyak waktu sampai Februari. Kamu bisa cari info kira-kira hal apa aja yang penting buat dimasukkan ke pre-nup."
"Kenapa Februari?" ia mengernyit.
"Kamu wisuda Februari kan? Kita langsung nikah habis kamu wisuda, nggak perlu nunggu lama-lama."
Ia mencibir, "Skripsi aku Abaaang. Dikira bikin pancake apa langsung jadi," ujarnya kesal.
"Iya sweetie ku sayang," Rendra balas mengerling nakal.
"Skripsi kamu pasti bisa cepet selesai. Target Februari ya...oke Februari. Aku udah nggak kuat nih nahan lama-lama ping..."
Ia buru-buru menarik tangan dari genggaman Rendra, "Mulai ya!" gerutunya kesal, kali ini kesal beneran. Rendra itu ya apa nggak bisa ngomong serius tanpa dibumbui hal menjurus.
"Iya iya....ampun...ampun..," Rendra terkekeh sambil mengangkat kedua tangannya keatas. "Nyerah...nyerah...."
***
Dio
Sebenarnya ia sudah tiba di Indonesia sejak empat hari lalu, namun masih harus transit di Jakarta. Menginap selama dua hari di Hotel Indonesia Kempinski, untuk mengikuti serangkaian acara seremonial yang diadakan oleh pihak Young Scientist Exchange.
Disana ia berkumpul dengan sekitar 14 mahasiswa lain dari kampusnya, Kampus Jakun dan Kampus Biru. Karena di Indonesia, Tokyo Tech memang hanya melakukan kerjasama exchange research dengan 3 Kampus tersebut.
Begitu seluruh rangkaian seremonial selesai, ia langsung pulang ke Bandung menggunakan kereta api Argo Parahyangan jam keberangkatan yang terakhir. Sampai di Stasiun Hall jam setengah dua dini hari, dan langsung menemui wajah ceria Afka dan Irsyad di pintu keluar.
"Weiiii!!"
"Woiii! Diooo!!"
"Welcome back!!"
Mereka bertiga langsung menghambur berpelukan sambil saling menepuk punggung. Afka dan Irsyad, meski beda fakultas, tapi mereka bertiga sama-sama aktif di sebuah organisasi kepemimpinan extra kampus.
"Wah, maneh (kamu) makin mirip orang Jepang euy!" kelakar Afka.
"Oh, he eh, bener," Irsyad memperhatikannya seksama. "Tinggal setahun di Jepang bisa bikin kulit nambah putih ya? Aing (aku) mau lah."
"Sa ae," gerutunya sambil menarik travel bag segede gaban keluar dari Stasiun.
Sepanjang jalan mereka ramai saling bercerita, sesekali terbahak bersama. Sesampai di kost ia tak langsung istirahat, lebih memilih membongkar isi koper yang berisi oleh-oleh.
"Besok sore temenin gue ke rumah Bang Nizam sama Pak Yunan dong, mo ngasih oleh-oleh. Eh, Pak Oki sama Bu Septa juga."
"Rebeees," Afka mengacungkan jempol setuju. Sementara Irsyad sudah tertidur di atas karpet yang masih berantakan dengan barang-barang bongkarannya.
Sepertinya ia hanya sempat memejamkan mata selama beberapa menit sebelum terdengar adzan Subuh berkumandang. Usai Subuh ia melanjutkan tidur sampai akhirnya dibangunkan Irsyad.
"Yo, titip sarapan apa?"
Ia terbangun, harus menunggu beberapa menit sebelum akhirnya duduk. Sepertinya jet lag belum hilang. "Ikut aja lah."
"Kalau gitu sekalian we (aja) ke CFD. Anak-anak banyak yang danusan hari ini," Afka mendadak muncul dari kamar mandi.
Ia dan Irsyad setuju. Mereka pun jalan kaki dari kost menuju Sidag, lalu belok ke Sumur Bandung untuk sarapan Nasi kuning.
"Ari Aa tos lami teu katingal nya (Kalau Aa udah lama nggak kelihatan ya)," ujar ibu Nasi kuning saat melihatnya. "Kamana wae (kemana aja)?"
"Nembe uih ti Jepang ieu Bu (baru pulang dari Jepang ini Bu)," Afka yang menjawab, sambil mencomot perkedel kentang untuk disimpan ke piringnya.
"Oh, meuni tebih (oh, jauh). Ibu teh sok kaemutan, ari Aa nu jangkung kacamata teh kamarana ieu teu kadarieu (ibu suka teringat, kalau Aa yang jangkung pakai kacamata kemana nggak pernah kesini lagi)."
"Muhun ibu (iya Bu)," ia tersenyum. "Meni sono (kangen)." Ibu Naskun favorit sampai hapal ia sering sarapan disini.
"Sono ka ibu lain sono ka nasi kuning (Kangen ke ibu bukan kangen ke nasi kuning)?" ibu Naskun tertawa.
"Duanana (dua-duanya)," ia terkekeh.
"Tong dicariosan wae, nteu tuang-tuang (jangan diajak ngobrol terus, sampai nggak keburu makan)," tegur suami ibu Naskun yang sedang membungkus pesanan salah seorang pembeli.
"Nya sok sok taruang (iya silahkan makan)," ibu Naskun kembali sibuk melayani pembeli.
Ia mengunyah nasi kuning dengan penuh perasaan. Terasa sangat nikmat setelah hampir setahun lebih lidahnya tak bertemu masakan khas Indonesia, apalagi Naskun Sumur Bandung ini memang terkenal legend enaknya.
***
Keterangan :
Danusan. : dari kata dana dan usaha, berjualan untuk memenuhi dana kegiatan yang kurang. Biasanya dilakukan dalam sebuah kepanitiaan atau kepengurusan organisasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Dhina Masagung Gemilang
baca ulang untuk kesekian kalinya n ga bisa move on dari bang Rendra n Anggi
2024-07-30
0
Herlina Lina
nah lho...
2024-06-09
0
Herlina Lina
ya Allah bungkusin sikap sweet gini 1 buat hamba biar bs ngerasain d syg dan d prioritaskan itu sprti apa
2024-06-09
1