Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan yang tak diharapkan, lagi!
"Mas, besok minggu kita main ke rumah Bapak, yuk! Sudah lama, Laras nggak main ke rumah eyangnya." Ajak Niken sambil meletakkan secangkir kopi untuk Bima.
"Tumben?"
"Nggak, Mas. Lama nggak main ke rumah baoak ibu. Ya, meskipun, setiap hari sudah ketemu bapak, tapi beda rasanya. Kalo di kantor, yang diomongin kerjaan. Kalau di rumah, kan, bisa lebih bebas ngobrolnya. Apalagi, denger denger Runi sudah punya pacar, loh." Ungkap Niken sambil tersenyum lebar.
"Oya? Kok, aku belum dengar cerita itu dari Seruni." Bima mengerutkan keningnya.
"Makanya, besok kita main ke sana."
"Baiklah, istriku yang cantik!"
Bima mencubit gemas pipi Niken sambil mencium istrinya itu.
"Ih... Papa genit!" Celetuk Laras yang baru keluar dari kamar.
Bima menoleh ke arah putrinya ya g baru bangun tidur.
"Loh, kok sudah bangun?"
"Papa dan mama berisik, jadinya aku bangun." Laras menggaruk kepalanya.
"Yuk, mama temani bobok lagi." Ajak Niken sambil menghampiri Laras.
"Aku mau di sini, Ma." Laras duduk di samping Bima.
Bima menggeser duduknya, lalu memeluk Laras yang sudah duduk di sampingnya.
"Maaf, ya, Nak. Papa dan mama berisik. Mama mengajak ke rumah eyang besok Minggu. Apa kamu mau?" Tanya Bima.
Laras mengangguk cepat sambil menatap Bima senang.
"Laras kangen sama Tante Runi, kangen sama Om Dewa, dan Eyang." Sorak Laras.
"Ya sudah, sekarang kamu bobok lagi. Besok kan harus sekolah. Terus besoknya kita bisa main ke rumah eyang." Buku Niken, supaya Laras kembali masuk ke kamar dan tidur.
Laras memajukan bibirnya sedikit kecewa, tapi dia menurut ucapan ibunya itu.
"Mama temani tidurmu sebentar."
Niken membelai lembut rambut Laras, dan membenarkan selimut yang menutupi tubuh putrinya itu.
"Ma, apakah aku boleh les piano?" Tanya Laras sambil menatap Niken.
"Oh... Sejak kapan kamu menyukai piano?" Tanya Niken heran.
"Aku sering melihat Miss Sally, guruku bermain piano saat mengajar di kelas. Aku tertarik bermain piano. Miss Sally mengajarkan beberapa lagu mudah padaku, dan aku bisa. Katanya, jika aku menyukai piano, aku harus bilang pada Mama atau papa."
Niken tersenyum lembut.
"Besok pas kita main di rumah eyang, mama akan tanya pada Om Dewa, tempat les piano yang bagus untukmu."
"Benar, Ma?" Seru Laras berbinar.
Niken mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih, Mama!" Laras memeluk mamanya dengan gembira.
"Sudah, sekarang, kamu tidur dulu. Besok pagi masih harus bangun pagi dan sekolah lagi."
Laras menurut. Gadis kecil itu memejamkan matanya, dan kembali tertidur.
*
"Mas, mampir ke toko roti sebentar, ya. Aku mau beli oleh oleh buat orang rumah."
Bima mengangguk.
Niken membeli sekotak brownies dan beberapa macam roti, dan buah, untuk buah tangan mertuanya.
"Assalamualaikum..." Ucap Bima di depan pintu.
"Wallaikumsalam..." Sahut Pak Widodo dari dalam rumah.
"Loh, ada tamu kecil ini..." Sambut Pak Widodo sambil memeluk cucunya.
Laras memberi salam sambil mencium tangan kakeknya itu, lalu Niken dan Bima menyalami ayahnya bergantian.
"Nah, akhirnya datang juga tamu kita ini..." Sambut Seruni dengan gembira.
Niken menyodorkan buah tangannya itu pada Seruni, lalu seruni menerima dengan suka cita.
"Ibumu ada di halaman belakang, sedang bersama tanamannya." Ucap Pak Widodo.
Bima dan Niken mengangguk mengerti.
"Yas, ayo kita salim sama eyang putri dulu." Ajak Niken.
Laras mengangguk dan berlari kecil ke halaman belakang.
"Eyang Putri..." Teriak Laras dengan gembira menuju Bu Mirna.
"Heh, nggak sopan teriak teriak sama orang tua! Apa ibumu nggak pernah ngajarin sopan santun apa selama ini!" Teriak Bu Mirna mengejutkan Laras yang berdiri tepat di depannya.
Laras yang berniat menyapa neneknya, hanya berdiri terpaku sambil menatap Bu Mirna dengan mata berkaca-kaca.
"Laras..." Niken berlari kecil memeluk putrinya.
"Maaf, Bu. Laras hanya ingin menyapa Ibu." Ucap Niken sambil menatap Bu Mirna.
"Lain kali, ajari anakmu itu sopan santun!" Ucap Bu Mirna dengan keras dan penuh penekanan.
"Bu! Laras datang ingin mengunjungi eyangnya, tapi ibu malah menakutinya." Sahut Bima sewot sambil menatap ibunya itu.
"Tumben kamu pulang? Ibu kita kamu lupa sama ibu bapakmu ini?" Tukas Bu Mirna sambil tersenyum sinis.
Bima menggelengkan kepalanya.
"Yuk, kita pulang saja! Kita datang niatnya baik, malah membuat Laras takut." Ucap Bima sambil menggendong putrinya yang masih menangis sesenggukan.
"Bima!" Panggil Bu Mirna.
"Apa lagi, Bu?" Tukas Bima dengan kesal.
Bu Mirna menatap Laras sambil mengehela napas panjang.
Dia tahu, gadis kecil itu hanya korban ketidaksukaan nya pada Niken, yang dilampiaskan pada cucunya itu.
Tapi, di dalam hati Bu Mirna masih memendam rasa tak suka pada Niken.
"Ayo sini! Tante Runi buat pisang goreng." Bujuk Seruni dengan ramah.
Seruni menghampiri Bima dan mengambil Laras dari gendongan kakaknya itu.
"Aku mau pulang saja, Tante." Ucap Laras.
"Loh, kok pulang?"
"Aku takut." Sahut Laras pelan.
Seruni melirik pada Bima dan Niken yang hanya diam. Lalu dia menatap ibunya.
"Oohhh... Eyang Putri sedang datang bulan, jadi sensitif!" Celetuk Seruni asal.
"Apa itu datang bulan? Sensitif apa Tante?" Tanya Laras polos.
"Yuk ikut Tante, nanti Tante kasih tau, tapi jangan nangis lagi, ya." Rayu Seruni pada Laras.
Sontak jawaban asal Seruni membuat Bu Mirna langsung melotot menatap putri bungsunya itu.
"Wa, kamu tau tempat les piano yang bagus tapi harganya terjangkau?" Tanya Niken.
"Ada temanku, Mbak. Ada apa?"
"Nggak, Laras, kan,mulai suka piano. Kemarin sempat belajar sama gurunya di sekolah. Nah, jika dia memang ada bakat dan keinginan, nggak ada salahnya dileskan." Terang Niken.
"Heh, sok kayak orang kaya!" Sindir Bu Mirna.
"Bu, kok gitu? Cucu kita punya bakat, kok nggak didukung?" Pak Widodo mengingatkan Bu Mirna.
"Ya, harusnya sesuai kemampuan. Rumah saja masih ngontrak, terus pakai baby sitter, terus menyekolahkan anak di sekolah yang mahal, sekarang mau les piano. Nggak sekalian beli pianonya, gitu? Ibu ini sudah paham. Dulu Bima dan Dewa itu, masing masing punya alat musik, dan kita belikan dengan harga yang nggak murah, loh, Pak."
"Bu. Ya kita harus mendukung setiap hal hal yang baik anak dan cucu kita."
"Bapak selalu membela anak itu! Apa karena sering bepergian dengan Niken, Bapak jadi seperti ini?" Tuduh Bu Mirna.
"Astaga, Bu! Jaga omongan, Bu. Istighfar, Bu! Kita ini sudah tua. Niken itu mantu kita, istri Bima. Nggak mungkin..kemarin urusan pekerjaan, Bu."
Sahut Pak Widodo sambil menatap tegas wajah istrinya itu.
"Ya, sudah. Kami permisi saja!" Tukas Bima sambil menarik lengan Niken dan mengajak Laras untuk keluar dari rumah itu.
"Bima! Kamu jangan seenaknya keluar masuk rumah!" Sergah Bu Mirna.
"Jadi aku harus bagaimana, Bu?" Bima balik bertanya dengan tak kalah kerasnya.
"Kamu berubah jadi pembangkang sejak bersama wanita itu! Keluarga kita terpuruk sejak itu! Kamu harus tau itu!"
"Bu!" Pak Widodo berteriak keras pada Bu Mirna.
"Itu urusanku dan pekerjaan. Jangan campur adukkan dengan keluarga kita!"
"Tapi, kenyataannya memang seperti itu, kan, Pak? Kita harus jujur pada mereka!"
Bima menggendong Laras dan menarik lengan Niken untuk segera berlalu dari rumah orang tuanya itu.
"Mas, Mbak!" Panggil Dewa sambil berlari mengejar Bima dan keluarganya.
"Ada apa, Wa?" Tanya Niken.
"Laras bisa belajar piano bersama aku, di studio. Nanti aku kabari jadwalnya, karena aku harus mencocokkan jadwal kosong studio." Ucap Dewa sambil tersenyum.
"Bener, kamu bisa? Maksudku, kamu sempat untuk mengajari Laras?" Niken menatap Dewa.
"Ya. Bisa." Sahut Dewa sambil mengangguk yakin.
"Terima kasih, Wa!" Bima menepuk bahu adiknya itu.
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘