Tepat di hari pernikahan, Ayana baru mengetahui jika calon suaminya ternyata telah memiliki istri lain.
Dibantu oleh seorang pemuda asing, Ayana pun memutuskan untuk kabur dari pesta.
Namun, kaburnya Ayana bersama seorang pria membuat sang ayah salah paham dan akhirnya menikahkan Ayana dengan pria asing yang membantunya kabur.
Siapakah pria itu?
Sungguh Ayana sangat syok saat di hari pertama dia mengajar sebagai guru olahraga, pria yang berstatus menjadi suami berada di antara barisan murid didiknya.
Dan masih ada satu rahasia yang belum Ayana tahu dari sang suami. Rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tria Sulistia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Elang Berubah
"Dimakan juga itu roti."
Sebuah suara mengagetkan Ayana sampai membuat dia tersedak.
"Hoek…hoek…hoek.. apa?"
Ayana menoleh ke arah pintu yang ternyata sudah ada Elang di sana. Seketika Ayana langsung melempar bungkus roti bakar ke meja samping tempat tidur.
"Apa? Jadi ini roti kamu yang beli?" Ayana berpura-pura tidak tahu.
Sementara Elang hanya menghela nafas sambil tersenyum tipis.
"Dimakan saja. Toh itu semua buat kamu," kata Elang yang kemudian melangkah pergi begitu saja.
"Aku nggak mau. Aku nggak suka roti pakai selai blueberri."
Elang menghentikan ayunan kakinya. Lalu memutar badan ke belakang.
"Yakin? Ya sudah aku ambil ya?"
Tangan Elang menyambar roti bakar beserta bungkusnya yang ada di atas meja. Melalui ekor matanya, Elang dapat melihat Ayana menelan saliva dengan menampilkan wajah tak rela.
Sayang banget. Padahal itu roti enak banget, batin Ayana menatap roti bakar yang ada di tangan Elang sambil mengusap bibir karena dia merasa air liurnya menetes.
"Yakin nih, nggak mau?"
"Y-yakin lah. Sana bawa aja. Aku nggak suka," kata Ayana memalingkan muka.
"Ya sudah."
Elang keluar dengan tangan yang membawa roti bakar. Dia terkekeh sendiri melihat Ayana yang kesal padanya.
Kemudian dia kembali melirik ke dalam kamar, dimana Ayana sedang membelakanginya sambil mulut mengoceh memaki Elang.
Tanpa disadari oleh Ayana, Elang kembali menaruh roti itu ke atas meja. Dia keluar dengan mengendap-endap supaya tak menimbulkan suara. Baru setelah itu, dia masuk ke dalam kamarnya.
"Aya… Aya… kamu tuh lucu banget sih."
*
*
*
Keesokan hari saat pagi menjelang siang, Elang duduk menatap serius ke papan tulis yang dipenuhi oleh angka-angka dan rumus rumit. Dia mendengarkan dengan seksama penjelasan Bu Dewi sambil menganggukan kepala sesekali.
Hampir setengah murid sudah menunjukan tanda-tanda 5 L : lemah, letih, lesu, lunglai dan lapar.
Namun tidak dengan Elang. Dia malah semakin terlihat semangat menyalin tulisan di papan tulis.
Menjadikan Abian yang duduk di samping Elang sampai mengerutkan dahi terheran. Sebab baru kali ini, Abian melihat Elang sangat serius dalam belajar apalagi pelajaran matematika.
Lantas dia pun menyenggol lengan Elang dan berbisik, "Nanti kita bolos yuk. Kita ke warnet yang biasa."
Elang mengangkat bahu tanpa menoleh pada Abian. Pandangan mata Elang fokus menatap papan tulis dan buku catatannya secara bergantian.
"Nanti aku mau ke perpus," kata Elang singkat.
"Hah? Serius?" Abian melongo tak percaya. Matanya membulat sempurna begitu juga dengan mulutnya. "Seorang Elang ke perpustakaan? Wow."
Abian bertepuk tangan pelan agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengundang perhatian Bu Dewi.
Sementara Elang melirik Abian sekilas seraya tersenyum kecut. Lalu kembali dia menatap buku catatannya dan menuliskan deretan angka di sana.
"Remaja seperti kita ini sudah saatnya menata masa depan."
"Wuooow," Abian makin dibuat tercengang.
Abian berdecak sambil menggelengkan kepala. Selama tiga berteman dengan Elang, baru pertama kali ini Elang bisa mengucapkan kata-kata bijaksana seperti yang biasa dikatakan Pak Kepsek jika sedang berpidato di upacara hari senin.
Lalu diletakannya tangan Abian di atas kening Elang untuk mengecek suhu tubuh temannya itu normal atau tidak.
Tapi secepat kilat Elang menampik tangan Abian.
"Apa sih, Bi?" tanya Elang menunjukan raut kesal.
"Kamu kerasukan setan apa, Lang?" Abian justru balik bertanya. "Kok tumben rajin."
"Ehem… ehem… Abian, Elang, jangan ngobrol di dalam kelas atau kalian mau Ibu suruh keluar dari kelas," ancam Dewi seraya berkacak pinggang melotot pada dou biang onar di sekolah.
"Maaf, Bu. Kita nggak akan ngobrol lagi kok," kata Elang sopan dan menundukan kepala.
Lagi-lagi Abian tersentak melihat gelagat sahabtanya yang berubah 180 derajat dari biasanya.
Jam pelajaran matematika pun usai. Sesuai niat awal, Elang pergi ke perpustakaan sekolah yang menjadi tempat di mana selama tiga tahun bersekolah tak pernah Elang kunjungi.
Saat tiba di depan pintu perpustakaan, Elang mendadak bimbang. Dia mengayunkan kaki pertamanya dan seketika itu pandangan semua orang langsung tertuju padanya.
Elang pun salah tingkah saat dirinya menjadi pusat perhatian. Sebisa mungkin dia bersikap wajar dan berjalan ke deretan rak buku.
Dia memilih buku yang sekiranya menarik untuk dibaca. Akan tetapi pandangan penuh heran semua orang di dalam perpus mengganggunya.
Membuat Elang menyambar buku asal dan kemudian duduk di bangku.
"Elang," sapa sebuah suara yang sangat Elang kenal.
Elang menoleh pada murid yang memanggilnya. Ternyata benar dugaannya. Orang yang menyapa Elang adalah Farel, sahabatnya.
"Mau apa kamu kemari?" tanya Farel dengan mata yang menyorotkan rasa tidak percaya.
"Baca buku lah. Memang mau apalagi?"
"Wow. Tumben."
Elang memilih tak menanggapi ucapan Farel. Dia menunduk membaca buku yang dia ambil secara asal tadi.
Buku itu rupanya buku sejarah yang hanya berisikan tulisan tanpa ada gambar sama sekali. Membuat Elang berdecak kesal lalu tiba-tiba pikiran Elang melanglang buana kepala Ayana.
Pagi hari tadi, Ayana tampak seperti memusuhi Elang. Tidak berbicara sama sekali bahkan tidak mencium tangan Elang saat pamit berangkat.
Elang tak tahu apa yang membuat Ayana berperilaku seperti itu. Meski Ayana memang sering menunjukan sikap jutek dan tidak peduli, tapi kali ini Elang merasakan ada sesuatu yang berbeda.
"Farel," kini giliran Elang yang memanggil Farel.
"Hum," Farel bergumam sambil memberi tanda pada kalimat terakhir yang dia baca.
"Gimana sih cara menaklukan hati cewek?"
Alis Farel menaut bingung tapi detik berikutnya bibir Farel mengembangkan senyuman. Dia tahu yang dimaksud cewek oleh Farel tentu saja adalah Bu Aya.
"Kenapa kamu tanya seperti itu? Lagi berantem sama istri?"
"Ya, begitu lah. Dia ngambek mulu dari pagi," keluh Elang.
Sontak Farel menahan tawa geli sambil menutup mulut agar tidak menimbulkan suara. Sedangkan Elang melirik Farel dengan tatapan malas.
"Kok malah ketawa sih? Nggak lucu kali."
"Eh, Lang. Kamu tahu nggak lagunya Ari Lasso yang gini liriknya…"
Sejenak Farel berdehem guna menyiapkan suara terbaiknya. Lalu dia pun bernyanyi dengan suara lirih agar tidak kena omel penjaga perpustakaan.
Sentuhlah dia tepat di hatinya.
Dia kan jadi milikmu selamanya.
Sentuh dengan setulus jiwa.
Buat hatinya tebang melayang….
Farel mengakhiri lagunya dengan senyum kuda yang menampilkan deretan gigi putih berkilau.
Tapi Elang sama sekali tak terhibur dengan nyanyian Farel yang suaranya benar-benar sumbang itu. Dia menghela nafas lalu melempar pandangan ke luar jendela, melihat lapangan sekolah yang rumputnya terawat sangat baik.
Ruangan perpustakaan berada di lantai dua. Sehingga dari tempatnya duduk, Elang dapat melihat Ayana di tengah lapangan sedang mengajarkan aturan permainan softball.
Mendadak sebuah ide muncul di benak Elang yang membuatnya tersenyum lebar dengan mata yang tak lepas memandang Ayana.