Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Keretakkan Dunia
Benua Barat.
Jauh di bawah tanah yang tak pernah melihat cahaya matahari, berdiri sebuah kastil hitam yang seakan menyatu dengan bebatuan purba. Bentuknya tajam dan bengkok, seperti tulang-belulang yang dipaksa tumbuh dari tanah mati. Udara di sekitar tempat itu begitu padat, penuh aroma darah dan sihir kuno. Bahkan tanahnya berdenyut samar, seakan tempat itu masih hidup—atau menyimpan sesuatu yang tak ingin dibangkitkan kembali.
Di dalam kastil itu, tak ada cahaya alami. Yang menerangi hanyalah obor berapi biru yang tak pernah padam dan asap hitam pekat yang mengambang rendah di langit-langit ruangan. Suara detak jantung entah berasal dari mana bergaung lembut tapi terus-menerus, memberi kesan bahwa tempat itu adalah jantung dari sesuatu yang jauh lebih besar dan mengerikan.
Dalam keheningan yang menakutkan itu, langkah pincang terdengar menggema. Kui—makhluk siluman yang dulu begitu angkuh dan kuat—berjalan tertatih. Separuh tubuhnya hancur, satu tangannya menggantung nyaris putus, dan wajahnya penuh luka yang belum pulih. Tapi di matanya, ada secercah harapan.
Dengan susah payah, ia mendorong pintu gerbang batu yang berat, memasuki aula besar sang raja. Di sana, duduk di singgasana raksasa dari tulang dan logam hitam, sosok yang bahkan bayangannya saja menebar tekanan luar biasa. Mata merah menyala itu menatap Kui dari atas, dingin dan tak berkedip. Dialah Peng Shao—Raja Siluman. Makhluk agung yang telah memerintah di kegelapan selama ratusan tahun, menunggu saat yang tepat untuk menginjak dunia di atas tanah.
Kui tersenyum getir, lalu berlutut sambil mengangkat sesuatu dari balik jubahnya yang robek—buah berwarna hitam legam yang berdenyut seperti jantung hidup. Buah bencana. Dan di dadanya, kehendak dewa siluman berkilau samar, menyatu dengan jiwanya. Ia percaya ini cukup. Ia yakin raja akan menyambutnya sebagai tangan kanan, atau bahkan penerusnya.
“Yang Mulia…” suaranya lirih, napasnya pendek. “Aku kembali… dengan buah bencana dan kehendak agung itu… Kita bisa menaklukkan dunia… bersama…”
Peng Shao tidak menjawab. Tidak ada pujian, tidak ada pengakuan. Hanya senyum tipis menyeringai yang perlahan membelah wajah dinginnya. Suara yang keluar dari tenggorokannya bukan tawa, bukan kemarahan—melainkan dengusan rendah, seperti binatang buas yang baru bangkit dari tidur panjang.
“Kau… hanyalah bidak rusak.” Suaranya serak dan berat, mengandung kekuatan yang membuat seluruh ruangan bergemuruh.
Tanpa aba-aba, aura kegelapan menyapu keluar dari tubuh Peng Shao, membungkus Kui. Tubuh hancur itu menggelepar, berusaha melawan, berteriak tak percaya.
“Tidak! Aku… aku membawa kehendak! Aku yang…—”
Suaranya terhenti. Tubuhnya mencair, diserap, dilahap, ditelan tanpa sisa.
Seluruh aula mendadak senyap.
Kemudian, kekuatan mulai bergejolak. Aura iblis murni meledak dari tubuh Peng Shao. Langit-langit batu runtuh sebagian, dan dinding-dinding kastil berderak hebat. Pelayan-pelayan siluman membungkuk gemetar, sementara para petinggi menunduk tanpa berani mengangkat wajah. Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang bergerak. Mereka tahu… sesuatu sedang bangkit.
Peng Shao menggenggam buah bencana. Matanya membara. Tubuhnya dikelilingi kilatan gelap dan kilau merah darah. Suara jantung kastil bergema lebih keras, menyatu dengan degup dari tubuh sang raja yang mulai bertransformasi. Suara patahan tulang dan dengungan kekuatan surgawi terdengar tumpang tindih.
“Akhirnya… penghalang busuk itu… runtuh…”
Suara tawa meledak—tawa iblis, liar, sombong, penuh derita dan kebencian yang menumpuk selama ratusan tahun. Suara itu menggetarkan tanah hingga retak dan menghancurkan obor api biru satu per satu.
Tubuhnya membesar sedikit, lalu mengecil, kemudian mengeras dalam bentuk yang tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Sayap-sayap gelap terbuka di belakangnya, dan tanduk barunya menjulur panjang seperti duri dari dunia lain. Aura di sekelilingnya bukan lagi Martial Sovereign… tapi sesuatu yang melampaui.
Setengah langkah Deific Realm.
“Alam ini tak lagi cukup untukku… kini waktunya… menantang langit…”
Dengan dentuman hebat, Peng Shao menghentakkan kakinya ke tanah. Ledakan dahsyat terjadi. Seluruh kastil bergetar hebat dan retakan meluas membelah tanah. Dari dalam kedalaman bumi, sosok hitam raksasa itu melesat naik, menembus lapisan bebatuan dan magma, terus menuju permukaan.
Tanah retak. Pegunungan berguncang. Langit gelap berubah merah. Di tempat lain di seluruh dunia, para kultivator kuat menoleh ke arah yang sama—merasakan tekanan yang menusuk jiwa.
Dari bawah tanah, ledakan energi mengoyak langit. Sosok Peng Shao muncul dari kawah raksasa, berdiri dengan sayap terbentang dan buah bencana di tangan. Di belakangnya, bayangan kehancuran terbentuk dari aura siluman yang menggila.
“Langit… kau terlalu lama duduk di atas takhta… Sekarang aku datang… untuk menumbangkanmu.”
Langit bergemuruh seakan menjawab. Petir turun saling bersilang, dan awan hitam berputar membentuk pusaran raksasa.
Dan dengan itu, pertarungan Peng Shao melawan langit… resmi dimulai.
***
Langit Benua Barat mendadak berubah menjadi gelap pekat, seolah menyadari bahwa sebuah kutukan kuno akan segera bangkit dari kedalaman dunia. Ketika Peng Shao berdiri di atas tanah yang retak dan melepaskan aura mengerikan dari tubuhnya yang baru berevolusi, dunia seperti menahan napas.
Namun, tepat sebelum ia melangkah lebih jauh, kabut hitam tipis muncul dari balik celah ruang di belakangnya. Kabut itu bukanlah energi biasa, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua dan purba, mengandung kehendak yang telah lama tersegel. Udara di sekitarnya menjadi dingin membeku. Mata Peng Shao memicing, tapi tak menunjukkan keterkejutan.
"Akhirnya anda tiba," gumamnya pelan.
Kabut itu kemudian membentuk siluet samar seorang lelaki bertudung, wajahnya tak terlihat, namun suaranya menggema di dalam benak Peng Shao seperti doa iblis dari dunia lain.
"Sudah saatnya, Peng Shao. Dunia ini telah menua dalam ilusi keteraturan. Tatanan harus dihancurkan... agar aku bisa menyusupkan raga-ku ke alam ini."
Suara itu terdengar lembut namun mengerikan, bagaikan cakar yang menggores jiwa. Peng Shao berlutut satu kaki, seperti seorang ksatria yang tunduk pada rajanya.
"Aku telah menunggu saat ini selama ratusan tahun… Aku akan melakukannya. Dunia ini akan kau miliki, dan aku akan menjadi tombak di tanganmu," jawabnya dengan semangat gila yang membara di matanya.
Kehendak itu mendekat, membisikkan sesuatu langsung ke benaknya. Sesuatu yang membuat tubuh Peng Shao bergetar hebat.
Setelahnya, kabut itu menghilang, namun di dahi Peng Shao muncul tanda hitam mengerikan berbentuk spiral mata yang terbalik.
Dengan sorakan tawa iblis, dia menggenggam buah bencana. Api ungu meledak dari permukaannya saat dia menggigitnya perlahan.
Di langit barat, guntur tak lagi menggema sebagai hujan, melainkan sebagai peringatan bahwa dewa yang lebih tua sedang terbangun.