Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabotase
Askara dan Gandhi menatap Dara yang sedang sibuk mengerjakan tugas yang mereka berikan.
“Lu sudah berikan tugas paling sulit?”
“Gue rasa, menyelesaikan proyek mangkrak kita di Jagarata karena terganjal tanah sengketa sudah cukup sulit. Apalagi untuk orang nggak berpengalaman,” sahut Gandhi.
“Gue pengin liat Dara nangis-nangis. Dia kerja juga buat bayar hutang pengobatan ibunya. Gue mau aja bayarin hutang ke Oppa biar dia nggak ganggu kita tapi biar lah. Gue mau seneng-seneng kerjain dia.”
Gandhi mendengus.
“Bro, kenapa sih lu benci banget sama Dara. Dulu sama Gadis juga lu bete banget.”
“Mereka punya apa yang gue pengin.”
Mereka terdiam ketika melihat Dara mendekat.
“Siang Pak Askara, Pak Gandhi. Saya berangkat dulu.”
“Kemana?”
“Ketemu sama ahli warisnya Haji Beni.”
Gandhi melotot. Anak buahnya sudah bertahun-tahun ingin bertemu tapi tidak pernah berhasil. Ahli waris bernama Haji Suebi selalu menghindar.
“Ya sudah, jangan bikin kacau. Kalau ada kesepakatan, obrolin dulu sama saya.” Gandhi berkata nada datar dan acuh.
“In syaa Allah. Bismillah ya, Pak …”
***
Setelah menempuh dua jam perjalanan memakai ojek motor, Dara tiba di warung tempat dia janjian dengan Haji Suebi.
“Non, mau ketemu Babe? Ada noh di belakang. Masup aje masup.” Pemilik warung menyuruh Dara untuk menemui Haji Suebi.
“Assalamualaykum …”
“Waalaykumussalam. Masuk sini Non, kita lagi makan singkong meledak sambil ngopi-ngopi. Ane Suebi, anak pertama Babe Beni. Ini adek-adek ane, cewek semua ada lima. Yang ngono bini ane, ada tiga.”
Dara mengangguk ramah.
“Wah numbenan ada keluarga Anantara mau maen ke gubug ane. Ente beneran cucunye Darius Anantara.”
“Bener, Be. Orisinil Anantara,” Dara tak kalah cablak menanggapi Haji Suebi yang dipanggil Babe.
Istri nomor sekian angkat bicara, “Be, ini Dara cucu baru ketemu. Kembarannya almarhumah Gadis. Identik banget. Ada beritanya di medsos.”
“Ya, saya kakak kembarnya Gadis. Tapi waktu kecil dipisah.”
“Kenape?” Babe tak bisa menahan rasa kepo.
“Kurang tau juga. Papa dan Mama udah nggak ada jadi nggak bisa ditanyain.”
“Lu idup ama sape?”
“Ayah dan Bunda. Mereka sebenernya paman dan bibi, tapi Dara nggak tau. Ayah itu kakaknya Mama.”
“Babe ente kerja ape?”
“Driver, Be. Kalau Bunda punya warung. Kami tinggal di Bali.”
“Wah idup lu bisa jadi sinetron, ye.” Babe berkomentar sambil mencocol singkong ke bubuk kelapa parut.
“Sekarang sih novelnya lagi ditulis, Be,” balas Dara sambil terkekeh.
“Ipah, noh ambilin Non Dara Singkong. Yang noh, enak mekar. Kasih juga bubuk kelapanye. Teh, ente mau minum teh?”
“Mau, Be. Singkong dari kebon sendiri?”
“Kagak punya kebon lagi dah. Dijualin semua sama babe ane waktu die masih idup. Ini mah beli di pasar. Sambil dimakan ye. Gini, sebenernya ane bukannya mau bikin ruwet, tapi ane gedeg banget sama proyek ente yang di belakang tanah Ujung Betung. Drainase ente kagak bener, bikin rumah-rumah di sekitarnya banjir.”
“Oh gitu.”
“Iye! Ane dah coba ngomong ama pengelola, malah dicuekin. Ya ane bales cuekin aja tiap-tiap orang kantor ente ngemis2 minta ketemu. Kebelaguan noh saudara lu. Siapa yang perlente itu?”
“Nyang ganteng, Be?” Tanya salah satu istri Babe Suebi.
“Eh gue slepet lu ye. Noh nyang namanya Pak Aspal Aspal itu. Dateng naik mercy pintu dua. Ente kate ane kagak punya. Non, tanah di Jagarata, Ujung Betung, sama Mega Krawangan, itu punya Babe ane. Mercy doang mah Ane punya tiga.”
Dara menahan tawa. “Pak Askara kali ya.”
“Nah tu die, ente tau. Empet banget. Dateng bawa bodyguard. Kan mestinya die yang butuh ketemu ane. Pas kapan tu ane mau nemuin malah dicegat sama bodyguard. Eh ente nggak bawa bodyguard? Mobil parkir mane?”
“Ane eh maksudnya saya nggak bawa mobil. Tadi naik ojek.”
“Ojek motor? Wah ane demen nih kayak gini. Ente jangan berubah jadi belagu, ye. Gini, ane mau tes. Ane demen banget sama engkong lu tu si Darius Anantara. Kalau ane bisa ketemu die, kite ngobrol deh tentang tanah di Jagarata.”
Dara mengangguk.
“Lu jangan balik dulu. Nambah noh singkong. Eh elu diem aje ada tamu. Kasih lagi, cepet bener die makan,” titah Babe pada istri satunya untuk mengisi piring Dara dengan singkong.
***
“Nggak! Emang siapa dia minta mau ketemu Tuan Darius? Nggak pantes tauk!” Askara emosi mendengar laporan dari Dara.
Gandhi menatap cucu yang baru sehari berada di kantor tapi sudah berhasil menyelesaikan pekerjaannya selama dua tahun.
“Bilang, gue nggak peduli mau mangkrak brapa taun, kuat-kuatan aja.” Askara masih berapi-api.
“Nggak sayang sama investasi di sana. Kan tinggal akses masuk aja yang kita belum dapet,” ucap Dara lagi.
Gandhi berdecak.
“Semua udah dihitung. Kamu bakal nggak ngerti lah. Udah … tampangnya nggak usah sok mikir.”
“Saya di sini kan masih belajar, jadi saya lagi mengingat bahwa dalam bisnis ini tak apa rugi yang penting Tuan Darius atau petinggi nggak usah repot ketemu orang yang dinilai nggak pantas,” ucap Dara dengan nada serius.
Gandhi dan Askara langsung tertegun.
Tanpa mereka sadari, di luar ruangan Darius berdiri mendengarkan. Pria itu harus susah payah menahan tawa mendengar komentar Dara.
“Eh, bukan gitu juga. Ini anak polos atau apa sih?” Gandhi mendelik ke arah Dara yang menatapnya balik dengan alis terangkat.
“Selamat siang.” Darius memutuskan bergabung karena mendengar nada Gandhi yang mulai tidak sehat.
“Maaf, saya tidak keberatan ketemu dengan Haji Suebi. Dara, tolong diatur ketemuannya. Saya bukan membela kamu, tapi proyek Jagarata bisa menjadi portofolio bagus pembangunan kota mini satelit.”
“Baik, Tuan.”
Darius mendelik. “Kok manggil Opa jadi Tuan lagi?”
“Kata Pak Abraham, semua keluarga Anantara harus dipanggil Tuan, Nyonya, dan Nona.”
Darius langsung menggigit bibirnya.
“Kalau begitu saya permisi. Nanti saya akan cek jadwal Tuan Darius, Tuan Askara, dan Tuan Adrian yang cocok dengan Babe Suebi.”
“Babe?” Cicit Gandhi.
“Iya, kalau sudah akrab mintanya dipanggil Babe. Oya saya juga dibawain singkong meledak, sekarang sedang digorengin di pantri. Enak banget makannya pake bubuk kelapa. Yang buat istri keduanya. Nanti saya kirim ke ruangan Tuan-tuan dan Pak Gandhi. Permisi.”
Darius kembang kempis dengan pencapaian Dara sementara Askara terbakar api emosi.
Setelah Darius pergi, Askara memberikan perintah, “Pastikan Babe eh Haji Suebi tidak pernah bertemu dengan Tuan eh Opa.”
“Beres …”
***
“Assalamualaykum …”
“Waalaykumussalam, Dara, gimane ente. Masak barusan Ane di telepon sama sekretaris Pak Darius kalau pertemuan dicancel? Ane udah beli sarung sutra. Kagak bener nih ente. Mendadak banget.”
Dara mengerutkan kening. Tadi sebelum berangkat, Darius masih mewanti-wanti agar pertemuan siang ini harus terjadi.
“Oh maaf, Be, yang telefon namanya Bu Davina?”
“Iye. Bener, die noh.”
“Oke, sebentar Dara cari tau. Be, maaf ya. Dara coba beresin semua. Sabar ya, Be.”
“Ho oh. Untung lu anak baek. Bini-bini gue pada demen. Gue tunggu. Assalamualaykum.”
Dara mengusap wajahnya.
“Bismillah, I can do this.”
Dia segera naik menuju ruangan Darius Anantara untuk menemui Davina, sekretarisnya.
“Siang Kak …”
Ruangan Davina kosong. Dara celingak celinguk. Ia memberanikan diri mengetuk ruangan Darius dan tidak ada jawaban.
“Kak …” Dara masih mencari Davina ketika terkejut melihat dua orang keluar dari ruang meeting.
“Dara, cari siapa? Meeting dicancel ya?” Saoa Askara santai.
Dara mengerutkan kening melihat Askara dan Davina keluar dari ruang meeting. Davina nampak gugup sementara satu kancing kemeja Askara masih terbuka.
“Gue kan udah ngomong, Dara. Orang-orang kayak Babe itu nggak level.”
“Bukannya meeting yang cancel dari pihak kita, Tuan?”
Dara melirik Davina yang sudah beringsut kembali ke mejanya.
“Makanya gue bilang nggak level. Opa pasti milih makan siang sama investor yang lebih penting lah. Ya udah gue mau nyusulin Opa. Davina tolong kerjakan yang tadi saya minta. Nanti malam saya cek.”
Davina mengangguk, tak berani menatap Askara.
Dara mencium sesuatu yang aneh antara Askara dan Davina. Setelah Askara masuk ke dalam lift khusus direktur, ia mendekati Davina.
“Hai Kak, makasi ya tadi repot-repot telepon Haji Suebi.”
“No problem, Nona. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Kak, bagi paperclip dong. Aku dah request ke bagian umum nggak dapet-dapet.”
“Nona ambil aja di meja. Saya masukin file ke dalam dulu, ya.”
Dara mengangguk. Ia mendekati meja Davina mencari tau jadwal kakeknya.
“Got it! Kakek lagi makan siang sama investor di Resto Nalayan,” gumamnya.
“Kak, Dara turun, ya. Makasi paper clip-nya.” Dara berteriak.
Davina tak menjawab, di dalam ruangan Darius, ia menahan sakit di area inti akibat permainan kasar Askara barusan.
“Sampai kapan aku akan jadi mainan s ek s buat Askara Anantara?” Ucapnya lirih. Dara yang tak mendengar jawaban dari Davina ternyata berdiri di depan pintu dan mendengar ucapan Davina.
Dara memejamkan mata.
“Satu-satu, Dara. Akan tiba gilirannya untuk Askara.”
Ia pun beringsut. Gegas ke cubicle-nya mengambil tas, Dara menelepon Babe.
“Be, ketemu di Restoran Nalayan ya. Sekarang berangkat.”
Ia melongok ke ruangan Gandhi.
“Pak, maaf, Babe marah karena dicancel. Saya boleh ajak makan?”
“Hmmm.” Jawab Gandhi malas.
“Pamit, Pak.”
Dara buru-buru memesan ojek online lalu menuju ke restoran yang dimaksud.
Lebih dulu tiba, ia memastikan Darius masih berada di sana. Lalu Dara sengaja menunggu di pengkolan karena tahu anak buah Darius pasti melaporkan jika dirinya terlihat.
Dari jauh ia melihat Babe menyetir mobilnya.
“Yaelah, katanya punya mercy tiga biji harus banget pake colt hari ini?”
“Naik, Dara. Sorry ane pake ginian. Mercy ane tiga-tiganye dipakek bini. Ada arisan ama bu jenderal. Jenderal kanciiil kali.”
“Yang penting nyampe.” Dara menatap pakaian Babe yang memakai peci, baju koko, dan sarung.
“Ganteng nggak ane?”
“Top markotop. Refal Hady aja mah lewat.” Jawabnya serius. Mata Dara terpaku ke depan memastikan Darius masih ada di restoran.
“Bisa aje lu bikin ane seneng.” Pria berumur enam puluh tahun itu terkekeh.
“Duh kita bakal nggak boleh parkir depan naik mobil ginian. Sorry Be, kenyataan pait. Bentar Dara urus.”
Tak sampai dua detik, Dara kembali membawa bodyguard kakeknya dan memberi perintah untuk memarkirkan mobil colt milik tuan tanah Haji Suebi.
Dara lalu mengajak Si Babe masuk. Dirinya memilih meja yang tidak terlihat namun bisa melihat ke seluruh penjuru. Dara juga sudah menduga jika Darius pasti berada di ruang private.
“Nanti Engkong lu makan bareng kita? Ane traktir menu paling mahal di sini. Ini nggak di ruang pripat aje ape. Ngablak bener duduk sini.” Babe celingak celinguk.
“Kagak ape-ape. Biar nanti dipoto sama wartawan. Biar viral. Ye, khaan.”
“Enel uga. Pinter lu.”
Dari sudut mata, Dara melihat Darius dan rombongan keluar dari ruangan private. Agaknya mereka telah selesai.
“Bismillah.” Dara meremas tangannya.
“Bentar, Dara panggil pelayan.”
Dara kemudian berjalan, pura-pura tidak melihat Darius.
“Loh, Dara sama siapa?”
“Eh Tuan Opa,” saking gugupnya Dara ngawur memanggil Darius.
Darius terkekeh. Di belakang Darius, Askara menatap Dara dengan wajah bertanya.
“Anu kan sama Babe nggak jadi …”
“Iya sayang banget, ya Babe cancel. Katanya ada cucu sunatan.”
Dara mengernyit.
“Oh anyway, kayaknya sunatan udah kelar jadi Dara ajak ke sini. Tuh si Babe duduk di sana.”
“Ya udah Opa temuin.”
Wajah Askara berubah merah padam.
“Opa, kita kan mau lanjut visit sama investor.”
“Oh iya, Pak Rey, Pak Boy, saya kenalin sama Babe Suebi ya. Beliau ini yang punya tanah di mana-mana.”
“Wah, dia kan susah banget ditemuin. Mari, Pak.” Dua orang itu tak mau kehilangan kesempatan.
Dara berjalan ke arah Babe yang sedang asik memilih makanan.
“Be, ini ada Opa sama para investor.”
“Maa syaa Allah. Ya Allah ya Rabbi. Muhammadurrasulullah. Alhamdulillah. Pak Darius, saya udah ngimpi-ngimpi buat ketemu Bapak.”
“Loh, sama Pak. Gimana acara sunatannya?”
Babe melirik Dara dengan tatapan bertanya. Dara menggeleng.
“Ayo duduk. Wah saya kecewa tadi pertemuan dicancel. Saya udah beli sarung sutra …”
“Loh, sama, saya juga beli baju koko. Oiya ini temen-temen saya Pak Rey dan Pak Boy. Mereka orang properti juga.”
Babe penuh semangat menyalami keduanya.
“Eh saya kayak pernah liat Bapak ini di Jagarata. Pak Aspal ya?”
Emosi Askara yang sudah meruncing makin meruncing, namun ditutupi secara profesional dengan senyuman ramah.
“Askara, Pak. Askara Anantara.”
“Heh siapa? Aspala? Oh ya. Mari-mari. Non, ayo duduk. Waaah kalo nggak ada Non Dara kita nggak jadi ketemu nih ya.”
Siang itu pembicaraan hangat antara Babe Suebi dan Darius Anantara menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dengan Pak Rey dan Pak Boy, pun muncul rencana kerja sama.
Babe terlihat sangat gembira.
“Pak Darius, luar biasa loh ini cucunya. Kapan tuh ke tempat saya naik ojek. Padahal kan dua jam. Jauuh.”
Darius mendelik sementara Dara malah terkekeh enteng.
“Saya bilang sama Non Dara, supaya jangan sombong. Biasanya orang kaya kan sombong noh,” ucapnya sambil sekilas melirik ke Askara.
“Saya udah kapok jadi orang sombong, Be. Saya kehilangan orang yang saya cintai cuma karena kesombongan,” sahut Darius sendu.
“Bos, yang udah ya udah. Tatap ke depan. Oya, Non Dara udah menikah belum?”
“Jomblo,” jawab Dara asal.
“Cocok,” ujar Babe penuh semangat.
“Mau diambil mantu?” Seloroh Darius.
“Kagak, mau saya lamar aja. Istri baru tiga, masih bisa satu lagi,” ucap Babe sambil tertawa lebar. Darius mendelik. Jantungnya hampir merosot.
“Be, Dara ni bawel, nggak bisa dibilangin, makannya banyak. Nanti Babe pusing lah,” jawab Dara tak menanggapi serius.
Babe pun tertawa terbahak-bahak.
“Pinter ni anak. Ane demen. Eh udah sore, mesti balik. Bini nomor tiga minta dibeliin nasi uduk Kebon Kacang. Mari, Pak. Kapan-kapan main ke tempat saya sekalian tanda tangan perjanjian.”
“Siap! Makan singkong meledak ya, Be.”
“Ane jamu. Ane siapin makanan yang enak-enak. Bini nomor atu pinter masak.” Babe mengacungkan jempol.
Semua tertawa senang dengan pertemuan hari itu. Kecuali Askara yang menarik Dara ke belakang. Tangannya mencengkeram sikut sepupunya. Dara mengernyit menahan sakit.
“Awas kalau sekali lagi kamu nikung aku.”
“Maaf, Tuan.”
Askara mendelik karena Dara sengaja mengucapkan kata maaf dengan keras hingga semua berbalik ke arah mereka.
Melihat Askara lengah, Dara langsung berjalan di samping Darius dan Babe.
Setelah Babe pulang, Darius berkata, “Kerja bagus, Dara. Besok kerja bareng bagian legal untuk siapin dokumen perjanjian. Tadi ke sini naik apa?”
“Ojek.”
“Dara, kamu tau kan, ada mobil perusahaan yang bisa kamu pakai?”
“Dara biasa naik ojek, lebih cepat. Ini juga Dara udah pesan buat balik ke kantor.”
Darius menarik napas dalam.
“Dara, cucu Opa, lain kali pesan ke bagian umum aja buat mobil. Sekarang kamu pulang ikut Opa. Askara, tolong sampaikan ke Gandhi kalau Dara pulang sama Opa.”
“Siap, Opa! Bye Dara!”
Askara tersenyum ramah dan dibalas sama ramahnya oleh Dara.
“Awas kamu, Dara!” Gumam Askara marah setelah Dara masuk ke mobil bersama Darius.
“Kamu tertuduh utamaku, Aspal,” ucap Dara tak kalah geram karena kini dia tahu bahwa ada yang menyabot pertemuan Darius-Babe hari itu.
***
Ane : saya, bahasa slang Betawi serapan dari Bahasa Arab.
Ente: kamu, bahasa slang Betawi serapan dari Bahasa Arab
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️