Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Malam merayap perlahan.
Di antara kehangatan rumah para pelayan itu, Malika tampak bergerak cepat kesana-kemari di ruang tamu, memastikan semuanya tampak rapi.
Rambut panjangnya diikat asal dan senyumnya bersinar cerah. Seolah malam itu menyimpan sesuatu yang membuat jiwanya ringan tanpa beban.
“Nah, selesai.”
Di meja kayu tua, terhidang segelas teh hangat yang masih mengepulkan uap serta sepiring kue kering renyah hasil buatannya sendiri.
Saat pintu terbuka dan langkah berat Albert memasuki rumah, Malika sontak berbalik. Matanya berbinar seperti lampu yang baru dinyalakan.
“Paman Albert!” sambutnya riang, sembari berlari kecil mendekatinya.
Albert, yang wajahnya terlihat letih setelah seharian bekerja, langsung melunak melihat sambutan itu. Buku-buku lelah di bawah matanya seolah lenyap tertutupi senyum kecil yang muncul secara tak sadar.
“Ada apa ini? Kau terlihat sangat bahagia,” ucap Albert sambil membuka mantel tebalnya.
Malika berdiri tegap dan kedua tangannya saling menggenggam gugup.
“Tidak ada apa-apa, Paman. Lika hanya merasa betah di sini. Semua orang sangat baik. Bibi Sofia dan bahkan pelayan lain suka mengajak Lika bicara. Rasanya, Lika seperti punya keluarga baru.”
Jawaban polos dan jujur itu berhasil menghantam dada Albert. Hatinya yang selama ini kosong sejak kehilangan keluarganya kembali terisi.
Pria paruh baya itu langsung mengangguk. “Syukurlah kalau begitu.”
Tanpa penjelasan apa pun, Albert berbalik dan keluar rumah. Malika memiringkan kepalanya bingung.
“Lho, Paman mau ke mana?” tanyanya khawatir.
Albert hanya mengangkat tangan kanan, memberi isyarat agar Malika menunggu.
Beberapa menit berlalu. Malika duduk di kursi, berayun-ayunkan kakinya yang kecil karena tak mencapai lantai. Sesekali ia melirik ke arah pintu sambil memainkan jarinya.
Rasa pensaran memuncak seperti balon yang semakin membesar. Ketika pintu akhirnya terbuka, Malika langsung berdiri tegak.
Albert kembali masuk, kali ini membawa sebuah keranjang besar tertutup kain putih yang terlihat sedikit bergerak di bagian atas.
“P-Paman… apa itu?” tanyanya.
“Bukalah.” Albert meletakkan keranjang itu di meja dan menepuk tutupnya pelan.
Malika mendekat, kedua tangannya gemetar. Lalu, Malika menarik ujung kain dan begitu penutup terangkat, ia langsung menahan napas.
“Eh… ASTAGA…! Paman!” bibir Malika menganga lebar tak percaya.
Di dalam keranjang, seekor kucing persia berbulu oranye lembut duduk manis, mengedipkan mata bulat berwarna amber seolah memperkenalkan diri.
“Ini kucing beneran? Wah, cantik sekali!” serunya dengan begitu kagum.
Malika mendekat. Memperhatikan kucing itu dan hampir menyentuhnya.
Kucing persia itu mengeong lirih, membuat hati Malika serasa meleleh.
Tanpa aba-aba, Malika langsung memeluk Albert erat.
“Paman! Ini hadiah paling indah yang pernah Lika dapat! Terima kasih! Terima kasih banyak!”
Albert terkekeh pelan. “Pumpkin itu untuk menemanimu kalau aku sedang bekerja. Supaya kau tidak kesepian.”
Malika melepaskan pelukan dan menatap kucing itu penuh cinta.
“Pumpkin? Namanya saja lucu! Meow~ sini, Pumpkin, sini mendekat pada Lika.”
Pumpkin mengendus jari Malika lalu berdiri, melangkah ke pangkuannya.
Malika langsung menjerit kecil, kegirangan, sampai Albert menutup telinganya sebentar.
“Aduh, hati Lika mau jatuh… lucuuuuu sekali!” tawa gadis itu pecah.
Albert hanya menggeleng, meski senyumnya makin lebar.
Setelah beberapa menit memandangi Pumpkin seperti menatap harta karun, Malika mengangkat kucing itu tinggi-tinggi dengan kedua tangan.
“Paman, lihat! Dia seperti awan oranye yang bisa dipeluk!”
Pumpkin mengayunkan ekornya dengan bangga sebelum tiba-tiba meloncat ke sofa. Malika memekik dan mengejarnya.
“Pumpkin! Jangan pergi! Kau harus kenalan dulu dengan rumah barumu!”
Albert menyandarkan tubuh di kursi sambil menyeruput teh hangat yang Malika buat untuk dirinya. Melihat Malika berlari keliling ruangan sambil memegangi rok kecilnya agar tidak tersangkut, membuat suasana rumah yang biasanya sunyi terasa jauh lebih hidup.
Pumpkin melompat ke meja, Malika mengejarnya.
Pumpkin melompat ke karpet, Malika terguling sedikit sambil tertawa.
Pumpkin menyelinap ke balik tirai, Malika ikut masuk ke balik tirai dan hampir tersangkut.
Albert mengusap wajah. “Sepertinya aku baru saja membawa pulang badai kecil.”
Tetapi ucapannya justru membuat Malika menghentikan langkah sebentar. Ia memeluk Pumpkin yang kini berada di tangannya dan menatap Albert.
“Kalau ini badai, Paman tak apa, kan? Badai yang manis pasti tidak berbahaya.”
Albert menatapnya. Lalu tertawa. “Badai sepertimu justru membawa kehidupan di rumah ini.”
Pipi Malika langsung memerah, ia tersenyum selebar mungkin.
Setelah semuanya tenang, Malika duduk di karpet sambil membiarkan Pumpkin tidur di pahanya.
“Paman,” ujarnya pelan. “Apa Lika boleh ajak Pumpkin tidur di kamar? Kasihan kalau ditinggal sendirian di luar.”
“Tidak apa-apa. Asal kau yang bertanggung jawab kalau dia membuat ulah.”
“Siap! Lika akan jadi ibu baru untuk Pumpkin!” serunya senang.
Albert hampir tersedak. Tetapi, saat melihat Malika yang memandang Pumpkin seolah memandang bayi manusia, ia menyadari bahwa malam itu rumah kecilnya telah berubah menjadi lebih hangat dan penuh kehidupan.
“Satu hal lagi, Lika.”
“Ya, Paman?” Lika menoleh pada Albert.
“Sebisa mungkin jauhkan kucing itu dari Tuan Muda Alexander,” ucap Albert, nadanya berubah serius. “Dia alergi kucing. Lebih tepatnya tak menyukai kucing. Dia benar-benar tidak suka hewan yang berisik atau bergerak tanpa aturan.”
Malika terdiam. Tuan Muda aneh mana yang tidak suka makhluk semanis ini? Pasti Tuan Muda itu punya kelainan, pikirnya.
Lantas, gadis itu mengangguk patuh. Dalam hati, ia berjanji tak akan membiarkan pumpkin bertemu tuan muda.
malika dan Leon cm korban😄🤣