HIATUS AWOKAOWKA
"Kau akan dibunuh oleh orang yang paling kau cintai."
Chen Huang, si jenius yang berhenti di puncak. Di usia sembilan tahun ia mencapai Dou Zhi Qi Bintang 5, tetapi sejak usia dua belas tahun, bakatnya membeku, dan gelarnya berubah menjadi 'Sampah'.
Ditinggalkan orang tua dan diselimuti cemoohan, ia hanya menemukan kehangatan di tempat Kepala Desa. Setiap hari adalah pertarungan melawan kata-kata meremehkan yang menusuk.
Titik balik datang di ambang keputusasaan, saat mencari obat, ia menemukan Pedang Merah misterius. Senjata kuno dengan aura aneh ini bukan hanya menjanjikan kekuatan, tetapi juga mengancam untuk merobek takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chizella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Pertemuan Misterius
Di hari yang cerah, sang surya menjatuhkan sinarnya yang keemasan, menembus kanopi hutan lebat di luar Desa Daun Hijau. Cahaya itu pecah menjadi ribuan titik terang yang menari di permukaan tanah. Chen Huang bergerak melangkah, tapaknya yang terbiasa menginjak lantai hutan kini menelusuri sendirian lorong-lorong hijau yang dipenuhi aroma lumut dan tanah basah.
Udara pagi itu begitu tenang, seolah hutan menahan napasnya, tidak ada suara kerusuhan, hanya simfoni alam yang lembut. Hutan, dengan segala bahayanya, sungguh terkadang menjadi tempat yang menenangkan, menawarkan kebebasan dari tatapan menghakimi.
Langkah Chen Huang melambat dan akhirnya berhenti total. Matanya, yang terlatih untuk mencari detail terkecil pada flora, kini terfokus pada sesuatu yang ganjil. Di beberapa batang pohon kuno yang menjulang, ia melihat bekas cakar yang terukir jelas. Goresan itu tidak terlalu besar seperti bekas harimau hutan, namun juga tidak begitu kecil seperti goresan tupai. Mereka melengkung dengan pola yang asing, kedalamannya seragam, sebuah petunjuk kekuatan misterius.
Chen Huang mengangkat tangan kanannya dengan gerakan lambat, ujung jari telunjuknya menyentuh lembut dagunya yang bersih, sementara alisnya menyatu dalam konsentrasi. Gerakan ini menunjukkan proses berpikir yang intens, membandingkan pola cakar ini dengan segala pengetahuan faunanya.
"Bukan binatang, tapi juga bukan manusia. Lalu ini apa?" Ia berbisik, suaranya pelan seolah takut mengganggu rahasia hutan.
Rasa bingung memuncak. Ia mengangkat kedua tangannya, jari-jarinya yang cekatan menggaruk-garuk kepalanya dengan gemas, menunjukkan frustrasi atas teka-teki yang tak terpecahkan itu.
"Mungkin saja binatang baru?"
Chen Huang membungkukkan tubuhnya ke depan, memiringkan kepalanya ke samping, dan mencondongkan wajahnya lebih dekat ke bekas cakar. Ia mengulurkan tangan kirinya dan menggeser ujung jarinya di atas kulit kayu yang terkoyak, mencoba merasakan dan menganalisis teksturnya. Ia mencari petunjuk, jejak kaki, atau sisa-sisa lainnya, tetapi hasilnya nihil.
Waktu berlalu, ditandai dengan perubahan sudut cahaya matahari yang menembus kanopi. Setelah tidak menemukan petunjuk apa-apa yang memuaskan, Chen Huang menghela napas panjang—sebuah desahan pasrah yang dilepaskan ke udara. Ia mengangkat bahunya sedikit sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Ia hanya memasuki hutan untuk mencari obat-obatan, tugas yang jauh lebih penting daripada teka-teki misterius ini.
Kepala Desa Wang Nan telah mencapai usia senja; napasnya semakin pendek, dan tenaganya semakin menipis. Dia membutuhkan obat-obatan sebagai penyokong hidupnya, sebuah pertolongan untuk bertahan hidup.
Chen Huang, meskipun sering kali menunjukkan semangat pemberontakan dan penolakan terhadap nasihat Wang Nan, pada kenyataannya ia menyimpan rasa hormat yang mendalam di dalam hatinya. Ini adalah rasa hormat pada orang yang menerimanya, satu-satunya jangkar di tengah badai hinaan.
Chen Huang kembali fokus. Matanya menyapu lapisan hutan, kini mencari warna, bentuk, dan karakteristik tanaman obat yang sudah ia hafal di luar kepala. Gerakan matanya cepat, namun teliti, sebuah manifestasi dari pengetahuan yang telah dilatih bertahun-tahun lamanya di bawah bimbingan Wang Nan. Pengetahuan itulah yang sekarang sangat berguna.
Tiba-tiba, ia melihatnya.
Di bawah naungan semak fern yang tebal, sebuah tanaman obat muncul, memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Tanaman itu memiliki warna biru terang yang memukau, sebuah pigmen yang begitu pekat hingga tampak bercahaya di tengah hijaunya hutan.
Chen Huang merasakan aliran energi yang halus. Tanaman itu memancarkan aura Dou Qi kehidupan yang begitu murni, tenang, dan hangat, sesuai sepenuhnya dengan deskripsi legendarisnya.
"Rumput Sembilan Kehidupan!"
Seruan itu pecah dari bibirnya, sebuah desahan yang hampir tidak terdengar namun dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap. Ini adalah tanaman langka, sebuah permata botani. Nilainya sangat tinggi; jika dijual, ia bisa menghasilkan banyak uang, karena kekuatan regeneratifnya yang mampu menyembuhkan luka-luka berat dalam sekejap.
Tanpa menunda sedetik pun, Chen Huang bergerak dengan cepat dan efisien. Ia menurunkan tubuhnya hingga berlutut dengan satu lutut di tanah yang lembap. Tangan kirinya menahan daun-daun di sekitarnya, membersihkan ruang kerja, sementara tangan kanannya yang ramping, dengan keahlian yang terasah, mulai menggali perlahan di sekitar pangkal tanaman. Ia mencabut Rumput Sembilan Kehidupan itu dengan akar-akarnya yang utuh—sebuah tindakan yang menunjukkan pemahaman penuhnya akan cara mengumpulkan ramuan langka.
Setelah berhasil, ia segera memasukkannya ke dalam kantung kain yang ia ikat di pinggangnya, mengikatnya erat-erat dengan simpul yang kuat dan cepat.
Langkah selanjutnya adalah pertahanan. Kepala Chen Huang berputar dengan cepat—gerakan mata dan lehernya tajam, menyapu seluruh area 360 derajat. Ia memastikan tidak ada bayangan yang mengintai, tidak ada gerakan di semak-semak, untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya memetik tanaman itu.
Rumput Sembilan Kehidupan itu memang penyembuh, namun kehadirannya menarik bahaya. Bahaya yang bukan berasal dari racun, melainkan dari keserakahan. Chen Huang tahu, di dunia ini, terkadang orang yang lebih kuat akan merampas dari yang lemah.
Chen Huang menegakkan tubuhnya, otot-ototnya sedikit menegang saat ia menilai risikonya. Jika yang datang adalah manusia biasa—para pemburu dari desa lain—ia merasa percaya diri. Jemari tangannya mengepal ringan, mengingat teknik bela diri yang diajarkan oleh Wang Nan.
Namun, bayangan ancaman yang lebih besar melintas di benaknya. Jika bertemu dengan kultivator, sosok yang energinya jauh di atas tingkat Dou Zhi Qi miliknya yang mandek, maka pilihan yang tersisa hanyalah dua, lari atau mati.
Setelah menyimpan harta langka itu, Chen Huang melanjutkan perjalanannya. Ia mengangkat tangan kanannya, mengusap dahinya dengan punggung telapak tangan, menghilangkan jejak keringat dingin yang menempel. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya—langkah yang tenang dan terukur, seolah penemuan Rumput Sembilan Kehidupan barusan hanyalah insiden kecil yang tidak mengubah apa-apa.
Daun-daun di kanopi pepohonan mulai bergerak dan berdesir, sebuah melodi yang dihasilkan seiring tiupan angin siang hari yang lembut. Suasana hutan pada siang hari adalah perpaduan antara cahaya yang kuat dan bayangan yang dalam.
Meskipun wajah Chen Huang tampak tenang, sebuah topeng ketidakpedulian yang ia kenakan di dunia luar, di dalam kepalanya, badai pikiran mulai bergejolak.
Akan kugunakan untuk apa tanaman ini, jika menggunakan ini untuk Kakek, mungkin akan membuatnya hidup lebih lama.
Pikirannya melayang pada Wang Nan, pria tua yang rapuh namun penyayang itu. Memberikan Rumput Sembilan Kehidupan akan memberinya perpanjangan hidup yang berharga.
Tiba-tiba, Chen Huang menghentikan langkahnya—hanya sesaat, sebelum kembali bergerak perlahan. Pikirannya melompat ke arah lain, sebuah godaan yang menyentuh ambisi terbesarnya.
Tunggu... jika aku menjual tamanan ini, lalu mendapatkan banyak uang, aku bisa membeli pil. Mungkin saja akan bisa meningkatkan kultivasiku.
Sebuah senyum tipis dan tulus mulai terukir di wajahnya. Senyum itu murni, mewakili impian dan harapan yang selama ini ia genggam erat. Namun, senyum itu mulai pudar dalam sekejap, seolah-olah awan gelap baru saja menutupi matahari di hatinya. Ekspresinya kembali menjadi serius, matanya memancarkan tekad yang dingin.
Tidak... Kakek jauh lebih penting, untuk kultivasi aku bisa melakukannya nanti saja.
Meskipun ia memiliki tekat yang membara untuk menjadi kultivator yang kuat, Chen Huang tetaplah anak yang memiliki hati nurani. Ia menghela napas berat, sebuah gerakan fisik yang menunjukkan pergulatan batinnya. Ia mengetahui mana yang lebih penting untuk sekarang, meskipun keputusan ini membuatnya tersiksa, di mana ia harus mengorbankan kesempatannya untuk keluar dari status "sampah". Pengorbanan untuk Wang Nan adalah prioritas yang tak terbantahkan.
Saat Chen Huang tenggelam dalam pusaran pikirannya, sebuah pantulan cahaya yang tajam dan menyilaukan tiba-tiba menghantam retina matanya. Cahaya itu begitu kuat hingga ia sedikit menyipitkan mata secara refleks. Ia memutar kepalanya dengan gerakan cepat dan waspada, mencari sumber kilauan tersebut.
Di tempat yang dipenuhi rerumputan liar dan akar-akar menjulur, ia melihatnya, sebuah pedang tergeletak di tanah.
Pedang itu memiliki warna merah gelap yang pekat, seolah menyerap warna matahari terbenam dan darah kuno. Di permukaannya, ukiran tulisan-tulisan kuno memilin dan meliuk, membentuk pola misterius yang terasa asing namun memancarkan keagungan. Hal yang paling mengejutkan adalah aura Dou Qi yang begitu kuat—gelombang energi yang terasa dingin dan purba—yang dipancarkan oleh pedang itu. Sungguh hal yang sangat aneh jika benda sekuat ini tergeletak begitu saja di hutan sepi.
Chen Huang mulai mendekat dengan langkah yang sangat perlahan, setiap pijakan kakinya penuh dengan kewaspadaan tertinggi. Ia melangkah seolah-olah mendekati jebakan yang mematikan. Ketika ia sudah berada dalam jangkauan, ia mengulurkan tangan kanannya dengan hati-hati, jari telunjuknya adalah yang pertama menyentuh permukaan dingin pedang itu.
Saat ujung jarinya melakukan kontak, sebuah kejutan energi dingin menyambar tubuhnya. Kesadarannya seketika seakan tersedot ke dalam pusaran, seperti pusaran air yang menariknya ke dimensi lain. Matanya memejam rapat karena rasa sakit dan keterkejutan.
Ketika ia membuka matanya lagi, dunia telah berubah. Ia sudah berada di tempat yang gelap dan kosong. Sejauh mata memandang, hanya ada ketiadaan. Air hitam pekat membasahi pergelangan kakinya, air itu dingin dan anehnya, ia bisa merasakan air itu mengandung kekuatan Dou Qi yang tak terbayangkan. Ini adalah lautan kesadaran spiritual—tempat di mana roh dan energi bertemu.
Yang lebih mengejutkan dari semua itu adalah sosok di hadapannya.
Sesosok wanita tengah duduk di udara, seolah gravitasi tak berlaku baginya. Tubuhnya melayang tanpa terikat, sebuah pemandangan yang melampaui pemahaman kultivasi Chen Huang.
Wanita itu berparas cantik luar biasa. Wajahnya adalah sebuah lukisan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia—sempurna, namun memancarkan aura bahaya yang memikat.
Rambutnya berwarna merah tua gelap, menjuntai seperti tirai sutra yang terbakar. Matanya yang merah darah memancarkan kekuatan kuno yang tidak diketahui dan misterius. Ia mengenakan pakaian yang cukup terbuka, menampakkan lekuk tubuhnya yang tak bercela, sebuah mahakarya yang tercipta dari energi spiritual.
Saat ia sedikit bergerak di tempatnya melayang, pinggangnya yang ramping tampak bergoyang lembut, menciptakan gelombang menggoda dalam keheningan spiritual. Dada di balik pakaiannya yang minim—lekuk tubuhnya yang padat dan berisi—terlihat bergetar perlahan seiring tarikan napasnya yang anggun, sebuah gerakan kecil yang penuh pesona surgawi.
Chen Huang, yang terperangkap dalam ketakjuban dan kebingungan, hanya bisa mengeluarkan satu pertanyaan yang terucap parau dari tenggorokannya.
"Ka—kau siapa?" tanya Chen Huang, suaranya sedikit bergetar, ia membeku.