Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Memang Saling Kenal?
Sepeninggal Santi, Raisa berusaha menghentikan tangisnya. Dia bergerak mendekati Ardan. Terlihat di mana lelaki itu tidak melakukan apa-apa kecuali duduk di ujung ranjang tempat tidur.
"Maaf ya gara-gara aku kamu jadi kena tampar." Kepala Raisa menunduk dalam-dalam. Karena tak ada jawaban, dia yang telah terbiasa itu tidak lagi begitu mempermasalahkan. Atau lebih tepatnya Raisa enggan mempermasalahkan keterdiaman Ardan karena suasana tidak tepat yang sedang menyelimuti merekalah yang membuatnya tidak berniat untuk protes.
Ardan menunjukan ekspresi tidak suka ketika Raisa hendak memeriksa kondisi pipinya.
"Bentar, aku ambilin kompres."
"Nggak usah."
Raisa acuh, dia tetap ingin merawat luka kecil Ardan. Terlebih lagi bahwa luka itu adalah dia sumbernya.
Segores luka terpampang di sudut bibir Ardan. Sebercak darah menghiasi, menimbulkan pertanyaan pada benak Raisa: bukankah itu sakit? Tapi kenapa lelaki itu terus saja tidak menunjukan rasa sakitnya?
"Nggak denger," ucap Raisa sambil lalu. Dia berjalan keluar kamar. Tetapi ketika berusaha memutar daun pintu benda di depannya itu tidak mau terbuka. Dia mencobanya berkali-kali dengan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong pintu.
"Kok nggak bisa dibuka?" tanyanya pada Ardan.
"Dikunciin."
"Hah? Kenapa harus dikunciin? Ibu kamu tadi kan yang ngunci? Terus gimana?"
"Bisa nggak, sih, lo nggak usah pura-pura gitu? Jangan bikin gue tambah pusing."
"Aku nggak pura-pura."
Dia tidak digubris. Ardan mengabaikannya dan pilih sibuk sendiri. Berjalan bolak-balik mengitari seisi kamar dengan wajah cemas sembari berkutat pada ponselnya. Dia sesekali juga menyeka darah yang membuatnya meringis sakit.
Raisa di tempatnya mengamati perilaku lelaki itu yang beberapa kali mengumpat juga, yang dia lihat lelaki itu sedang mencoba menghubungi seseorang. Hingga sebuah suara keluar dari mulutnya dengan penuh kelegaan memanggil nama orang yang sedang dia ajak bicara.
"Tolong izinin kalau gue nggak masuk kerja tiga hari ke depan. Ada urusan. Mockup yang dimau klien kemarin udah gue buat, ada di dalem komputer gue, buka aja."
"Boleh minta tolong yang lain lagi nggak?"
"Kirim orang lo ke rumah sakit Sekar Cempaka buat nemenin kenalan gue yang lagi dirawat cuman selama tiga hari ke depan aja."
"Terserah cowok atau cewek, dan bawain makanan sehat ya buat dua orang. Nanti gue chat ke lo soal ruangannya di mana."
"Iya, thanks ya, Bro. Kalau lo ada apa-apa bebas repotin gue balik kapan pun itu, gue siap."
Percakapan itu diperhatikan dengan seksama oleh Raisa. Dia menarik kesimpulan sendiri bahwa apa yang dibicarakan oleh lelaki itu ada kaitannya dengan dirinya. Dengan diri aslinya, dengan raganya, dan dengan orang tuanya. Agar tidak hanya berdasarkan spekulasi pribadi Raisa terus terang pada Ardan.
"Itu yang kamu bilang mau buat ibu sama bapak yang di rumah sakit tadi, ya, Dan?"
Diluar dugaan, Raisa kira lelaki itu enggan menjawabnya. Dia mendapatkan balasan berupa anggukan dari Ardan.
"Kenapa? Emang kamu kenal?"
"Kenal."
"Oh, sama ibu dan bapaknya ya?"
"Bukan. Sama anaknya."
Mendengarnya Raisa terdiam sejenak. Dalam diam dia memikirkan mengenai siapa Ardan itu. Dan setelah berusaha mengulik ingatan sendiri Raisa tidak mendapatkan sekelebat ingatan sedikitpun mengenai interaksi raganya yang dulu dengan lelaki itu. Sama sekali.
Dia saja pertama kali melihat dan mengenal Ardan itu ketika bangun dalam situasi yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Tetapi mengapa lelaki itu mengaku bahwa mengenalnya?
"Masa sih? Kok nggak pernah liat?"
"Emang lo harus liat?"
****************
Kondisi ruang kamar Ardan senyap. Tampak dua orang tidur berjauhan. Seorang perempuan tertidur di atas kasur dan seorang lelaki telentang dengan tangan terlipat beralih menjadi bantal di belakang kepala. Ruangan temaram tersebut baru mulai tampak ada kehidupan ketika Raisa terbangun di tengah malam karena udara dingin yang menyergap kulit.
Dia meregangkan badan dan mengerjap, dia memperbaiki tata selimutnya sampai leher. Dan saat menoleh pandangannya menemukan Ardan yang tertidur di sofa. Raisa melihat bagaimana lelaki itu tampak sukar dalam tidurnya.
"Dingin juga ya?" monolognya pada diri sendiri. Dia lantas turun dan mendekati Ardan. Mengumpulkan selimut tebalnya untuk dia gunakan menutupi tubuh lelaki itu.
Dengan perlahan dan hati-hati Raisa memasangkan selimut pada tubuh Ardan agar tidak mengganggu lelaki itu.
"Emang kita kenal ya? Kenapa aku nggak inget pernah ketemu kamu?" Raisa lagi-lagi berbicara sendiri.
Dia lama memandangi Ardan. Dengan mulut terkatup Raisa meninjau kesukaran yang ditampilkan oleh wajah Ardan perlahan menghilang. Sebuah raut dengan alis tebal, kulit terawat, dan garis wajah tegas milik Ardan yang tertidur lelap itu mampu membuatnya terkesima tanpa kata. Baru kali ini dia berkesempatan memperhatikan detail paras Ardan. Tampan adalah pendeskripsian yang mampu dia berikan mengenai wajah lelaki itu. Hingga tanpa sadar dia sampai berjongkok untuk bisa menikmatinya lebih jelas dari dekat.
Wajah itu tampak lebih tenang dan terasa mudah untuk digapai daripada ketika lelaki itu terbangun. Karena dalam kesehariannya Ardan pilih menampilkan wajah dingin enggan disentuh, dan hanya beberapa momen saja wajahnya melunak.
Di tengah memandangi wajah tersebut Raisa tertegun saat sudut mata Ardan meneteskan air mata.
"Ardan?" panggilnya pelan. Telunjuknya bergerak sangat hati-hati untuk mengelap setitik cairan yang mengalir itu supaya tidak jatuh sia-sia.
"Kamu nggak papa?"
"Maaf." Suara parau Ardan muncul dalam tidurnya, reaksi berlebihan muncul dari Raisa, dia terjerembab ke belakang saking kagetnya.
"Maaf." Ucapan itu keluar lagi dalam keadaan masih terpejam.
"Aku cuman mau perbaikin semuanya."
"Ardan, lo kenapa?" Pelan-pelan Raisa menepuk pipinya, berharap supaya lelaki itu segera bangun dan tidak lagi meracau.
"Tolong, jangan pergi."
Raisa tersentak, Ardan meraih pergelangan tangannya dan menggenggamnya erat. Lewat tindakannya itu tanpa ketidak sadaran yang dipunya oleh Ardan sebagai pelakunya telah mampu memberikan kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuh Raisa. Menjalar hingga pipinya ikut memerah. Entah kenapa Raisa merasa malu... Dan aman.
"Aku nggak mau sama, Alya."
"Ardan?"
Masih tidak membuka matanya, Ardan malah semakin mempererat cengkeraman. Mau tidak mau Raisa yang sudah berusaha melepaskan diri menyerah, karena sungguh, kekuatan lelaki itu begitu besar sampai membuat lengannya kesakitan saat berusaha melepaskan diri.
"Terima kasih." Kata itu yang diucapkan oleh Ardan ketika Raisa tidak lagi menggunakan kekuatan untuk melawan dan pergi.
"Terima kasih kembali, Ardan."
...****************...