NovelToon NovelToon
CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Karir / One Night Stand / Duniahiburan / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:325
Nilai: 5
Nama Author: chrisytells

Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
​Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
​Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
​Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 7 : Garis Desain dan Peta Kehidupan

Pagi itu, udara di Shannonbridge terasa dingin dan segar. Elara bangun lebih awal dari biasanya—bukan karena alarm, tetapi karena memikirkan stew domba Moira yang ia santap tadi malam, dan bagaimana Fionn berhasil menyalakan perapian yang sempurna di pondoknya.

Pukul 08.15. Waktu yang tepat untuk mengembalikan sarung tangan Fionn sebelum ia berangkat ke kandang domba. Elara mengenakan mantel tebal dan berjalan cepat menuju pondok Fionn yang letaknya di sebelah kedai kopi.

Elara mengetuk pintu depan Fionn. Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi. Terdengar suara air mengalir deras dari dalam. Fionn sedang mandi.

Elara berpikir untuk meninggalkan sarung tangan itu di ambang pintu, tetapi cuaca sangat dingin, dan Fionn harus segera memakainya. Dia juga ingat Fionn sering ceroboh.

Ketuk, ketuk. “Fionn! Ini aku... aku ingin mengembalikan sarung tanganmu! Aku letakkan di ambang pintu, ya?” seru Elara dari luar.

Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit. Hanya sedikit, dan yang muncul adalah wajah Fionn yang basah, dengan rambut pirang yang menempel di dahi, dan mata birunya yang masih mengantuk.

“Ah, Elara! Terima kasih dan... masuk saja. Pondok ini dingin. Letakkan saja di atas meja,” suara Fionn serak.

“Tidak, Fionn. Aku tidak mau mengganggumu—”

“Tidak mengganggu! Masuk saja, aku baru selesai. Cepat!” Fionn mendorong pintu sedikit lagi, lalu mundur dari pandangan.

Elara menghela napas. Dia tidak ingin melanggar batasan, tetapi dia juga tidak ingin berdiri kedinginan. Ia memutar knop pintu dan melangkah masuk.

Pondok Fionn sangat berbeda dari miliknya. Lebih kecil, lebih hangat, dan jauh lebih kacau. Ada tumpukan buku, leash anjing, sweter di mana-mana, dan aroma kopi yang kuat.

Elara meletakkan sarung tangan di meja kecil. “Baiklah, Fionn. Sarung tanganmu ada di sini—”

“Tunggu sebentar, Elara! Jangan bergerak!” Suara Fionn tiba-tiba terdengar panik dari balik sudut.

Terlambat.

Elara membeku di tempat. Matanya membulat. Jantungnya serasa melompat keluar dari tulang rusuk.

“Aku… aku lupa handukku!” seru Fionn. Keluar dari kamar mandi, setengah berlari dengan ekspresi panik yang menghiasi wajahnya.

Fionn benar-benar lupa handuknya. Dia berdiri di sana, tanpa sehelai benang pun, hanya ditutupi uap air hangat dari kamar mandi dan... dan keahlian alami dalam menjadi manusia yang sangat menarik.

Elara merasakan wajahnya memerah dari leher hingga ke telinga. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi gambaran siluet Fionn yang basah terlanjur terekam jelas di otaknya.

“ASTAGA! FIONN GALLAGHER!” pekik Elara, membalikkan badan dengan cepat dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“Maafkan aku! MAAF! Aku panik! Aku sangat ceroboh! Aku hanya... aku kira kau sudah pergi!” Fionn meraba-raba di belakangnya, mencoba menemukan sesuatu untuk menutupi dirinya.

“JANGAN BICARA! Ambil handukmu! Ambil apa pun! Aku akan berdiri di sini, menghadap dinding!” Elara berbicara melalui sela-sela jarinya, suaranya tercekat.

Terdengar suara tawa gugup bercampur malu dari Fionn. “Baiklah, baiklah... aku sudah tertutup! Kau boleh berbalik sekarang!”

Elara perlahan membalikkan badan, matanya masih setengah tertutup. Fionn sudah terbungkus handuk, wajahnya sama merahnya dengan wajah Elara.

“Aku sungguh minta maaf, Elara. Itu... itu tidak terencana,” Fionn berucap, masih terengah-engah.

“Tentu saja tidak terencana, Fionn! Kau adalah kekacauan yang paling tidak terencana yang pernah kulihat!” Elara balas membentak, merasa lega sekaligus sangat malu. Ia buru-buru mengambil jaketnya.

“Aku akan pergi sekarang. Aku akan pura-pura ini tidak pernah terjadi,” kata Elara, bergerak cepat menuju pintu.

“Elara, tunggu!” Fionn menahan. “Bisakah kita bicara sebentar? Aku merasa harus menawarkan kompensasi atau semacamnya.”

Elara menutup mata sejenak, menenangkan detak jantungnya yang menggila. Kompensasi? “Kompenisasinya adalah kau memakai pakaianmu sebelum aku kembali ke sini, Fionn!”

“Deal,” Fionn tersenyum kecil. “Tapi, sungguh. Aku janji aku tidak akan melakukan hal bodoh lagi. Maafkan aku.”

Elara akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku tidak bisa melihat wajahmu sekarang. Aku akan kembali ke kedai nanti, setelah kau berpakaian dan aku berhasil menghapus gambar itu dari ingatanku.”

Elara segera meninggalkan pondok itu, merasakan pipinya masih panas. Di luar, ia berjalan cepat menuju kedai ‘The Crooked Spoon’, berharap aroma kopi bisa membantunya melupakan pemandangan yang... sangat tidak efisien itu.

Sesampainya di kedai, Moira (Ibu Fionn) sudah berada di dapur. Elara langsung memesan espresso triple-shot.

“Kau terlihat sangat bersemangat, Sayang. Ada apa? Kau baru saja melihat rusa kutub di salju?” tanya Moira, melihat wajah Elara yang merah padam.

“Aku baru saja melihat… um, sesuatu yang tidak terencana di pondok Fionn, Moira,” Elara bergumam, masih memegang cangkir hangatnya erat-erat.

Moira tertawa geli. “Oh, Fionn. Dia memang ceroboh. Tapi hatinya emas. Minumlah kopimu. Itu akan menenangkan sarafmu.”

Tak lama, Fionn masuk. Ia sudah berpakaian lengkap: kaus flanel, jeans, dan sweter rusa kutub bermotif holly yang baru. Dia mendekati Elara, terlihat sedikit canggung.

“Aku sudah berpakaian lengkap. Aku bahkan memakai dua kaus kaki. Sebagai bukti keseriusanku,” kata Fionn, menyandarkan diri di konter, memandang Elara.

Elara hanya mengangguk kaku. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan dari insiden memalukan itu. Matanya jatuh pada menu yang ditempel di dinding dengan selotip lama.

“Fionn, kita harus bicara tentang menu ini,” ujar Elara, nadanya langsung berubah menjadi profesional. Itu adalah mekanisme pertahanannya.

“Menu? Kenapa? Apakah scone Bibi O’Malley sudah tidak layak di spreadsheet-mu?” Fionn tersenyum, lega melihat Elara mengalihkan fokus.

“Bukan masalah scone, Fionn. Ini tentang strategi visual dan alur pesanan,” Elara berdiri dan berjalan ke menu itu. “Pertama, menu ini terlalu banyak item, dan ditampilkan dalam mode huruf yang berbeda-beda. Ini membuang waktu pelanggan untuk membaca. Kedua, kau menjual kopi premium seperti espresso-mu, tapi kau menempatkannya di bawah ‘Teh Herbal’ dan ‘Air Hangat’. Ini adalah kesalahan strategis!”

Fionn tampak terkejut. Ia berjalan mendekat. “Kesalahan strategis? Aku hanya ingin pembeli melihat bahwa kami punya banyak pilihan.”

“Tidak. Kau harus menggunakan Hirarki Visual,” Elara mulai menjelaskan, menggunakan tangannya sebagai pointer. “Item yang ingin kau jual paling banyak harus di bagian atas, dengan warna yang menonjol. Espresso-mu adalah andalanmu, Signature! Itu harus di header.”

Elara mengambil kapur dan mulai membuat lingkaran kecil dan panah di pinggiran menu.

“Lihat,” jelas Elara dengan cepat. “Kau harus mengarahkan mata pelanggan. Ini bukan hanya daftar. Ini adalah peta penjualan. Jika kau membiarkan pelanggan mencari, mereka akan memilih yang termurah. Jika kau menonjolkan yang terbaik, mereka akan membelinya. Ini perencanaan, Fionn. Ini strategi!”

Fionn menatap Elara. Matanya yang biru berkedip-kedip, bukan karena ia merasa dikritik, tetapi karena ia benar-benar terpesona.

“Aku… aku tidak pernah memikirkannya sejauh itu,” Fionn mengakui. “Aku hanya menempatkan teh herbal di atas karena itu paling mudah dibuat.”

“Itu adalah kelemahan, Fionn! Kemudahan tidak sama dengan keuntungan!” Elara menoleh, matanya berbinar dengan semangat yang hanya ia tunjukkan saat berbicara tentang planning.

“Kau terlihat… sangat berapi-api,” Fionn berbisik.

“Tentu saja! Ini adalah bahasa hatiku! Ketika aku merencanakan, aku merasa hidup,” jawab Elara, sebelum menyadari betapa jujurnya dia.

Fionn mengambil secangkir kopi, bersandar di dinding, dan mengamati Elara yang kini sepenuhnya terhanyut dalam peta penjualan barunya.

“Kau tahu, Elara,” kata Fionn perlahan. “Aku selalu berpikir orang-orang yang terobsesi dengan garis lurus seperti ini adalah orang-orang yang membosankan.”

Elara berhenti menggambar dan menoleh, siap membela diri. Namun, beberapa detik kemudian ia menghela napas. “Aku tahu kau berpikir begitu.”

“Tidak. Sekarang aku menyadari, orang-orang seperti kau punya gairah yang luar biasa. Hanya saja, gairah itu diarahkan pada hal-hal yang rapi. Kau merencanakan dengan hati, Elara. Kau tidak hanya merencanakan kota; kau merencanakan kesuksesan.”

Elara terdiam. Pujian itu terasa tulus dan hangat, jauh lebih baik daripada pujian profesional yang biasa ia terima.

“Aku hanya mencoba membuat kedaimu lebih efisien, Fionn. Agar kau punya waktu lebih banyak untuk, ya, mengurus anjingmu,” ujar Elara, mencoba meredam emosinya.

“Tidak, kau ingin kedai ini berkembang. Kau melihat potensi. Dan itu mengagumkan,” Fionn berjalan mendekat ke Elara. “Aku senang melihatmu seperti ini. Tidak kaku, tidak cemas, tetapi… berkilau.”

Elara merasa wajahnya memerah lagi. Bukan karena malu, tetapi karena pujian Fionn.

“Kemarin, di bukit, kau bilang kau suka menggambar rumah tua yang tidak efisien,” Fionn melanjutkan. “Ketika kau merencanakan menu ini, aku melihat gairah yang sama. Gairah yang sama yang membuatmu senang melihat garis-garis yang rumit, hanya saja sekarang kau menerapkannya pada alur pesanan.”

Elara menyandarkan kapur di dinding. “Aku tidak tahu bagaimana cara menggambar hal lain lagi, Fionn. Aku hanya tahu cara membuat semuanya menjadi fungsional. Itu satu-satunya keterampilan yang berhasil kukerjakan tanpa kehancuran.”

“Kalau begitu, ajari aku. Ajari aku cara merencanakan agar aku bisa tumbuh tanpa kehilangan chaos favoritku,” pinta Fionn. “Beri aku pelajaran ‘Strategi Kota’, Nona O’Connell.”

Moira, yang baru keluar dari dapur, menyela dengan bijak. “Aku setuju. Dia butuh perencanaan. Tapi dia juga butuh stew domba. Elara, kau sudah melelahkan dirimu. Minum kopi ini. Fionn, bibi O’Malley memberikan scone gratis. Makanlah selagi hangat.”

Fionn tersenyum lebar pada Elara. “Dengar, Nona. Ada kompensasi resmi dari Master of Scone. Ambil scone-mu.”

Elara tertawa kecil, tawa yang benar-benar lepas. “Aku tidak butuh scone, Fionn. Aku butuh spreadsheet.”

“Ambil scone-nya. Dan aku akan membantumu membuat spreadsheet untuk kedai ini. Kita sebut saja: ‘Rencana Lima Tahun Crooked Spoon’,” usul Fionn.

“Rencana Lima Tahun? Itu terlalu lama. Bagaimana dengan ‘Rencana Tiga Bulan Kontrol Kerusakan’?”

“Aku suka itu! Rencana Tiga Bulan Kontrol Kerusakan,” Fionn tertawa dan mengulurkan tangannya. “Mulai besok, kita akan membuat peta planning itu bersama-sama. Deal, Nona O’Connell?”

Elara menatap tangan Fionn yang besar dan hangat. Ia tidak hanya menawarkan deal bisnis, tetapi ia juga menawarkan jeda dari rasa malunya tadi pagi dan ruang untuk gairahnya yang tersembunyi.

“Deal, Fionn Gallagher,” jawab Elara, menjabat tangan Fionn dengan kuat.

Saat mereka berpegangan tangan, Elara merasakan sengatan yang sama seperti saat ia jatuh di bukit. Ia menyadari bahwa di balik sweter rusa kutub itu, Fionn adalah orang yang paling mengaguminya, bukan karena ia sukses, tetapi karena ia terorganisir. Dan ia juga menyadari, bahwa di balik kecerobohannya, Fionn adalah orang pertama yang membuat Elara ingin merencanakan masa depannya, bukan hanya jadwalnya.

1
d_midah
ceilah bergantung gak tuh🤭🤭☺️
d_midah: kaya yang lebih ke 'sedikit demi sedikit saling mengenal, tanpa terasa gitu' 🤭🤭
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!